Eksplorasi Rio Bouty di kolam gambar
Penulis: Pintara Dinda Syahjada | Publikasi: 16 Juli 2023 - 14:40
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Eksplorasi Rio Bouty di kolam gambar
Aktivitas keseharian Rio yang sedang menggambar di atas meja kerjanya | Foto: Istimewa

Jika biasa tempat percetakan kerap memuat kalimat “cetak di atas segala dasar” untuk menarik atensi konsumen, Rio mungkin cocok mengusung kalimat “menggambar di atas segala bidang”.

Pemilik nama lengkap Rio Oscar Syarif Bouty (40) ini menggambar di mana saja. Kertas, kanvas, kain, sepatu, tembok, helm, seng, hingga permukaan kulit orang alias body painting pernah terkena sapuan kuasnya.

Bagi yang belum akrab, sosok Rio sekilas tampak garang. Bentuk wajah perseginya ditopang oleh garis rahang nan jelas. Tatapan matanya tajam. Serupa karakternya yang kuat.

Saat bersua di Tutura Space, Kamis (6/7/2023) petang, ia datang mengenakan setelan kaos hitam, celana panjang cargo bermotif loreng, dan topi. Tulisan nama band yang menghiasi kaosnya sulit terbaca oleh awam lantaran desainnya lebih menyerupai akar-akaran.

Model desain, mulai dari huruf, logo, hingga gambar sampul album dan kaos serba brutal, yang jadi ciri band-band ekstrem metal telah diakrabi Rio sejak lama. Kliennya tak hanya berasal dari dalam negeri, tapi merentang hingga ke mancanegara.

Keseringan menggarap permintaan desain sejenis akhirnya membuat kebanyakan orang memberinya cap seniman gambar khas underground.

Warna hitam mendominasi karyanya. Terkadang berpadu merah untuk memperkental aksen darah yang menyembur dari objek gambarnya. Bikin ngeri. Seolah melihat lembaran dalam komik Siksa Neraka yang populer beberapa dekade silam.

“Sebenarnya kalau mau jujur saya ini terjebak. Lantaran keseringan memenuhi permintaan gambar yang model begitu, akhirnya jadi kebiasaan,” ujarnya pelan. Walau perawakannya sangar, suaranya ketika berbicara cenderung lirih. Beda jauh ketika menyaksikannya beraksi di panggung bersama Viata Ritual. Suara geramannya mungkin bisa bikin orang bergidik.

Padahal ia bisa pula menghasilkan konsep gambar ceria yang penuh sapuan warna cerah. Lihat saja hasil goresannya yang menghiasi beberapa dinding kafe, kantor, atau bahkan rumah ibadah yang ada di Palu. Jauh dari gambar yang terkesan menyeramkan dan sadis.

Proses Rio saat mengeksekusi permintaan gambar dari klien. Bermula dari sketsa (foto kiri) hingga selesai pewarnaan (kanan) | Foto: Istimewa

Menghasilkan uang sendiri

Anak semata wayang dari pasangan Syarif Ilyas Bouty dan Isma Monoarfa ini mengaku tertarik dengan gambar setelah melihat cergam Tapak Sakti, Tiger Wong, dan Gerombolan Siberat kala masih kecil.

Memasuki usia SD ia mulai belajar menggambar tokoh-tokoh kartun yang menghiasi sampul buku tulis. “Waktu masuk SMPN 1 saya sudah bisa dapat uang dari menggambar. Mulai dari menggambarkan baju seragam dan topi sekolahnya teman, sampai menjual tutorial menggambar kartun manusia lengkap dengan ekspresinya. Harganya Rp1000 per lembar,” ungkapnya.

Saban Ramadan tiba, ia juga mulai bikin stok banyak gambar untuk kartu lebaran. Mendekati hari perayaan Idulfitri, kartu-kartu lebaran berisi aneka ilustrasi tadi ia jual di Kompleks Pertokoan Hasanuddin.

Kebisaan menggambar yang dipelajarinya secara autodidak berlanjut saat memasuki dunia sekolah putih abu-abu. Fase ini tak hanya lingkup pergaulannya yang makin luas, tapi juga eksplorasi berkeseniannya.

Bermaksud ingin lebih mengasah kemampuannya dalam menggambar, Rio mendaftar di SMKN 3 Palu. Pilihannya jurusan bangunan. “Saya kira isinya banyak menggambar, ternyata hitung-hitungan. Akhirnya lebih sering bolos dari pada masuk sekolah. Lama-lama saya berhenti sekolah. Pindah ke SMAN 5 Tondo, tapi mengulang dari kelas 1.”

Masa SMA juga membawanya lebih mengakrabi musik. Kebiasaan dengar musik diakuinya menurun dari mendiang ayahnya. “Cuma kalau pace, kan, ba dengar lagu-lagunya Koes Plus. Saya ingat kaset pertamaku yang dibelikan pace itu U’Camp album Bayangan (rilis 1993, red.),” demikian ia mengenangkan masa kecilnya.

Alhasil musik juga turut mewarnai perjalanannya seturut bertambahnya usia. Jika pada masa SMP ia terpapar punk dan grunge, menginjak SMA pengaruh musik heavy metal hadir makin kuat. Salah satunya lewat album Fear of the Dark milik Iron Maiden yang sampulnya bergambar monster di atas pohon.

“Periode ini saya juga mulai sudah main band. Akhirnya diminta ba desain flyer sama poster-poster acaranya anak-anak underground. Orderan yang masuk juga sudah mulai banyak macam, mulai dari menggambar kaos sampai sepatu. Harga seikhlasnya saja. Ha-ha-ha,” kenang Rio lagi.

Sementara di lingkungan teman-teman sekolahnya, Rio biasanya diminta menggambar karikatur di helm. Harganya tergantung kerumitan gambar, mulai dari Rp10 ribu hingga Rp20 ribu.

Ketika musim pelulusan tiba, ia juga sering kebanjiran order menggambar seragam sekolah milik siswa yang mau lulus. Desain gambar biasanya merujuk sampul album kaset pita dan majalah. Untuk mengerjakannya, Rio pasang tarif Rp30 ribu per seragam.

Lulus SMA, Rio berkeinginan masuk sekolah seni di luar Palu. “Orang tua sebenarnya mendukung. Cuma karena saya anak tunggal, akhirnya disuruh tidak usah jauh-jauh. Kuliah di Palu saja. Makanya saya ambil jurusan arsitek karena saya pikir dunianya menggambar. Ternyata ketemunya matematika lagi. Akhirnya saya menyerah, pindah ke jurusan hukum. Ha-ha-ha.”

Rio berpose di depan hasil lukisannya. Selain desain membuat logo dan ilustrasi untuk band, permintaan melukis dan bikin mural juga kerap ia terima  | Foto: Istimewa

Sempat gamang dengan identitas

Kata orang bijak, kegelisahan haruslah terus-menerus dirasakan oleh seniman. Hal serupa juga berlaku bagi Rio.

Hanya saja kegelisahan yang termasuk jadi titik tolaknya berkesenian hingga sekarang merupakan bentuk kegelisahan yang lain. Ia gamang dengan posisinya di dalam kolam besar bernama seni menggambar.

“Karakterku ini sebenarnya ke mana? Mungkin lantaran kebiasaanku semua saya kerja, jadinya saya bingung apa sebenarnya saya ini? Kadang bikin ilustrasi ekstrem yang gore, melukis karikatur, kadang bikin mural yang warna-warni,” kata Rio menirukan kegelisahan yang terus bergelayut di dalam hatinya kurun beberapa tahun belakangan.

Jawaban yang menenangkan sekaligus meredakan kegamangannya tadi ia dapatkan saat bersua Hafiz Rancajale dalam acara Media Art Week 2018 di GOLNI, Palu.

Hafiz dari Forum Lenteng yang turut membidani Ruangrupa menyarankan untuk terus saja menjalani apa yang telah menjadi kebiasaannya selama ini. Tak perlu hirau apa yang dikatakan orang. Sebab tak banyak seniman gambar yang punya kemahiran menjelajahi banyak genre seperti yang dilakukan Rio selama ini.

“Itu jadi motivasi yang saya pegang hingga sekarang. Pada akhirnya saya cuma mau berkarya. Saya sudah tidak pusing lagi dengan identitas kekaryaan itu. Ada job apa, gas! Saya juga tidak pusing dengan atribusiku, mau ditulis sebagai ilustrator, seniman gambar, kartunis, pelukis, atau apa terserah,” tegasnya.

Menggambar baginya sekarang bukan lagi wahana menuangkan imajinasi dan gagasan yang ada di kepala, tapi sekaligus mengetes batas kemampuannya dalam hal manajemen waktu.

Untuk satu gambar ilustrasi, mulai dari sketsa hingga pewarnaan, bisa diselesaikannya antara 1 hingga 3 jam. Olehnya dalam sehari ia mengaku sanggup mengerjakan tiga ilustrasi sembari masih bisa mengerjakan sesuatu di luar rumah.

Selain mengatur jam kerja, ia juga harus pintar menyiasati keuangan dari hasil menggambar supaya dapur keluarga tetap ngebul. Pasalnya tak selalu pesanan gambar ramai datang.

“Makanya saya juga persiapkan rencana-rencana lain atau plan b. Saya bikin artwork-artwork yang lebih 'menjual' untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Biasanya ada juga klien yang butuh artwork cepat jadi, nah dengan mereka itu saya tawarkan,” tutur ayah Aluna (10) dan Jibran (6) ini.

Lantaran masih pakai sistem konvensional, hasil gambar yang sudah kelar dikerjakannya berlanjut ke mesin pemindai (scanner). Saat memindai gambar, ia akan memilih hasil resolusi tertinggi yang ada pada mesin.

Hasil dalam bentuk berkas digital tadi lantas dikirimkannya via surat elektronik kepada klien. “Nanti mereka sendiri yang atur pecah-pecah warna kalau misalnya mau cetak di kaos.”

Sebagai orang yang suka mencoba hal dan tantangan baru, ia mengaku bukannya tak bersedia menjajal model kerja menggunakan gadget canggih atau software ilustrasi.

“Bukannya tidak mau atau tidak bisa. Saya pernah tes menggambar pakai gadget. Memang lebih praktis dan detail hasilnya. Faktor utamanya cuma karena cen (uang, red.) saja. Apa mahal harganya alat-alat digital itu. Jadi saya tidak mau memaksakan kalau sekarang belum bisa,” pungkasnya.

Andi Baso Djaya turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
1
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - 500 karya seniman Sulteng dijanjikan Pencatatan Hak Cipta gratis
500 karya seniman Sulteng dijanjikan Pencatatan Hak Cipta gratis
Pencatatan hak cipta gratis bagi karya-karya para seniman Sulteng akan berlangung saat penyelenggaraan Festival Danau…
TUTURA.ID - Mengintip seni grafiti di Kota Palu; bersimpang street art dan vandalisme
Mengintip seni grafiti di Kota Palu; bersimpang street art dan vandalisme
Tutura.Id berbincang dengan Komunitas Palu Graffiti, guna melihat lebih dekat praktik kesenian mereka. Apakah grafiti…
TUTURA.ID - Bertahan hidup ala PARAPAPPA dan inisiasi menghadirkan panggung rutin
Bertahan hidup ala PARAPAPPA dan inisiasi menghadirkan panggung rutin
PARAPAPPA menampilkan pertunjukan musik bertajuk "Survival". Langkah awal dari gagasan untuk terus menggeliatkan musik di…
TUTURA.ID - Pekerjaan rumah bagi para penyelenggara konser musik
Pekerjaan rumah bagi para penyelenggara konser musik
Kehadiran penonton jadi nyawa sebuah konser musik. Namun, jangan pula abai terhadap nyawa dan keselamatan…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng