Menjelajahi Taman Nasional Banff di Alberta, Kanada, adalah petualangan tak terlupakan. Dalam dua kunjungan pada musim berbeda, saya menyaksikan perubahan panorama dari keindahan hijau musim panas ke lanskap salju musim dingin yang tenang.
Kontras ini juga tercermin pada situasi saling bersaing antara tujuan industri pariwisata dan tujuan ekologis di kawasan lindung.
Pergulatan menjaga keseimbangan antara pengalaman wisata yang luar biasa dengan perlindungan keberlanjutan lingkungan di Banff dapat menjadi inspirasi mengelola kawasan lindung menjadi objek wisata, seperti Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah.
Undangan menjelajahi Banff datang akhir Desember kemarin (29/12/2023). Saya tak kuasa menolaknya. Suasana sejuk dan udara segar Rocky Mountain jadi panggilan yang sulit diabaikan.
Sebelum memulai perjalanan, saya mengakses beberapa website resmi demi mendapat panduan dan mengumpulkan informasi tentang Banff, kawasan Taman Nasional tertua dan terbesar di Kanada yang juga telah menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1984.
Persiapan ini menjadi kunci untuk lebih memahami dan merasakan setiap momen selama kunjungan saya.
Perjalanan kami bermula di Calgary, ibu kota Provinsi Alberta, wilayah dengan kontribusi ekonomi yang signifikan dari produksi pertanian, peternakan, dan industri minyak dan gas. Banyak diaspora Indonesia yang menetap di sini, sebagian besar berkarier di perusahaan minyak dan gas.
Selama dua jam melintasi jalur tol Trans Kanada dari Calgary menuju Banff, kami disuguhi panorama luar biasa. Pemandangan gunung dan hutan pinus yang terselimuti salju menghadirkan pesona sepanjang jalan.
Terlebih lagi, lembah luas yang terhampar di depan mata, dengan sungai membeku, menambah keunikan lanskap pegunungan yang memukau.
Pagar kawat pembatas dua sisi jalan menarik perhatian saya. Saya juga mencatat ada lima jembatan layang yang tampak seperti terowongan. Keberadaan infrastruktur ini ternyata hadir sejak tahun 90-an ketika lonjakan pengunjung menyebabkan peningkatan insiden kecelakaan, terutama akibat hewan liar yang tiba-tiba melintas.
Hasil studi Banff-Bow Valley memberikan peringatan serius tentang potensi penurunan nilai Banff jika masalah ini tidak diatasi.
Alhasil pemerintah dan pengelola taman mengambil tindakan. Inisiatif-inisiatif terobosan, seperti pembangunan jembatan penyeberangan satwa liar dan pemasangan pagar di sepanjang jalan raya menjadi langkah efektif.
Upaya ini tidak hanya berhasil mengurangi insiden, tetapi juga menjaga populasi hewan, dan akhirnya menjadi standar dalam upaya konservasi di Kanada.
Kota Banff
Perhentian pertama kami adalah Kota Banff yang dikelilingi oleh pegunungan menjulang tinggi, danau-danau memesona, dan habitat alami satwa liar. Arsitektur bangunan-bangunannya bergaya pegunungan.
Kota ini berfungsi sebagai pusat aktivitas dan informasi memberikan panduan, peta, dan informasi penting tentang kegiatan luar ruangan seperti hiking, ski, dan petualangan lainnya di Taman Nasional.
Begitu senja tiba, bar, pub, dan tempat hiburan siap memanjakan para pengunjung. Kota Banff juga menjadi landasan untuk keterlibatan masyarakat lokal dan industri pariwisata.
Danau Louise
Lake Louise menjadi destinasi kami. Kenangan mengunjunginya musim panas dua tahun silam masih lekat dalam ingatan. Saat itu matahari memancarkan sinarnya yang hangat, dan danau terbentang di hadapan kami dengan warna biru dan hijau alami yang memukau.
Pada kunjungan kali ini, kami tiba menjelang matahari terbenam. Jalan-jalan dan parkiran dipadati oleh mereka yang memburu momen magis sunset. Petugas polisi dengan penuh keramahan menyarankan kami untuk kembali setengah jam kemudian.
Tanpa menyerah pada situasi, kami memutuskan untuk mengandalkan teknologi dan aplikasi untuk menemukan jalur trekking alternatif sepanjang dua kilometer menuju danau.
Keputusan ini tidak hanya membebaskan kami dari jebakan kemacetan, tetapi juga membawa kami berjalan bak melangkah ke dunia dongeng. Pepohonan evergreen menjulang tinggi di sisi kiri kanan jalan menciptakan koridor yang memandu langkah kami menuju Danau Louise.
Saat akhirnya kami tiba di danau yang membeku itu, keindahan alam menciptakan pemandangan megah di depan mata.
Saya melihat pengunjung mengalir tiada henti dari dan ke Danau Louise, menciptakan kerumunan yang random. Seorang pria tampak berjalan bersama anjingnya meninggalkan jejak-jejak kecil di atas salju.
Taman Nasional Banff
Berlokasi di antara Pegunungan Rockies Kanada, Taman Nasional Banff tidak hanya menawarkan keindahan alam tetapi juga tantangan pelestarian. Dengan luas sekitar 6.641 kilometer persegi, taman ini menjelma sebagai salah satu yang terbesar di Kanada.
Sejak dibuka pada tahun 1885, Banff mulanya menarik perhatian orang-orang kaya dari Pantai Timur Amerika Serikat. Musababnya adalah sumber air panas belerang yang dipercaya menyembuhkan.
Saya membayangkan suasana awalnya seperti lokasi pemandian air panas di Desa Mantikole di Kabupaten Sigi. Seiring populernya terapi air panas, pelancong menjelajahi alam liar yang belum terjamah dengan menunggang kuda.
Pada awalnya Banff berkembang sebagai objek wisata semata. Pemikiran untuk melestarikan keaslian ekologisnya mulai muncul pada tahun 1930, sejak disahkannya Undang-Undang Taman Nasional Kanada.
Momentum penting ini menandai pergeseran fokus untuk memastikan bahwa lahan-lahan ini "tidak rusak untuk generasi mendatang." Seiring perkembangannya, Banff menghadapi penolakan terhadap usulan pengembangan komersial. Gerakan masyarakat berjuang untuk melestarikan ekologinya.
Akhir dekade 70-an menjadi salah satu momen penting ketika Banff mulai melakukan pembagian zona dengan cermat. Zona-zona dirancang sesuai kebutuhan satwa liar, membantu melindungi habitat-habitat yang kritis.
Meskipun belum sempurna, pembagian zona ini berhasil mencapai keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian ekologis.
Daya tarik Banff semakin meningkat, menarik jutaan pengunjung setiap tahunnya. Namun, dengan kesuksesan tersebut, muncul tantangan baru; bagaimana menjaga keseimbangan antara pelestarian alam dan tuntutan pariwisata yang terus meningkat?
Parks Canada, badan pengelola taman nasional, menemui tantangan dalam memahami perilaku manusia, mengakui fokus ekologi mereka, dan kurangnya perhatian terhadap ilmu sosial di masa lalu.
Meski demikian, hal ini memicu inovasi dan perubahan kebijakan. Peran penting ilmu sosial dalam membentuk perilaku positif pengunjung semakin diakui untuk mencapai keseimbangan dalam pengelolaan destinasi wisata seperti Banff.
Perjalanan ke Banff membuka mata saya, betapa pentingnya keselarasan antara manusia dan alam, termasuk hewan liar yang rapuh seperti di Taman Nasional Banff.
Meski bukan satu-satunya destinasi yang menghadapi kepadatan pengunjung, Banff memberikan inspirasi positif bagi destinasi pariwisata alam global untuk menemukan keseimbangan antara pertumbuhan pariwisata dan kelestarian ekologis.
Taman Nasional Lore Lindu
Dibandingkan popularitas dan pengembangan Taman Nasional Banff, Taman Nasional Lore Lindu memang masih jauh tertinggal. Namun demikian, kompleksitas masalah di kawasan konservasi Sulawesi Tengah yang berdiri sejak tahun 1978 kurang lebih serupa.
Apalagi di kawasan seluas sekitar 2.180 kilometer persegi itu meliputi beragam ekosistem, mulai dari hutan pegunungan hingga hutan dataran rendah, keanekaragaman hayati yang tinggi, termasuk spesies-spesies langka dan endemik, seperti babi rusa Sulawesi, anoa pegunungan, dan burung maleo.
Lore Lindu sekarang menjadi rumah bagi sekitar 77 jenis mamalia, 241 spesies burung, dan lebih dari 400 spesies kupu-kupu.
Keberadaan situs megalitik di sekitar taman juga menunjukkan warisan budaya dan sejarah yang kaya di daerah tersebut.
Selain kekayaan hayati dan budaya, tantangan pelestarian Lore Lindu meliputi peningkatan pengawasan terhadap kegiatan ilegal seperti perburuan liar dan pembalakan hutan. Pun pengelolaan kunjungan wisata yang berkelanjutan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Berkaca dari pengalaman Taman Nasional Banff, ada beberapa rekomendasi yang bisa diterapkan di Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah.
Pertama, pentingnya menjaga keseimbangan antara kebutuhan pariwisata dengan pelestarian alam. Pengelolaan pengunjung yang terkontrol dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Pembatasan akses pada titik-titik tertentu yang kritis serta penggunaan teknologi untuk memantau dan mengatur jumlah pengunjung bisa menjadi langkah efektif.
Kedua, kolaborasi dengan komunitas lokal sangat penting. Melibatkan mereka dalam pengelolaan taman dapat memperkuat upaya konservasi alam, sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya menjaga keberlanjutan lingkungan.
Selain itu, edukasi kepada pengunjung juga menjadi bagian penting dalam menjaga kelestarian alam. Edukasi yang terfokus pada pentingnya konservasi dan pelestarian lingkungan, baik bagi pengunjung maupun penduduk lokal, dapat meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab bersama dalam menjaga keindahan alam.
Adopsi teknologi dalam manajemen taman, seperti aplikasi jalur hiking atau platform digital untuk menyebarkan informasi tentang ekologi dan keseimbangan alam, juga dapat memberikan dampak yang signifikan dalam memberikan pemahaman kepada pengunjung tentang pentingnya menjaga ekosistem alam.
Bagi saya, Banff bukan hanya destinasi wisata, tetapi juga sebuah kisah perjuangan dan inovasi untuk melestarikan keajaiban alam.
Sebuah pengalaman yang menggugah untuk merenung, terutama ketika saya membayangkan bagaimana pelajaran dari Banff dapat diaplikasikan di destinasi indah seperti Taman Nasional Lore Lindu, di mana kekayaan alam dan warisan budaya perlu dijaga dengan bijaksana.
Stephanus W Bo'do, pengajar Komunikasi Lingkungan
Catatan redaksi: Tulisan opini merupakan pandangan pribadi penulis. Tutura.Id menerima tulisan berbentuk opini sebagai usaha untuk memperkaya perspektif dalam melihat sebuah fenomena dan isu tertentu.
Taman Nasional Banff Kanada Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah ekosistem pariwisata ekowisata konservasi ekologi satwa liar kekayaan alam