Industri perfilman tanah air yang kembali tumbuh bersemi sejak awal tahun 2000-an akhirnya ikut memantik produktivitas sineas di daerah. Termasuk di Sulawesi Tengah, khususnya Kota Palu.
Selama dua dekade terakhir, para sineas lokal getol memproduksi karya, mulai dari film pendek, dokumenter, animasi, konten video, hingga film panjang untuk mengisi berbagai ruang putar yang tak hanya bioskop. Pun berkelana dan berjaya dalam berbagai ajang festival film dalam dan luar negeri.
Pembuktian tersebut yang kemudian membawa Palu dapat pengakuan sebagai Kota Film, Animasi, dan Video oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sejak Juni tahun 2022.
Terasa pantas jika acara Festival Film Bulanan persembahan Kemenparekraf yang menghadirkan program “Sinema Keliling x Jelajah Kota dan Sinema” berlangsung di Palu, mulai 29 September hingga 1 Oktober 2023.
Kota Palu menjadi titik jelajah lokus edisi ke-8 Festival Film Bulanan di tahun 2023 setelah menggelar kompetisi untuk sineas di Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.
Deretan judul film karya sineas Palu dan luar kota ditayangkan dan bisa disaksikan penonton secara gratis. Terbuka untuk semua kalangan orang masyarakat. Selain itu, tersedia pula bazar UMKM, standup comedy, live music, hingga walking gallery.
Mengingat lokasinya berlangsung di Taman Gelanggang Olahraga yang teduh dan rindang, acara ini bisa jadi alternatif yang pas untuk mengisi hiburan akhir pekan.
Geliat skena perfilman di Palu
Laiknya yang terjadi di daerah lain, Kota Palu dahulu sempat memiliki banyak gedung bioskop mandiri. Artinya bukan model sinepleks seperti jaringan Cinema 21 sekarang.
Arsip foto koleksi Tropenmuseum Belanda bertitimangsa 1920 memuat sebuah gedung bioskop bernama Elite telah berdiri di Palu.
Kemudian ada Bioskop Nasional di Jalan Imam Bonjol, Palu Barat, yang merujuk iklan Djawatan Penerangan berdiri 1951. Bangunannya masih terbuat dari anyaman bambu alias pitate.
Beriring waktu hadir lagi Bioskop Karya (kemudian berganti Benteng), Nusantara, Queen, Surya, Isabella, dan Palu Studio yang paling mentereng.
Selain itu, ada beberapa film panjang yang lokasi syutingnya berlangsung di Lembah Palu. Sebut misal Mutiara dalam Lumpur (1972), Operasi Tinombala (1977) dan Mutiara di Khatulistiwa (1990).
Usai gelombang krisis moneter tahun 1998, paceklik produksi film nasional yang berlangsung sejak awal dekade 90-an masih berlanjut. Sementara di sisi lain, berbagai stasiun televisi berlomba menayangkan film-film box office di layar kaca. Bioskop jadi makin sepi peminat dan akhirnya satu per satu gulung tikar.
Memasuki medio awal 2000-an, industri film bergeliat lagi. Sudah banyak film karya sineas tanah air yang tayang di bioskop. Kota Palu yang saat itu belum memiliki bioskop akhirnya menjadikan berbagai gedung dan ruangan sebagai alternatif tempat pemutaran film.
Bioskop Jumat, Bioskop Pelajar Palu, Eksebisi Felem Kita, dan beberapa inisiatif acara atau program lainnya dihadirkan oleh komunitas untuk mengakomodir keinginan menonton warga Palu saat bioskop komersial absen.
Sementara upaya militan para sineas Palu untuk berjejaring dengan sesama filmmaker dari daerah lain, sekaligus mendistribusikan berbagai film pendek agar bisa hadir di kota ini, juga terus berlangsung.
Kematangan dan produktivitas menghasilkan karya mendorong pula satu per satu rumah produksi hadir, mulai dari Halaman Belakang Films, Nadoyo Production, atau Celebest Film Production. Mereka menawarkan karya dengan cerita yang dekat dengan keseharian masyarakat Lembah Palu.
Sejak 2018, hadir pula Sinekoci yang berfokus pada pelatihan-pengembangan, pendanaan-penjaringan, dan pemutaran-pengarsipan film.
Nama-nama sineas baru juga bermunculan. Mereka hadir membawa bagasi pengetahuan yang terasah di sekolah atau jurusan perfilman. Berbeda dengan sineas generasi pendahulunya yang matang berkat kemampuan autodidak.
Ruang pemutaran alternatif juga dihadirkan lewat forum di luar skena film. Rumah Belajar dari forum dampingan SKP-HAM Sulteng, misalnya, kerap kali memanfaatkan film sebagai sarana untuk membuka perbincangan suatu topik.
Sementara di pinggiran kota, tepatnya di Kelurahan Pantoloan Boya, Tawaeli, hadir Komunitas Karavata yang tak kalah sering mengadakan sesi pemutaran film dan diskusi. Pun yang kerap berlangsung di Perpustakaan Mini Nemu Buku yang beralamat di Jalan Tanjung Tururuka, Palu Selatan.
Harapan memiliki ruang ekshibisi film yang masif
Mengawali pembukaan Festival Film Bulanan 2023 di Palu, dihadirkan sesi gelar wicara bersamaan sutradara lokal. Selain bercerita sepintas perjalanan menciptakan karya, para sineas juga menyampaikan harapan agar iklim perfilman di Palu bisa tumbuh makin sehat dan besar.
Salah satu caranya, tidak bisa tidak, dengan menghadirkan lebih banyak ruang atau program ekshibisi film. Para sineas nantinya bisa memanfaatkan ruang tersebut untuk lebih sering memutarkan karyanya. Pun berdialektika secara langsung dengan para penonton.
"Kita ini sudah terlalu banyak filmmaker. Yang belum ada itu ruang exhibition. Buat apa banyak karya film kalau tidak ada (tempat) penayangannya," ujar Dinul Yakin, sutradara film Hold and Kick yang menampilkan permainan tradisional adu betis alias mosivinti. Film itu tayang di platform rangkai.id.
Fauzan Kurnia Muttaqin, sineas yang telah menamatkan kuliah di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, mengamini keresahan Dinul.
Ia menambahkan harapan sekiranya film-film karya anak-anak muda Kota Palu tidak hanya ditayangkan dalam bioskop alternatif, tapi juga dapat kesempatan mengisi layar bioskop XXI. "Impian saya itu Semoga film-film Palu bisa diputar di bioskop XXI," tutup Fauzan.
Bulan Pemutaran Film Jelajah Kota dan Sinema Forum Sudutpandang Sinekoci skena film sineas bioskop komunitas film Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif