Rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di wilayah Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong (Padagimo) membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Dalam dokumen Pengkajian Kebutuhan Pascabencana (Jitupasna) menyebut biaya pemulihan sebesar Rp36,3 triliun.
Anggaran itu termaktub dalam dokumen Jitupasna yang merujuk pada Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2019 tentang Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana, dan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2018 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi Sulawesi Tengah dan Wilayah Terdampak Lainnya.
Dalam dokumen itu terinci Kota Palu butuh Rp18,9 triliun, dan Kabupaten Sigi perlu Rp10,2 triliun. Selanjutnya ada Kabupaten Donggala perlu Rp6,5 triliun, dan Kabuparen Parigi Moutong (Parimo) butuh Rp725,5 miliar.
Dalam dokumen itu pula, terjelaskan bahwa bencana 28 September 2018 memberi dampak kerusakan dan kerugian sebesar Rp24,1 triliun. Rinciannya: Palu (Rp6,9 triliun), Sigi (Rp11 triliun), Donggala (Rp4,4 triliun), dan Parimo (Rp1,6 triliun).
Kepala Sub Bidang Rekonstruksi BPBD Sulteng, Darussalam, menyebutkan ada lima sektor yang difokuskan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, yakni permukiman, infrastruktur, sosial, ekonomi, dan lintas sektor.
“Lintas sektor ini contohnya lingkungan, perbankan, bangunan pemerintahan,” terangnya saat ditemui di ruangan kerjanya, Selasa siang (03/01/23).
Darussalam mengungkapkan sumber pembiayaan proyek pemulihan yang direkap oleh BPBD Sulteng, berasal dari 6 lini. Yakni APBD kabupaten dan kota, APBD provinsi, hibah Badan Nasional Penangunglangan Bencana (BNPB), kementerian/lembaga, masyarakat dan dunia usaha, serta dari hibah lembaga donor.
Realisasi anggaran pemulihan
Darussalam mengatakan realisasi anggaran untuk proyek pemulihan saat ini mencapai sekitar 80 persen. Dokumen BPBD Provinsi Sulteng menunjukkan bahwa realisasi sepanjang 2019-2020 dari APBD kabupaten dan kota sebesar Rp2,1 triliun. Adapun realisasi APBD provinsi Sulteng sebesar Rp1,1 triliun.
Sedangkan realisasi dari hibah BNPB sebesar Rp2,3 triliun. Sementara itu realisasi dari kementerian/lembaga sebesar Rp9,8 triliun. Selanjutnya, dari masyarakat serta dunia usaha (termasuk lembaga nonpemerintah) sebesar Rp3,1 triliun. Lalu sumber dari hibah donor sebesar Rp2 triliun.
Total ada Rp20,4 triliun direalisasikan dari Rp36,3 triliun kebutuhan. Atau sekitar 56,18 persen.
Namun dalam dokumen Jitupsana Tahun 2022-2024, anggaran pemulihan nominalnya surut menjadi Rp5,8 triliun. Padahal bila dihitung di atas kertas, harusnya anggaran pemulihan yang dibutuhkan adalah Rp15,9 triliun.
Atas perbedaan itu, Darussalam mengungkapkan bahwa selisih kebutuhan dalam anggaran pemulihan itu telah terealisasikan oleh organisasi nonpemerintah (NGO) khususnya di sektor sosial dan ekonomi. Alhasil anggaran pemulihan yang dibutuhkan untuk tahun 2022-2024 hanya sekitar Rp5,8 triliun--sesuai dokumen Jitupasna dengan alas hukum Inpres 8/2022 dan Pergub 4/2022.
“Kalau kebutuhan 36,3 triliun, perkiraannya kan seharusnya tersisa sekitar belasan triliun lagi kan. Kenapa tinggal Rp5,8 triliun? Nah begitu kita evaluasi, khususnya di sektor sosial dan ekonomi itu sudah dilakukan oleh NGO-NGO dan masyarakat, seperti masjid,” ungkapnya.
Evaluasi yang dimaksud Darussalam merujuk pada ketambahan realisasi sekitar Rp10,1 triliun. Sehingga, sampai tahun 2021, sekitar Rp30,5 triliun terealisasi dari Rp36,3 triliun. Butuh sekitar Rp5,8 triliun lagi untuk pulih.
Angka tersebut sedang dikerjakan dengan jangka waktu tahun 2022-2024.
Monitoring oleh NGO
Realisasi atau penggunaan anggaran pemulihan pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di wilayah Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong (Padagimo) selama ini turut diawasi oleh lembaga nonpemerintah (NGO).
Salah satu NGO yang melakukan pengawasan terhadap penggunaan anggaran pemulihan pascabencana ini adalah SKP-HAM. NGO lokal yang berfokus pada pembelaan HAM ini memosisikan pemenuhan kebutuhan penyintas dan pemulihan pascabencana sebagai bagian dari hak asasi.
Mereka melakukan monitoring khsusus pada penggunaan uang donor dari Bank Dunia yang terserap di dalam anggaran pemerintah dan organisasi lainnya.
Salah satu pengawasan yang dilakukan oleh Tim Monitoring SKP-HAM atas penggunaan uang donor Bank Dunia, yakni pada proses penyediaan dan pembangunan hunian tetap.
Merujuk data per September 2022, SKP-HAM mengungkapkan bahwa sebagian besar infrastruktur hingga pemenuhan hak penyintas berupa hunian tetap (huntap), meleset jauh dari target, jadwal serta rencana.
Contohnya, 4.394 kepala keluarga (KK) belum mendapatkan huntap. Rinciannya, yakni 2.996 KK di Palu, 634 KK di Sigi, dan 764 KK di Donggala.
Atas hasil monitoring tersebut, SKP-HAM menilai kinerja atas pemulihan bencana terbilang lambat. Tidak sesuai dengan Pergub 10/2019.
Perpanjangan Jitupasna
Realisasi anggaran pemulihan yang di luar target alias terlambat, dapat dilihat dengan adanya perpanjangan dokumen Jitupasna 2019-2021. Sebagai catatan, dokumen Jitupasna dibuat tersebut kemudian disahkan melalui Pergub 10/2019.
Dalam peraturan itu, tahapan rehabilitasi berlangsung dari 26 Desember 2018–23 Februari 2019, dengan sasaran utama memperbaiki pelayanan publik hingga pada tingkat yang memadai. Termasuk juga mengupayakan penyelesaian berbagai permasalahan. Utamanya penyelesaian hak atas tanah dan penanganan trauma korban bencana.
Sementara tahapan rekonstruksi mestinya berlangsung dari 23 Februari 2019-23 Februari 2021. Sasaran utama dari tahap rekonstruksi ini adalah terbangunnya kembali kawasan dan masyarakat di wilayah yang terkena bencana baik langsung maupun tidak langsung.
Dengan catatan, prosesnya melibatkan semua masyarakat korban bencana, para pakar, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha.
Kini dokumen Jitupasna diperpanjang lagi lewat Instruksi Presiden 8/2022 tentang Penuntasan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Gempa Bumi, Tsunami, dan Likuefaksi di Provinsi Sulawesi Tengah. Lalu turunannya termuat pula dalam Pergub 4/2022 tentang Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana tahun 2022-2024.
Darussalam enggan disebut keliru. Ia balik menyebut bahwa keterlambatan terjadi lantaran ada NGO yang melaksanakan programnya tanpa berkoordinasi dengan mereka. Ia juga mengklaim bahwa proses itu mengakibatkan gejolak di level masyarakat dan butuh waktu untuk menyelesaikan perkara ini.
Sejalan dengan BPBD Sulteng, tim monitoring SKP-HAM juga melihat bahwa proses pemulihan lemah dalam komunikasi dan koordinasi. Namun lemahnya komunikasi dan koordinasi justru terjadi di tataran pemprov, pemkot, pemkab, dan lembaga serta kementerian.
Pelaporan realisasi anggaran
Di luar realiasasi anggaran pemulihan pascabencana yang lamban, pelaporan progres proyek tetap dilakukan. Siapa yang berwenang sebagai muara pelaporan?
Darussalam menjelaskan BPBD Sulteng hanya memiliki peran peran menghimpun data-data terkait progres pemulihan dari tiap kabupaten dan kota. Sedangkan realisasi anggaran dalam bentuk pelaksanaan proyek dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan kota.
Dari penghimpunan data-data yang dilakukan oleh BPBD Sulteng dari pelaksana proyek pemulihan, dilakukan pelaporan kepada ke BNPB, Sekretariat Wakil Presiden, dan Sekretariat Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) RI.
“Jadi wakil presiden ini sebagai koordinator untuk kebencanaan di Provinsi Sulawesi Tengah,” tutup Darussalam.
bencana gempa tsunami likuefaksi 28 September 2018 rehabilitasi rekonstruksi BPBD SKP-HAM