Tiga film berjudul Tulah 6/13, Surga di Bawah Langit, dan Teman Tidur secara serentak diputar di sejumlah bioskop di tanah air, Kamis (30/3/2023). Ketiga film karya sineas Indonesia itu bakal tetap menghiasi layar lebar hingga beberapa hari ke depan.
Pemutaran ketiga film ini secara bersamaan tak sekadar ujug-ujug. Melainkan karena bertepatan dengan peringatan Hari Film Nasional yang saban tahun diperingati setiap 30 Maret. Pun, demi mengapresiasi karya anak bangsa yang tak kalah hebat dibanding sineas luar negeri.
Tak tanggung-tanggung, tiga film itu dibintangi sejumlah artis ternama maupun pendatang baru. Sebut saja Thomi Baraqbah, Carissa Perusset, dan Omara N. Esteghal (Tulah 6/13). Kemudian Mutiara Sofya, Meriam Bellina, dan Rafael Tan (Teman Tidur). Selanjutnya Reza Rahadian, Acha Septriasa, dan Andien (Surga di Bawah Langit).
Plot cerita tiga film di atas pada dasarnya ingin mengajak para penikmat film untuk berkelana menyusuri kondisi masa lalu, masa kini, dan impian masa depan yang kerap dialami masyarakat. Itu juga sesuai tema Hari Film Nasional tahun ini; “Bercermin Pada Masa Lalu, Merencanakan Masa Depan”.
Misalnya, peristiwa mitos yang kerap dipercaya oleh masyarakat lewat film Tulah 6/13. Atau kejadian perundungan (bullying) di lingkungan sekolah yang diceritakan dalam film Teman Tidur. Lalu ada kisah persahabatan dan perjuangan hidup tiga belia di permukiman kumuh yang akhirnya memilih jalan hidup masing-masing lewat film Surga di Bawah Langit.
Namun, tahukah anda kalau para pemain atau karakter tertentu dalam sebuah alur cerita film, seperti yang diceritakan dalam sinopsis tiga film diatas, sejatinya lahir dari “tangan dingin” orang-orang di balik layar film itu.
Tim ini sangat jarang disorot kamera sebagaimana para pemain atau karakter di dalam film. Sebuah film dapat ditonton oleh banyak orang, bukan karena hasil kerja satu orang, melainkan kerja kolektif beberapa orang bahkan departemen dalam sebuah produksi film.
Untuk mendapatkan gambaran utuh tentang produksi sebuah film, Tutura.Id berkesempatan melakukan interviuw dengan beberapa sineas lokal yang bertanggung jawab di belakang layar dari sejumlah film asal Sulawesi Tengah.
Produser
Ade Nuriadin dikenal sebagai seorang produser, scriptwriter/penulis naskah, dan juga sutradara dalam industri perfilman lokal Kota Palu. Sebagai seorang produser, ia bertanggungjawab untuk menggalang dana, membangun jejaring merekrut kru film, hingga memantau seluruh proses produksi.
Setelah pelbagai kekurangan dalam sejumlah film yang pernah diproduksinya, produser sekaligus sutradara film The Shoe of Thief (2015) ini akhirnya bisa bernafas lega karena filmnya itu boleh tayang di Kuala Lumpur Experimental Film, Video, and Music Festival dalam Open Programe II The Persuit of Story.
“Menjadi seorang produser tidak bikin kita populer, tapi diajarkan untuk memikirkan produksi film secara matang. Kemudian menjaga kepercayaan orang-orang yang sudah dengan ikhlas membantu kita dalam produksi film. Kalau hal-hal ini yang ada dipikiran kita, maka tentulah kita akan menjadi produser andal yang berbakat dan tidak mengecewakan,” katanya.
Penulis Naskah atau Scriptwriter
Alur cerita dalam sebuah film tergantung dari imajinasi seorang penulis naskah atau scriptwriter. Menurut Nur Amri Firmansyah, yang lebih sering bekerja sebagai scriptwriter dalam produksi sejumlah film lokal, penulis naskah bagaikan “Tuhan” dalam suatu produksi film.
“Saya sangat menikmati menjadi seorang penulis. Ketika saya menulis tidak ada yang bisa membatasi saya mau menulis apa. Tak ada larangan mau bikin alur cerita seperti apa. Beda hal ketika jadi sutradara yang punya beberapa keterbatasan,” kata mahasiswa jurusan Antropologi, FISIP Universitas Tadulako (Untad) ini.
Sineas yang pernah menyutradarai film berjudul Missing Dog (2020) ini menyebut jika hambatan menjadi seorang penulis naskah berada di keterbatasan wawasan atau ide. Untuk menyiasati hal itu, seorang penulis naskah film harus giat melakukan riset.
“Biasanya saya menulis saja dulu tanpa berpikir panjang. Akhirnya terkadang susah mau bawa alur ceritanya ke mana. Solusinya saya jadi banyak berbagi ide cerita dengan teman-teman. Terkadang ada sesuatu saya anggap penting, tetapi ternyata sama sekali tidak penting untuk dikembangkan dalam cerita setelah banyak riset dan berdiskusi dengan teman-teman,” terangnya.
Penata Artistik
Sebuah film akan menarik untuk ditonton jika karakter dan alur ceritanya divisualisasikan dengan baik. Kukuh Ramadan, seorang penata artistik film asal Palu, menyebut jika tanggung jawab seorang penata artistik untuk membangun universe dan looks sebuah film.
“Artistik itu tugasnya kompleks. Ia mengawasi dan mengarahkan aspek visual dalam produksi film agar sesuai dengan konsep yang sudah dibangun sebelumnya bersama desainer produksi dan sutradara untuk menciptakan atmosfer yang diinginkan.” ujar Kukuh yang juga seorang praktisi desain komunikasi visual ini.
Lanjut Kukuh, seorang penata artistik itu harus punya konsep yang kuat dan berwawasan luas, terutama pengetahuan dasar seputar seni rupa, seperti garis, bidang, komposisi, tekstur, dan penggunaan warna. Pengetahuan semacam itu bakal membentuk konsep yang mendukung kesan emosional seperti marah, sedih, bahkan perasaan bahagia sekalipun.
“Selain pengetahun basic di atas, penting itu bagi seorang artistik untuk paham dan bisa bekerja bila berkaitan dengan teknis pertukangan. Karena biasanya di lapangan, khususnya di Kota Palu, artistik itu harus ikut turun tangan dalam eksekusi setting yang diinginkan,” ungkapnya.
Programmer
Produksi sebuah film akan menjadi sia-sia jika ia tidak bertemu penontonnya. Supaya film itu tidak jadi sia-sia dibuat, maka dibutuhkan yang namanya programmer. Dinul Yakin, pencetus Bioskop Todea, sebuah komunitas pegiat film berbasis di Sigi, bercerita bahwa tugas programmer itu ibarat seorang “mak comblang” dalam urusan perfilman.
“Tugasnya mencarikan film penontonnya. Seperti yang kami lakukan. Kami bikin program untuk pemutaran film, juga distribusikan ke media. Dari situ kami bisa dapatkan penonton filmnya. Ya, kurang lebih mencarikan jodoh, yaitu penonton yang sesuai sama film yang akan diputar,” tutur Dinul
Bagi Dinul, tidak ada batasan atau ukuran yang harus dipunya untuk menjadi programmer film. Hanya saja, seorang programmer film tentunya harus tahu tentang film dan juga memahami kepada siapa nantinya film tersebut di distribusi.
“Sebagai contoh, kalau di Bioskop Todea ini, kami bagi penontonnya jadi tiga kategori, yakni penonton pintar, penonton biasa, dan penonton kurang pintar. Jadi sekali lagi, film yang kami putar, sedapat mungkin berjodoh dengan penontonnya,” jelasnya.
hari film nasional film produksi kru film layar pemeran produser sutradara penulis naskah script writer penata artistik penonton