Permintaan terhadap jasa pekerja rumah tangga (PRT) cenderung naik. Meski begitu, masih saja ada pemberi kerja (majikan) berlaku tidak adil.
Ada yang upahnya ditahan, ada pula yang dilecehkan hingga nyawa jadi taruhan. Payung hukum perlindungan PRT yang diharapkan jadi “panglima” masih tertahan di DPR dengan dalih “tidak perlu terburu-buru”.
Situasi ini menggambarkan nasib mereka; dibutuhkan sekaligus diabaikan.
Sawal (38) seorang pria dari sebuah desa kecil di Lembah Napu, Kabupaten Poso. Ia mulai merantau ke Kota Palu sejak tahun 2019.
Pilihan merantau dianggapnya logis agar bisa menikmati suasana perkotaan sekaligus berharap dapat pekerjaan reguler dengan gaji tetap setiap bulan.
Namun ekspektasi itu berbanding terbalik dengan kenyataan. Setelah dua bulan lebih mencari kerja, tak ada pemberi kerja yang mau menerimanya dengan sistem reguler.
Standar tinggi pemberi kerja dari mulai ijazah, usia, hingga pengalaman kerja jadi batu sandungan.
Meski tamatan SMP, tapi Sawal tak mengantongi ijazah sebagai bukti. Pun pengalaman sebatas jadi buruh tani dan kebun.
Ketika datang ke Palu, ia hanya bermodal KTP, plus beberapa lembar pakaian dan uang Rp300 ribu.
Harapan bisa dapat kerja reguler dengan gaji bulanan pupus seketika. Namun ia tak patah semangat.
Selama ada lowongan yang tak butuh syarat apa pun, Sawal akan melakoninya dengan catatan bukan pekerjaan kriminal. Opsi menjadi pekerja serabutan diambilnya.
“Paling sering dapat kerja bakasih bersih rumah. Depe upah kisaran Rp80-Rp100 ribuan. Mulai kerja pagi sampai hampir malam baru selesai,” kenang Sawal tentang awal mula menjadi PRT.
Ia bilang kalau informasi pekerjaan biasanya lewat perantara mulut ke mulut. Terkadang juga harus minta bantuan teman yang punya ponsel. Sekadar mencari lowongan kerja via media sosial, seperti Facebook.
“Biasa kalo bos sebelumnya (baca: pemberi kerja) rasa bagus hasil kerjaku, dia panggil ulang. Kadang juga dia kasih tahu sama teman-temannya, tapi tidak setiap hari,” tuturnya.
Ia juga punya pengalaman pahit. Setahun yang lalu, ada seorang majikan meminta mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tapi si pemberi kerja tak memenuhi kesepakatan kerja seperti awal pembicaraan.
“Kerja ringan sebenarnya, targetnya satu minggu kelar, tapi saya selesaikan lima hari. Tapi, bayarannya nanti dua minggu berikutnya. Dia pikir saya ini makan satu kali dua minggu,” ungkapnya dengan nada suara agak tinggi.
Tak ingin pengalaman serupa terulang, Sawal lebih memilih berhati-hati mencari majikan. Baginya tak jadi soal bila harus diberi upah lebih rendah dari ekspektasi, asal dapat majikan baik hati dan berkomitmen dengan pembicaraan.
Kondisi yang dialami Sawal masih sedikit lebih baik dibanding pengalaman Mia (27) ketika menjadi PRT anak dengan dalih anak tinggal. Mia berasal dari latar belakang keluarga miskin di sebuah dusun terpencil di Parigi Moutong.
“Waktu itu baru mo masuk SMP. Saya dijanji untuk dibantu uang sekolah, ada juga dibilang kerja ringan, tapi intinya diimingi bisa hidup bagus. Tapi, pas so di rumah itu, saya jarang istirahat. Di sekolah kadang so capek sekali karena pekerjaannya banyak. Seperti kerja pembantu RT, mirip cerita sinetron Indosiar,” kenang Mia menceritakan pengalaman pilu masa lalunya.
Ceritanya tidak selesai sampai di situ. Ia kerap mendapat perlakuan diskriminatif dari keluarga tempatnya bekerja dan tinggal.
“Saya ini, kan, Kristen, setiap Minggu itu saya berhak ibadah di gereja. Tapi orang di tempat tinggal saya tidak kasih izin. Saya sampai menangis peluk Alkitab, sambil ingat orang tua di kampung,” ungkapnya.
Ia mengaku selama menjadi anak tinggal, tak sekali pun diberi imbalan jasa seperti uang untuk sekadar jajan atau membeli kebutuhan dan permainan laiknya anak remaja pada umumnya. Murni hanya uang sekolah, itupun hanya sekali pembayaran.
Setelah punya akses untuk memberi tahu kondisi yang sebenarnya kepada orang tuanya. Tanpa pikir panjang dan butuh waktu lama, ia pun segera dijemput pulang setelah menjadi anak tinggal hampir setahun.
Orang tuanya memilih tak lagi menjadikannya sebagai anak tinggal, Mia juga punya komitmen yang sama.
Sepenggal cerita Sawal dan Mia hampir serupa dengan banyak kisah PRT lainnya di Indonesia.
Pemberi kerja maupun PRT hanya bermodal kesepakatan informal (perjanjian lewat ucapan); meski ada sebagian yang tetap menjalankan sistem kerja PRT dengan cara-cara profesional.
Ketiadaan pemerintah lewat perlindungan hukum ikut memperburuk sistem di sektor pekerjaan domestik (rumah tangga).
Meski PRT lebih cenderung menjadi korban, tak sedikit pula pemberi kerja (majikan) sangat dirugikan oleh ulah segelintir PRT yang tidak profesional.
Asa bagi para PRT untuk mendapatkan keadilan hadir pada awal tahun ini. UU PPRT telah masuk dalam daftar prioritas legislasi nasional (prolegnas). Sebuah usaha yang memakan waktu hampir 22 tahun.
Dibutuhkan sekaligus diabaikan
Lita Anggraeini dari Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mengatakan, UU PPRT ini tak sekadar memihak PRT, tapi jadi landasan hukum bagi para pemberi kerja untuk mendapat calon PRT yang bekerja secara profesional laiknya pekerja pada umumnya.
“PRT itu memenuhi unsur hubungan kerja yakni perjanjian, perintah, pekerjaan, dan upah laiknya pekerja pada umumnya. Selain menekan korban eksploitasi, juga membantu menyehatkan iklim kerja di sektor ini.” kata Lita kepada wartawan via aplikasi Zoom, Kamis (9/2/2023).
Berdasarkan survei International Labour Organization (ILO) dan Universitas Indonesia (UI), tahun 2015 tercatat ada sekitar 4,3 juta PRT di Indonesia, dengan pembagian 3,2 juta PRT perempuan dan 1,1 juta PRT pria.
Meski tak ada statistik resmi mengenai jumlah PRT di tanah air, tapi JALA PRT mengestimasi jumlah PRT mencapai 5 juta pada tahun 2022. Artinya pekerja di sektor domestik ini masih sangat dibutuhkan.
Lita menambahkan bahwa PRT punya kontribusi penting menggerakan perekonomian.
Alasannya karena para pekerja di lembaga negara maupun swasta dapat bekerja secara optimal dan tenang, dapat meniti karier profesional, berkat keberadaan PRT yang diberi tanggung jawab mengurusi sektor domestik. Salah satu contohnya pekerjaan merawat anak-anak.
“PRT ini juga mensubsidi biaya pendidikan dan membantu ekonomi keluarga, bahkan untuk investasi semisal beli tanah untuk diolah atau ternak. Penghasilan PRT turut memutar ekonomi di daerah, sekitar 30-50 persen jadi pendapatan daerah asalnya,” jelas Lita.
Meski PRT punya kontribusi bagi publik, tetapi ketiadaan payung hukum membuat kondisi mereka tidak sejahtera. PRT kerap diasosiasikan sebagai pekerjaan di ranah privat yang tak perlu kontrol sosial hingga pengawasan dari pemerintah.
PRT acapkali tidak diakui sebagai bagian dari pekerja, karena hal itu mereka jadi tidak punya perlindungan, tidak memiliki penghormatan, serta tidak ada pemenuhan berdasarkan hak-hak sebagai pekerja.
Situasi ini diperparah bila PRT itu adalah perempuan, yang berada dalam situasi tidak layak karena menerima multi kekerasan (seksual, ekonomi, fisik, dan psikis). Sepanjang 2017-2022, ada sekitar 1,635 PRT perempuan yang mengalami multi kekerasan.
Koalisi Sipil untuk UU PPRT, Eva Kusuma Sundari, memastikan UU PPRT punya azas keadilan, kekeluargaan, kesejahteraan, dan kepastian hukum.
“Tagline UU PPRT ini kan untuk kemanusiaan dan gotong royong. Makanya dalam batang tubuh payung hukum ini mencantumkan hak dan kewajiban kedua belah pihak (PRT dan pemberi kerja),” kata Eva.
Dalam draf UU PPRT, lingkup pekerjaan rumah tangga merujuk pasal 7, meliputi memasak, mencuci pakaian, menyeterika pakaian, membersihkan rumah, mengasuh anak, menjaga orang sakit/berkebutuhan khusus, mengemudi, menjaga rumah, dan menjaga binatang peliharaan.
Sedangkan pada pasal 11-13 mencantumkan hak PRT sebanyak 9 poin, sedangkan kewajibannya sebanyak 6 poin. Sementara pada pasal 14–15 mengenai hak pemberi kerja sebanyak 7 poin dan kewajiban sebanyak 5 poin.
Eva menilai lewat UU PPRT hubungan kerja akan lebih harmonis. Bila salah satu pihak (PRT, pemberi kerja, maupun penyalur PRT) menyimpang dari kesepakatan, maka akan diselesaikan dengan cara mufakat dan mediasi.
“Selama ini, kan, lebih banyak sepihak. PRT kadang lari tanpa menyelesaikan tugas, terus pemberi kerja (majikan) berbuat semena-mena. Nah, UU PPRT ini berupaya meminimalisir risiko di atas.” tuturnya.
Secara keseluruhan, lanjut Eva, UU PPRT punya delapan prinsip utama, salah satunya implementasi Suistanable Development Goal’s (SDG’s) bahwa “tak seorang pun ditinggalkan”, yang bermakna lima juta PRT diikutsertakan dalam pembangunan.
Minim pemberitaan yang konsisten
Berdasarkan hasil riset Komnas Perempuan bersama Konde.co bertajuk “Bagaimana Media Memberitakan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga?”, setidaknya ada enam problem utama yang kerap divisualisasikan oleh media terkait kampanye perlindungan PRT.
“Pewartaan terkait acara untuk mendorong pengesahan UU PPRT masih minim. Hanya ada sembilan. Selain itu pada peringatan Hari PRT Nasional 2021, tak ada media yang mau menuliskan,” ungkap Luviana Ariyanti, pemimpin redaksi Konde.co, dalam lokakarya kepada jurnalis untuk isu PRT via Zoom (9/2).
Selain itu, beberapa berita dituliskan dengan narasumber berbeda, meski dalam acara yang sama. Sejumlah artikel terkait RUU PPRT lebih banyak menampilkan narasumber dari DPR, aktivis, dan Komnas Perempuan. Hanya sekali dari perwakilan PRT yang diberi ruang untuk bersuara.
“Adapula replikasi atau pengulangan berita dari media berbeda meski berada dalam satu induk perusahaan yang sama. Ini mencerminkan problematika klasik media terkait pengolahan isu,” pungkas Luvi.
Problem media dari perspektif Luvi tadi lantaran media juga dihadapkan dengan kondisi yang mengubah pewartaan semisal; riuh advokasi, kampanye, respon pemerintah, hingga yang paling sering dialami yakni situasional redaksi. “Misal dalam rapat redaksi, dianggap menarik maka perlu diliput, begitu sebaliknya”.
Wartawan senior Kompas, Sonya Hellen Sinombor, berkata seharusnya media menjadi suara (kabar) yang membebaskan, seperti pada kasus yang dialami PRT, salah satu kelompok marjinal di tanah air.
Sonya bilang, PRT punya kedudukan yang sama sebagai warga negara seperti dalam amanat UUD 1945, merujuk pasal 27 ayat 2, tanpa terkecuali.
“Media harus terlibat demi mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM; berjuang atas nama keadilan dan kebenaran atas fakta dilapangan,” tegas Sonya.
Menurut Sonya, pewartaan dari media dapat memengaruhi pemangku kepentingan mengambil kebijakan.
Contohnya banyak kejadian di daerah ketika ada foto atau video warganet yang viral, terkait sampah atau pohon tumbang di jalan, biasanya pemerintah langsung turun menangani.
Bila hal sekecil itu jadi perhatian, maka harusnya situasi yang dialami PRT bisa jadi sesuatu yang diseriusi.
“Media/wartawan lapangan harus mengenali PRT sebagai isu, lihat urgensinya, kemudian gulirkan isu itu secara terus menerus. PRT tak lagi boleh diatribusikan sebagai ART apalagi pembantu,” tandasnya.
Jelang peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional pada 15 Februari 2023, akankah PRT menerima titik terang setelah berjuang dua dekade; ataukah kembali menemui jalan buntu?
pekerja rumah tangga PRT Undang-Undang Palu Poso Parigi Moutong kekerasan pelecehan diskriminasi media pers jurnalisme