“A reader lives a thousand lives before he dies. The man who never reads lives only one.”
Kutipan di atas berasal dari buku George R.R. Martin, novelis asal Amerika Serikat yang lebih dikenal sebagai penulis buku A Song of Ice and Fire–diadaptasi menjadi film serial populer, Game of Thrones.
Lewat bacaannya, orang-orang yang gemar membaca seolah beroleh kesempatan untuk mengecap berbagai macam kehidupan. Di sisi lain, betapa malangnya mereka yang tak pernah membaca karena hanya mengetahui satu kehidupan.
Saban 17 Mei, Indonesia memeringati Hari Buku Nasional. Tanggal itu dipilih lantaran menjadi momen berdirinya Perpustakaan Nasional RI. Persisnya pada 17 Mei 1980.
Adapun Hari Buku Nasional mulai diperingati pada 2002. Peringatan ini diinisiasi oleh Abdul Malik Fadjar, yang kala itu menjabat sebagai menteri pendidikan. Peringatan ini dimaksudkan untuk merespons situasi melek huruf Indonesia yang ketika itu hanya 87,9 persen, dan tertinggal dibanding negara-negara tetangga.
Kini, dua dekade setelah pencetusan Hari Buku Nasional, angka melek huruf di Indonesia jauh membaik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka melek huruf Indonesia pada 2022 mencapai 96,35 persen.
Beriring peringatan Hari Buku Nasional, Tutura.Id mengobrol dengan empat tokoh dari Sulawesi Tengah. Empat tokoh ini berbagi cerita tentang buku-buku yang memberikan kesan dan dampak tertentu dalam kehidupan mereka.
Kitab pengembangan diri ala politisi perempuan
Ketua DPRD Sulawesi Tengah, Nilam Sari Lawira menyebut Filosofi Teras karya Henry Manampiring sebagai buku favoritnya. Nilam mengaku membaca buku tersebut saat usianya 49 tahun, tak lama setelah menjabat sebagai ketua DPRD Sulteng pada 2019.
“Dengan bahasa yang mudah dipahami, buku ini memberikan perspektif tentang: Bagaimana kita tidak dapat mengubah pandangan orang terhadap kita, karena hal itu di luar kendali kita," ujarnya. "Yang bisa kita lakukan adalah mengubah diri kita agar sesuai dengan apa yang ingin kita tampilkan kepada orang lain."
Filosofi Teras merupakan buku pengembangan diri yang berlandaskan pada filsafat stoa. Meski berbasis filsafat, buku ini dibuat dengan perspektif berpikir orang muda. Pun kian segar dengan kehadiran ilustrasi.
Buku ini antara lain memberikan penjelasan tentang emosi negatif atau kecemasan berlebihan yang disebabkan oleh rasio atau pola pikir yang keliru.
Tema pengembangan diri agaknya jadi kegemaran para perempuan politisi. Setidaknya dua perempuan politisi yang Tutura.Id wawancarai menyebut buku bertemakan pengembangan diri sebagai favorit mereka.
Perempuan politisi lain yang kami wawancarai ialah Anggota DPRD Kota Palu, Diah Tri Purwantini. Politisi Partai Gerindra ini menyebut Berani Tidak Disukai yang ditulis oleh Ichiro Kisimi dan Fumitake Koga sebagai buku favoritnya.
“Saya menemukan buku ini pada usia 32 tahun. Buku ini mengajarkan saya, mengapa manusia tidak boleh mencari pengakuan orang lain,” katanya.
Diah juga menyebut Life Lesson karya Elisabeth Kübler-Ross dan David Kessler dalam lis buku paling berkesannya. “Buku ini mengajarkan: Daripada menyangkal lebih baik mengakui meski ada perdebatan dalam diri,” ujarnya.
Pebisnis yang suka buku politik
Sebagai pengusaha muda, Ishak Bashir juga dikenal lewat kiprahnya bersama Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum HIPMI Sulteng. Pun saat ini namanya tercatat sebagai anggota Dewan Pembina HIPMI.
Ishak menyebut dua judul biografi sebagai buku favoritnya. Menariknya, kedua tokoh yang disebutnya, Soekarno dan Gus Dur, lebih pas dibilang sebagai “politisi” alih-alih pebisnis seperti latar belakang Ishak.
“Jadi dulu saya baca Penyambung Lidah Rakyat, autobiografi Soekarno yang ditulis oleh Cindy Adams. Itu saya pinjam koleksi buku punya bapak teman saya, cetakan pertama dan masih memakai ejaan lama,” ujar tokoh yang mengaku sudah gemar membaca pada masa sekolah, dan jadi kian gandrung kepada buku semasa kuliah.
Biografi Soekarno, kata Ishak, telah mengajarkannya periohal nasionalisme dan sejarah kebangsaan.
Ishak juga mengaku membaca beberapa buku tentang Gus Dur, termasuk Biografi Gus Dur yang ditulis oleh Greg Barton. “Dari buku-buku tentang Gus Dur, saya mendapatkan pelajaran dan penghayatan keislaman yang mungkin bisa dibilang lebih moderat,” katanya.
Ferry Febry
Ferry Febry merupakan salah seorang perancang busana (fashion designer) asal Kota Palu. Karyanya yang banyak mengangkut unsur budaya lokal telah melanglang buana, termasuk di ajang fesyen ternama macam Inonesia Fashion Week.
Ferry lebih memilih fiksi sebagai tema buku favoritnya. Ia menyebut novel Pulang (Leila S. Chudori), dan serial Supernova (Dee Lestari). “Saya lebih suka buku fiksi. Saya pribadi tidak terlalu menyukai buku-buku motivasi atau sejenisnya,” ujar Ferry.
Novel Pulang mengisahkan drama keluarga dan percintaan dengan latar belakang huru-hara politik besar di Indonesia seperti Tragedi 1965 dan Reformasi 1998. Sedangkan Supernova, yang total berjumlah enam buku, ialah karya memopulerkan Lestari dalam deretan penulis fiksi “best seller” di Indonesia.
“Kedua buku ini berkesan untuk saya. Meski fiksi, tapi kisahnya memuat banyak pelajaran hidup yang dapat dengan mudah saya mengerti. Kedua buku ini juga mengajarkan saya agar dapat lebih menghargai orang-orang terdekat dalam kehidupan,”katanya.
buku hari buku nasional hari buku nilam sari lawira Diah Tri Purwantini Ishak bashir Ferry Febry