"Ini perjuangan panjang 19 tahun dari kami mulai bertemu, mendokumentasikan, dan mengorganisir korban. Banyak dari mereka sudah meninggal dari yang pernah dikumpulkan SKP-HAM 1.210 kesaksian. Apa yang terjadi hari ini pemenuhan hak para korban ini bukti nyata negara hadir."
Kutipan di atas merupakan ungkapan Ketua Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia alias SKP-HAM Sulawesi Tengah (Sulteng).
Pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat bukan sekadar seremonial belaka, tapi soal perjuangan yang tiada henti. Pembantaian di Indonesia kurun 1965–1966 yang merupakan imbas Gerakan 30 September (G30S) telah menghancurkan hajat dan derajat hidup banyak orang tak bersalah.
Stigma diskriminasi dan ketakutan selama ini selalu menjadi mimpi buruk di kehidupan nyata para korban.
Pada Kamis (14/12/2023) sekira pukul 11.00 Wita, saat orang-orang sedang mengantre giliran untuk mendapatkan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat, saya mengamati pergerakan di sekitar. Selain sibuk foto bersama, mereka larut dalam ekspresi beragam rupa.
Satu sosok yang nampak berseliweran di antara kerumunan itu adalah seorang perempuan berkerudung cokelat. Gerakannya gesit menyambangi setiap orang dalam ruangan Gedung Pogombo Kantor Gubernur Sulawesi Tengah di Jalan Ahmad Yani, Besusu Barat, Palu Timur, yang jadi tempat berlangsungnya kegiatan.
Nurlaela Lamasituju jadi sosok yang dimaksudkan. Jabatannya ketua SKP-HAM Sulteng. Ia punya kontribusi besar dalam mewujudkan pemberian bantuan sosial bagi para korban pelanggaran HAM berat hari itu. Tak heran setiap orang nampak kenal akrab dengannya.
Saya bergegas menyeruak di kerumunan untuk mendekatinya. Meminta sedikit waktu wawancara. Responsnya sesuai harapan. Ela, sapaan akrabnya, mengaku hasil hari ini merupakan buah perjuangan kontinu. Bukan hanya di Sulteng, tetapi juga di seluruh Indonesia.
Nurlaela menyebut inti dari semua program itu adalah pengakuan. Bertahun-tahun tak diakui oleh negara, kini para korban dipulihkan kembali hak-haknya. Wujud penyesalan negara atas kesalahan yang pernah terjadi. Program itu mengisyaratkan pula agar pelanggaran tak terulang kembali di masa yang akan datang.
"Selama ini mereka terdiskriminasi, terstigma, tidak terakses. Orang-orang lain dapat layanannya, mereka enggak dapat. Apalagi di zaman orde baru, mereka ini dapat cap merah. Semua hak, layanan apapun, bahkan pendidikan dikeluarkan dari sekolah. Yang sudah masuk tentara, sudah gol, dikeluarkan. Banyak yang seperti itu," ungkap Ela.
Dari total 1.210 kesaksian yang dikumpulkan SKP-HAM Sulteng, asesmen verifikasi tahap pertama itu menyerahkan pemenuhan hak kepada 145 penerima yang tersebar di Palu (94 orang), Donggala (29), Sigi (8), Parigi Moutong (12), Buol (1), dan Morowali Utara (1).
Adapun program bantuan yang diberikan meliputi hak atas kesehatan, sandang pangan yang layak, ekonomi, pendidikan, dan perumahan.
Salah satu bentuk bansos yang diterima adalah jaminan sosial melalui Program Keluarga Harapan (PKH). Masing-masing penerima manfaat akan mendapatkan sebesar Rp900 ribu per bulan dan bantuan sembako senilai Rp200 ribu per bulan. Bantuan itu diterima tiga bulan sekali.
Ada pula pemberian Kartu Indonesia Sehat (KIS) Prioritas dari Kementerian Kesehatan RI yang dapat digunakan tanpa melalui BPJS, pelatihan usaha mikro dan penerbitan NIB dari Kemenkop UKM, serta bingkisan tahun baru dari Kementerian BUMN. Khusus untuk para korban di Sulteng, Pemprov Sulteng memberikan bantuan bahan pangan.
"Masih banyak korban yang belum terakses. Kami berharap kerjasama setiap pihak dan pemerintah daerah untuk menemukan semua korban yang masih belum berani bicara," pungkas Ela.
Salah satu warga penerima bernama Rusid (76), warga Kelurahan Taipa, Palu Utara, yang sedang duduk sembari membaca kertas selebaran program-program tampak semringah. "Saya pribadi berterima kasih atas bantuan ini," ujarnya singkat.
Pemberian bansos tersebut, seperti diungkapkan Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura, merupakan aksi nyata dan langkah konkret pemerintah menindaklanjuti rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di Indonesia.
"Semoga kegiatan ini menjadi awal bagi terbangunnya kehidupan yang adil, damai, dan sejahtera bagi para korban. Semoga program ini dapat bermanfaat guna meningkatkan kesejahteraan sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan. Sesuai visi gerak cepat menuju Sulawesi Tengah lebih sejahtera dan maju," ujar Cudy, sapaan karib sang gubernur.
Cudy termasuk sedikit pemimpin di negeri ini yang berani mengaku dan meminta maaf kepada keluarga korban pelanggaran HAM 65/66. Itu dilakukannya kala masih menjabat sebagai Wali Kota Palu periode 2010-2015. Selengkapnya tercatum dalam buku Palu dan Godam Melawan Keangkuhan: Kisah di Balik Permohonan Maaf pada Korban Pelanggaran HAM Peristiwa 1965-1966.
Presiden Joko Widodo pada September 2022 sebelumnya telah membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM). Tim yang pengarahnya diketuai Menkopolhukam Mahfud MD itu merekomendasikan penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kemudian pada Maret 2023, dibentuklah Tim Pemantau PPHAM melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023. Tim ini berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Saat yang bersamaan Jokowi mengeluarkan pula Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat. Instruksi tersebut ditujukan kepada hampir seluruh menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI, dan Kapolri.
"Kami sudah melakukan usaha-usaha. Pertama tanggal 26 Juni 2023, di Rumoh Geudong, Aceh, yang dihadiri Bapak Presiden. Lalu 11 Desember kemarin, kami mengadakan hal seperti ini di Jakarta," ujar Ketua PPHAM RI Makarim Wibisono kepada Tutura.Id usai jamuan makan siang di salah satu kafe di Palu.
Penyerahan dan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang diselenggarakan di Palu merupakan yang ketiga secara nasional. Khusus di Sulteng, penerimanya sebanyak 454 orang yang diserahkan bertahap.
Orang-orang yang mendapat pemulihan tersebut telah melalui verifikasi oleh Komnas HAM. Sedikitnya ada 7000 korban yang telah diverifikasi dan diberikan surat keterangan.
"Kita berharap jangan berhenti sampai di sini, tapi terus berlanjut. Korban ini, kan, tersebar bukan hanya di Palu, Aceh, dan di Jakarta, tetapi hampir di seluruh Indonesia. Tentunya kami berharap program ini bisa menjangkau di manapun," harap Ketua Komnas HAM RI Abdul Haris Semendawai dalam kesempatan yang sama.
Meski telah mendapatkan pemenuhan hak, Abdul Haris menyebut perwakilan Komnas HAM tiap daerah harus senantiasa melakukan pendampingan. Hal itu perlu dilakukan guna meminimalisir hambatan pada proses penggunaan bantuan, misalnya penggunaan KIS Prioritas di rumah sakit.
"Mereka yang belum mendapatkan surat keterangan, Komnas HAM tentunya akan memfasilitasi. Mungkin awal tahun depan kita juga akan memverifikasi, karena sudah ada permohonan yang masuk," tutup Abdul Haris.
Komnas HAM hak asasi manusia diskriminasi SKP-HAM Sulteng PPHAM Komnas HAM Gerakan 30 September Rusdy Mastura. Nurlela Lamasituju bantuan sosial Pemprov Sulteng