“Permisi om, ada WS kosong?”
“Eh, te usah kita main di sana. Lalod sekali.”
Kalimat di atas sangat mungkin terasa familiar bagi sebagian orang. Bisa jadi langsung membangkitkan lagi sekeping kenangan. Masa ketika masih jadi pengunjung setia warung internet alias warnet.
Menjelang pergantian hingga awal milenium baru, internet di Kota Palu masih jadi sebuah kemewahan. Hanya kalangan berduit yang bisa menikmatinya sebab biayanya masih mahal.
Demi mendekatkannya dengan kalangan lebih luas, juga tentu saja karena pertimbangan bisnis, beberapa orang kemudian membidik usaha warnet. Harga sewa per jamnya bervariasi, rentang Rp8000-Rp6000.
Lantaran kebanjiran peminat, bisnis warnet di Kota Palu tumbuh bak cendawan di musim hujan. Ada di mana-mana. Fenomenanya serupa warung makan serba Rp10 ribu yang menjamur saat ini.
Konsepnya sederhana. Ruangan diisi beberapa personal computer alias PC yang telah disekat-sekat. Ada yang di dalamnya menyediakan kursi, tak sedikit juga mengusung konsep lesehan beralas karpet.
Jika beruntung, ada pula yang dilengkapi web cam yang terpasang di atas monitor dan headset. Biasanya fasilitas itu menjadi incaran mereka yang ingin melakukan percakapan via aplikasi Yahoo! Messenger.
Demi menjaga privasi pengguna, biasanya ada tambahan penutup alias tirai untuk tiap ruangan. Entah mengapa, warnet model seperti ini biasanya paling favorit.
Mengincar pangsa pasar siswa, mahasiswa, dan generasi muda umumnya, tak jarang lokasi warnet berada di dekat sekolah, kampus, lembaga kursus, atau pusat keramaian lainnya.
Saat itu, warnet hadir jadi salah satu tempat favorit anak muda yang melayani berbagai kebutuhan, mulai dari mencari asupan informasi terbaru, mengumpulkan bahan tugas sekolah atau kampus, bermain gim daring, membuka situs pertemanan sosial semisal Friendster dan forum Kaskus, atau mengunduh lagu, videoklip, bahkan film.
Jika perut mulai keroncongan saat lagi asik berselancar atau sambil menunggu antrean, beberapa menu pengganjal bisa dipesan. Hidangan paling umum indomie, telur, kornet alias internet. Kopi sasetan dan beberapa minuman dingin juga disediakan.
Beberapa warnet legendaris yang pernah menikmati masa kejayaan bisnis ini di Kota Palu, antara lain GeoNet (Jl. Kartini, depan SMKN 1), GreenJol (Jl. Gatot Subroto, dekat Smansa), Blasblus Internet Cafe (Jl. Setiabudi), Pelangi Net (Jl. Tanjung Pesik, samping STM), Central Net (simpang Jl. S. Parman-Jl. Ki Hajar), dan Moll Net (kompleks Mall Tatura).
Tak hanya sekadar menjelajah atau mengunduh berkas digital, warnet bisa dibilang jadi candradimuka tempat para jagoan e-sport mengasah kemampuan.
Beberapa yang jadi favorit maniak game ini adalah Ragnarok, Counter Strike, DotA, Point Blank, Rising Force, dan Warcraft.
Seiring waktu dan perkembangan zaman, internet dan fasilitas penunjangnya pun kian pesat. Berselancar di dunia maya dan main bareng gim daring tak payah pergi ke suatu tempat. Semua bisa dilakukan lewat ponsel cerdas. Akses internet gratis kini juga menjadi semacam layanan yang wajib dipenuhi kafe atau tempat menongkrong remaja.
Beberapa faktor tersebut membuat eksistensi warnet kian tergerus. Bisa dibilang, hidup segan mati pun tak mau. Banyak pemilik warnet akhirnya memilih menutup bisnisnya karena sepi pengunjung. Hanya tersisa sedikit yang setia menjalaninya.
Bisnis warnet; riwayatmu kini
Kami mencoba bertandang menemui beberapa pemilik warnet yang masih bertahan di Kota Palu. Salah satunya Darvin Sembiring (41), pemilik SS-Net Gaming Palu yang berlokasi di Jalan Masjid Raya, Lolu Utara, Palu Timur.
Saat itu terlihat beberapa pengunjung sedang asyik bermain game online di tempat usahanya. Tampak pula beberapa pegawai yang menjaga warnet.
Darvin menuturkan bahwa pemasukan usahanya mulai terasa merosot sejak 2019. "Mulai menurun itu setahun setelah bencana. Di situ kelihatannya sudah bagus sekali memang HP-nya orang. Yang dulu main di sini juga akhirnya sudah jarang sekali datang. Tersisa yang veteran saja istilahnya. Itu juga hanya sebagai selingan," ungkap Devan saat kami temui Rabu (24/5/2023) malam.
SS-Net yang beroperasi sejak awal 2012 sudah mengusung konsep warnet gim daring. Pada masa jayanya, kenang Darvin, usaha warnetnya pernah berisi 50 unit komputer demi mengakomodir lonjakan pengunjung.
"Dulu bisa tembus Rp48 juta kotor per bulan. Dia menurunnya pelan-pelan. Sekarang pendapatan kotornya mentok Rp12 belasan juta. Belum lagi untuk bayar pegawai, listrik, operasional, dan lain-lain," tambahnya.
Memang, beberapa tahun belakangan pamor warnet terus memudar. Terutama setelah akses internet kian masif dan mudah didapatkan. Kebiasaan gamers ikut bergeser. Makin banyak orang memilih bermain lewat ponsel dan laptop pribadi.
Terlebih ketika pandemi dengan segala pembatasan aktivitas luar ruangan datang melanda. Bisnis warnet ikut terpuruk makin dalam. Alhasil Darvin terpaksa menjual lebih dari setengah komputer di warnetnya. Pemasukan dan biaya operasional tidak sebanding.
Hal senada diungkapkan Supriadi (39), pemilik Warnet Sakura yang berlokasi di kompleks perumahan dosen Universitas Tadulako.
Saat Tutura.Id mengunjungi warnet tersebut (25/5), lantai ruangan bilik komputer cukup berdebu. Seolah telah lama tak berpenghuni. Padahal, dulunya warnet ini menjadi favorit, terutama kalangan mahasiswa yang kuliah di Untad.
Warnet Sakura yang berdiri sejak 13 tahun lalu, sepenuturan Supriadi, kurun beberapa tahun belakangan lebih sering kosong. Bila beruntung, akan ada satu pengunjung yang datang.
"Mulai turun itu tahun 2017, pas handphone sudah makin canggih. Dorang (orang-orang, red.) cari-cari tugas di situ sudah. Belum lagi laptop sudah mulai banyak yang punya dan wifi di mana-mana," tutur Supriadi.
Ia masih ingat dengan jelas kala usaha warnetnya beroleh untung dekade silam. "Lima tahun pertama ramai. Sampai antrean lalu itu anak-anak muda, termasuk siswa dengan mahasiswa,” kenangnya.
Merasa bisnis warnet kian merosot, Supriadi kini membuka juga usaha aksesori, perlengkapan alat tulis kantor, alat-alat komputer dan ponsel, serta percetakan dokumen.
Tidak semata menyandarkan pemasukan dari bisnis warnet juga dilakukan Wiwik Mulyani (42), pemilik warnet Ikal Net yang berlokasi di Jalan I Gusti Ngurah Rai, Kelurahan Tatura Selatan.
Saat kami menyambanginya, Jumat (26/5) petang, Wiwik sedang sibuk melayani pembeli mie ayam. Usaha tersebut ia buka sejak awal 2022 demi menambah penghasilan. Sementara sang suami bekerja sebagai driver ojek daring.
Warnet ini pertama buka pada 2009 hanya bermodal enam unit komputer. Bisa dimanfaatkan untuk sekadar browsing dan bermain game online. Melihat antusiasme pengunjung, Wiwik dan suaminya menambah 21 unit komputer lagi.
"Sekitar tahun 2013 sampai sebelum bencana, masih bagus-bagusnya. Setelah bencana mulai menurun, tersisa 20 unit. Pas pandemi, merosot sekali sampai hari ini. Sekarang sisa 12 unit, itu pun juga sudah bukan yang bagus lagi speknya," kata Wiwik.
Jika dulu pemasukan dari warnet bisa mencapai Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per hari, sekarang serba tak menentu. Paling maksimal Rp50 ribu.
"Karena saya lihat kondisi sudah tidak banyak pemasukan warnet, jadi saya pikir buka usaha warung saja. Jadi kalau ada yang main bisa sambil makan. Yang penting ada saja dulu," katanya.
Wiwik membuka warung mie ayam di tempat yang sama dengan usaha warnetnya. Inisiatif memperbarui perangkat komputer demi meningkatkan angka kunjungan juga ditepisnya. Percuma. Musabab kini warnet seolah telah ketinggalan zaman.
"Mau cari modalnya juga tidak ada. Ketimbang ba paksa mau ambil uang di bank sementara kita tidak tahu bisnis ini ke depan bagaimana. Aduh, malah lebih bahaya," pungkasnya.