Dari huntara pindah ke tenda; kinerja merayap pemenuhan hak penyintas bencana
Penulis: Rizki Syafaat Urip | Publikasi: 27 Desember 2022 - 13:52
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Dari huntara pindah ke tenda; kinerja merayap pemenuhan hak penyintas bencana
Suasana Huntara Layana usai pembongkaran sejumlah petak hunian pada Jumat (23/12/22). (Foto: Rizki Urip)

Jumat (23/12/22) siang, beberapa pekerja membongkar hunian sementara (huntara) di Kelurahan Layana Indah, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Dengan alat sederhana seperti linggis dan palu, huntara berbahan papan kalsiboard dibikin rata dengan tanah.

Pembongkaran dilakukan lantaran masa sewa pakai lahan tempat berdirinya huntara sudah habis. Para penyintas bencana 28 September 2018 itu tidak punya pilihan lain. Mereka pun harus menyingkir serta menempati beberapa huntara lain di area yang sama dan kebetulan sudah kosong. 

Area huntara itu memang disewa oleh Pemerintah Kota Palu dari sejumlah pemilik lahan. Keputusan pembongkaran huntara akan bergantung pada masing-masing pemilik lahan. Waktunya pun sulit direka-reka, mengingat masa sewa sudah habis.

Sebelum pembongkaran pada Jumat (23/12/22), sempat diadakan dialog antara penyintas dengan pemilik lahan. Para penyintas dikasih opsi untuk sewa lahan.

Para penyintas punya pertimbangan lain. Mereka khawatir kalau melakukan perjanjian sewa-menyewa dengan pemilik lahan maka status area berubah jadi transaksi komersial.

Bila status sewa jadi komersial, ada kekhawatiran bila aliran listrik bakal diputus. Maklum, selama ini, biaya listrik huntara ditanggung oleh Pemerintah Kota Palu. Ringkasnya, ada kekhawatiran kalau pemerintah bakal lepas tangan kalau status lahan berbasiskan transaksi komersial.

***

Kebanyakan penyintas di Huntara Layana merupakan warga dari pesisir Layana. Mereka jadi korban gempa dan tsunami pada hari penuh katastrofe 28 September 2018. Mereka juga bukanlah satu-satunya kelompok yang belum dapat hunian tetap (huntap). 

Merujuk data pemantauan SKP-HAM Sulteng, terdapat 4.394 kepala keluarga (KK) korban bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi pada 28 September 2018 yang belum dapat huntap di Palu, Sigi, dan Donggala. Rinciannya: 2.996 KK di Palu, 634 KK di Sigi, dan 764 KK di Donggala.

Tercatat ada 64 KK yang kini menempati Huntara Layana. Mula-mula, kelompok ini berjumlah 80 KK, tetapi ada 15 KK yang memilih beli tanah supaya dapat bantuan dari Program Hunian Tetap Mandiri (Huntap Mandiri) yang diurusi Pemerintah Kota Palu. 

“Yang 15 KK mungkin mampu untuk beli tanah. Mungkin juga sudah tidak tahan, jadi beli tanah. Ada juga satu kepala keluarga yang sekarang tidak tahu di mana, kemungkinan sudah pulang kampung,” ujar Abdul Aziz, Ketua Forum Penyintas Layana, Minggu (25/12/22) sore.

Forum Penyintas Layana sudah hampir setahun terbentuk. Ia dimaksudkan sebagai alat bersama untuk para penyintas asal Layana dalam memperjuangkan pemenuhan hak mereka.

Abdul Azis, yang didapuk sebagai ketua, merupakan seorang perantau dari Makassar. Ia sudah bermukim di Palu sejak 1995, dan pindah ke Layana pada 2016.

Penyintas seperti Aziz terhalang dapat huntap karena tidak punya sertifikat rumah atau tanah. Kendala yang dialami Aziz banyak ditemui di Palu. Padahal mereka sudah tercatat sebagai warga Kota Palu sedari jauh hari sebelum bencana 28 September 2018.

Menurut Azis, pernah ada momen saat pemilik lahan huntara dan penyintas bernegosiasi. Para penyintas meminta agar mereka diberi waktu supaya huntara tidak buru-buru dibongkar. Mereka pun paham; tak bisa menyalahkan dan sekadar berharap kemurahan hati dari pemilik lahan. 

Kini pelan-pelan huntara sudah dibongkar. Yang tersisa tinggal delapan petak. Wajah dan nada putus asa para penyintas segera terasa bila ada orang asing yang datang ambil gambar di sekitar Huntara Layana. “Aihh, suruhan yang punya tanah sudah ini. Mau diapa, dorang yang punya tanah,” keluh seorang penyintas.

Sebagian besar penyintas yang menempati huntara itu berprofesi sebagai buruh di area pergudangan sekitar Layana dan Mamboro. Selain kehilangan tempat tinggal, petaka 28 September 2018 bikin mereka kehilangan pekerjaan. Area pergudangan juga banyak disapu tsunami.

Azis juga lempar keluh soal munculnya kesan bahwa mereka yang mampu secara ekonomi tidak layak dapat huntap.

Padahal hak penyintas sudah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007. Misal pada Pasal 26 ayat 3 disebutkan bahwa, “Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.” 

Para penyintas di Huntara Layana juga pernah dapat informasi soal kemungkinan mereka akan menempati Huntap Tondo yang dibangun oleh Yayasan Buddha Tzu Chi. Namun, saat penyerahan huntap, mereka tak dapat bagian.

Kala itu situasi sempat memanas, tapi bisa diredam beriring janji bahwa para penghuni Huntara Layana akan dapat bagian pada tahap kedua. 

Nasib tetap buntung. Pada tahap kedua, para penyintas di Huntara Layana kembali tak beroleh apa pun. Informasi itu juga baru mereka terima pada awal tahun 2022. Nasib mereka pun terkatung-katung: Tak dapat huntap, dan huntara bisa dibongkar kapan saja.

***

Anak-anak bermain di antara puing-puing sisa pembongkaran Huntara Layana. (Foto: Rizky Urip/Tutura.Id).

Para penyintas di Huntara Layana kini dapat pendampingan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulteng. Belum sampai ke meja persidangan, mereka dapat tawaran solusi yakni cari lahan agar bisa ikut program Huntap Mandiri.

Lokasi untuk bangun Huntap Mandiri akhirnya diperoleh. Titiknya berjarak sekitar tiga kilometer dari lokasi Huntara Layana. Butuh sekitar Rp400 juta untuk menjadikan tanah itu jadi kepunyaan mereka. 

Sebagai tanda jadi untuk beli lahan, mereka serahkan uang Rp5,1 juta. Uang itu bersumber dari patungan warga sebesar Rp2,5 juta, plus tambahan Rp2,6 juta dari LBH Sulteng. 

Mereka masih butuh uang sekitar Rp390-an juta untuk pelunasan lahan. Pemilik lahan kasih waktu enam bulan untuk pelunasan. Sumber uang untuk pelunasan masih belum terang. “Nah kalau itu berdoa saja,” kata Aziz.

Situasi ideal yang Aziz bayangkan: Lokasi tersebut lunas; proposal pembangunan Huntap Mandiri diterima; hunian nan layak bisa dibangun; dan mereka bisa menempatinya.

Namun, apa boleh bikin, situasi yang mereka hadapi kian berat. Huntara yang kini mereka tempati bisa dibongkar sewaktu-waktu oleh pemilik lahan. Alhasil, para penyintas harus memikirkan opsi lain.

Mereka pun berencana untuk kembali tinggal dalam tenda. Saat ini, para penyintas sedang mengumpulkan tenda. Rencananya, tenda itu akan berdiri di lokasi yang belum lunas tersebut.

“Tinggal di tenda sambil menunggu lokasi lunas dan huntap selesai dibangun,” kata Aziz. Keluhannya terdengar menggantung di tengah udara panas Layana. 

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
3
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
9
Kaget
0
Marah
1
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Mengubah stigma dan mewujudkan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat di Sulteng
Mengubah stigma dan mewujudkan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat di Sulteng
Sulteng menjadi tempat ketiga setelah Aceh dan Jakarta yang melaksanakan kegiatan Pemenuhan Hak Korban Pelanggaran…
TUTURA.ID - Nestapa para penyintas bencana di hunian sementara
Nestapa para penyintas bencana di hunian sementara
Para korban bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di Palu terpaksa bertahan di hunian sementara selama…
TUTURA.ID - SKP-HAM Sulteng mengkritisi progres penyediaan huntap Pasigala
SKP-HAM Sulteng mengkritisi progres penyediaan huntap Pasigala
Proyek pembangunan huntap untuk warga terdampak bencana di Pasigala akan berakhir Juni 2024. Beberapa hal…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng