Ada banyak hal menggemparkan terjadi selama beberapa pekan terakhir. Mulai dari Pengesahan RUU Cipta Kerja oleh DPR RI, dugaan korupsi dengan taksiran fantastis di Kementerian Keuangan, hingga batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.
Di antara beragam topik besar itu, mungkin kita melupakan atau hanya dengar sekilas tentang sebuah kasus di lingkungan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako. Sepintas perkara ini memang terlihat remeh temeh, sebab sekadar terjadi di lingkungan fakultas, dan di sebuah kampus negeri level daerah.
Namun, perkara simpel ini menunjukkan satu masalah yang lebih besar: Budaya anti-kritik, sesuatu yang harusnya tak perlu hadir--apalagi sampai dipelihara--dalam sebuah institusi akademik.
Perkara ini melibatkan petinggi FEB Untad dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (BEM FEB Untad). Masalah bermula saat BEM FEB Untad melempar kritik lewat media sosial. Mereka menyoal kualitas loket pelayanan akademik yang dianggap lamban dalam melayani mahasiswa.
Dalam unggahan tersebut, mereka menampilkan potret (hasil olah digital) dari beberapa pembesar FEB Untad. Ada tiga pembesar yang tampil dalam unggahan tersebut. Salah seorang di antaranya ditambahkan garis hitam tebal pada mata dengan tulisan "Censored".
Beberapa hari berselang, setelah unggahan itu mulai dibicarakan di lingkungan kampus, ketua BEM FEB Untad dipanggil oleh pihak dekanat. Pihak yang mengundang konon tak terima dengan kritik tersebut. Unggahan itu dianggap kurang beretika lantaran mencantumkan foto petinggi FEB Untad.
Singkat cerita, selepas pertemuan itu, unggahan BEM FEB Untad terpaksa ditarik dari peredaran.
Tak cukup sampai di situ, tiba-tiba muncul pemberitaan tentang seorang mahasiswa FEB Untad yang mendapati nilai skripsinya berubah, dan diduga kuat dipicu oleh unggahan media sosial tersebut. Mahasiswa ini telah melewati proses ujian dan beroleh nilai “A”. Namun, selepas kasus ini mengemuka, nilainya terjun bebas jadi “E”.
Meski menyebut bahwa perubahan nilai itu tak terkait unggahan di medsos, seperti dilansir Harian Sulteng, Wakil Dekan Bidang Akademik FEB Untad, Fikry Karim menyebut bahwa yang bersangkutan bahkan terancam sanksi.
“Kampus tidak melarang kritik, silakan saja. Tetapi kan ada etika dan norma, tidak bisa seenak perut mengkritik kebablasan begitu,” kata Fikry. Membaca pernyataan itu, sulit untuk tidak mengasosikan kasus perubahan nilai dengan perkara unggahan BEM FEB Untad.
Budaya anti-kritik
Perkataan Wakil Dekan Fikry sedikit banyak menunjukkan watak kekuasaan yang menyebalkan, dan budaya anti-kritik.
Sebagai catatan, konsep kritik dengan menggunakan potret yang mengandung unsur parodi atau satire bukanlah hal baru. Hal macam ini sedari dulu sudah eksis. Banyak pula contoh yang bahkan lebih ekstrem, dan terjadi dalam beberapa waktu terakhir.
Mari mengingat beberapa di antaranya. BEM Universitas Indonesia pernah menggambarkan Ketua DPR RI, Puan Maharani berbadan tikus. Mahasiswa UIN Alaudin Makassar bikin flyer dengan ilustrasi rektor yang tutup mata dan telinga. Majalah Tempo mencetak kover Presiden Jokowi bersiluet hidung panjang ala Pinokio. Ada pula kasus mural “404: Not Found” tertempel di mata Jokowi.
Pembesar dengan budaya anti-kritik nan mendarah daging bakal marah bila situasi macam itu terjadi. Pembesar tipe ini barangkali hanya senang jika wajahnya dicantumkan pada kabar-kabar baik, dan enggan bila ada gambar yang punya muatan kritik. Sangat tidak adil, bukan?
Lagi pula, penggambaran macam itu mengandung kritik yang bertalian dengan jabatan. Hemat saya, jabatan akan selalu beriringan dengan kewajiban untuk mengurusi pelbagai hal dalam institusinya. Lumrah belaka bila seorang pejabat dikritik saat dirasa ada hal keliru dalam institusinya.
Perlu diingat budaya kritik nan sehat merupakan syarat utama dari sebuah institusi demokratis. Kritik merupakan instrumen untuk menjalankan kontrol sosial; sebagai usaha untuk memastikan kekuasaan tidak ugal-ugalan.
Siapa berhak nilai kritik, baik atau buruk?
Visualisasi pejabat kampus atau para birokrat pemerintahan merupakan kerja-kerja kreatif yang tak seharusnya berbalas persekusi, ancaman, atau pembungkaman.
Aik Kwang, seorang profesor dari University of Queensland, menyebut bahwa kreativitas bernilai sangat baik bagi kesehatan mental individu, dan produktivitas kemasyarakatan. Dengan kreativitas, hidup menjadi lebih dinamis, berwarna dan bermakna. Meski begitu, tantangan untuk menjadi kreatif itu bertalian erat dengan tipe masyarakat tempat kita hidup.
Mungkin begini analoginya: Pada satu lingkungan nan toxic, kritik akan selalu dipandang negatif. Orang muda bisa dianggap membangkang tatkala mengkritik mereka yang lebih tua, misalnya. Atau, yang kadang menjengkelkan, kreativitas dalam mengkritik dipertentangkan dengan etika.
Seperti halnya moral, etika berisi nilai-nilai ideal yang lahir dari unsur kebudayaan dan kepercayaan di masyarakat nan dinamis. Alih-alih dinamis sebagaimana dinamika masyarakat, etika lebih sering dipandang secara kaku lantaran dirumuskan, dimonopoli, dan ditafsirkan oleh pihak-pihak tertentu atas dasar bias kelas sosial, usia, jabatan, dan lain-lain.
Bagi saya, BEM FEB Untad berhak menyampaikan kritik. Mereka sedang menjalankan fungsi sosialnya; menyuarakan perkara yang jadi keresahan mahasiswa lain. Namun, kritik mereka justru berbalas penekanan, pembungkaman (dengan penurunan unggahan), dan pengurangan nilai. Pembalasan macam inilah yang justru lebih tak beretika.
Kampus seharusnya menjadi sandaran bagi kehidupan berdemokrasi yang menghargai kebebasan berpendapat. Bukankah lewat lingkungan kampus kita bisa berharap kehidupan ilmiah, yang mensyaratkan kedewasaan dalam menghargai perbedaan pendapat?
Sikap antikritik justru mematikan budaya ilmiah di lingkungan kampus. Bila tiap kritik berbalas ancaman sanksi, ia bakal menekan nalar kritis. Kalau terus dibiarkan, kehidupan kampus bisa menderita sakit, lantaran warganya hidup dalam ketakutan untuk menyampaikan perbedaan pandangan.
Terakhir, sebelum menutup tulisan ini, saya masih percaya nilai-nilai luhur seperti kolektivitas, solidaritas, dan kesetiakawanan dalam gerakan mahasiswa masih hidup di luar sana. Jangan sampai budaya antikritik dari para pemegang kuasa meredupkan nilai-nilai tersebut.
Penulis: Satria, alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako.
Catatan redaksi: Tutura.Id menerima tulisan berbentuk opini sepanjang 500-800 kata. Tulisan opini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
BEM FEB Untad Fakultas Ekonomi Untad kampus akademik kebebasan berpendapat demokrasi parodi