The Panturas: Duta Jatinangor yang berlayar dengan surf rock
Penulis: Andi Baso Djaya | Publikasi: 26 Februari 2023 - 18:42
Bagikan ke:
TUTURA.ID - The Panturas: Duta Jatinangor yang berlayar dengan surf rock
Kelompok musik The Panturas saat mengunjungi kantor Tutura.Id, Jumat (24/2/2023)

Hampir dua tahun lamanya unit pengusung musik surf rock The Panturas memendam hasrat “berlayar” untuk mempromosikan album terbaru mereka, Ombak Banyu Asmara yang rilis September 2021.

Akhirnya kesempatan tersebut datang juga melalui tur bertajuk “Ekspedisi Ombak Banyu Asmara: Jala Khatulistiwa” yang berlangsung 18 Februari hingga 1 Maret 2023. Ada tujuh kota yang menjadi destinasi Abyan Nabilio (vokalis dan gitaris), Surya Fikri (drummer), Rizal Taufik (gitaris), dan Bagus Patria (bassis) melempar sauh.

Palu termasuk di antara tujuh kota tersebut, sekaligus jadi pengalaman perdana mereka beraksi langsung di depan para Anak Buah Kapal—sebutan untuk kelompok penggemar The Panturas.

Sebelumnya kuartet yang selalu bangga mengumumkan mereka band asal Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, telah menjajal panggung di Surakarta (18/2), Tasikmalaya (19/2), Serang (21/2), dan Tangerang (22/2). Tuntas beraksi di Palu (24/2), perjalanan tur berlanjut menyisir dua kota di Pulau Sumatera, yaitu Padang (26/2) dan Jambi (1/3).

“Niat awalnya mau bikin tur di 10 kota. Yang tidak kesampaian itu Bali, Bogor, dan Samarinda. Kita sudah enggak ada bujetnya. Ha-ha-ha,” ujar Gogon, panggilan akrab Bagus Patria.

Tempat pementasan The Panturas di kota yang juga punya pemandangan laut ini berlangsung di Vamana Coffee and Resto, Jalan Domba, Talise, untuk mengisi panggung acara “Mulok 5”, sebuah program yang diinisiasi Forum Sudutpandang.

Penyelenggaraan kali ini mendapat sokongan dari Authenticity dan RNR Experience. Beberapa band lokal Palu yang jadi pembuka adalah Pekarangan, Exbadass Monkey, dan Beach Bizzy.

Agenda lain Acin—sapaan akrab Abyan Nabilio—bersama rekan-rekannya adalah berbagi pengetahuan dengan sejumlah musisi lokal tentang proses kreatif, produksi, distribusi, dan promosi musik The Panturas di Sub Plaza Shop, Jalan Sam Ratulangi, Besusu Barat.

Wawancara yang kami lakukan termasuk dalam jadwal The Panturas selama melawat di Palu. Kedatangan para personel dan sejumlah kru ke kantor Tutura.id berlangsung Jumat (24/2/2023) siang.

Acin muncul dengan model potongan rambut shaved bob ala karakter kartun Dora the Explorer, Kuya alias Fikri seperti biasa mengenakan atribut topi yang mengingatkan pada Kapten Haddock dalam serial Tintin, Gogon memakai kacamata hitam, sementara Ijal dengan kaos merchandise band Mocca warna hitam berpadu topi fedora hijau tua.

Berikut petikan hasil wawancara kami bersama para personel The Panturas.

Rencana untuk bikin tur mempromosikan album Ombak Banyu Asmara sejak kapan sebenarnya ada?

Kuya (K): Ketika album ini rilis kami sudah ada kepikiran harus bikin showcase dan tur. Jadi kami benar-benar memainkan lagu-lagu yang ada dalam album Ombak Banyu Asmara di depan penonton langsung. Tur menurut kami juga sesuatu yang wajib. Kurang afdal rasanya kalau rilis album tapi enggak ada turnya.

Sebagai duta Jatinangor di Palu, apa yang menarik dan jadi nilai lebih daerah kalian itu?

G: Yang paling bagus di Jatinangor menurutku itu scene musiknya. Apalagi waktu zaman kami masih kuliah, sekitar 2012/2013 hingga 2018/2019. Kayaknya itu jadi peak-nya scene musik di Jatinangor. Banyak gigs kolektif, bukan acara besar. Ada banyak band yang menarik. Bahkan anak-anak band dari luar kota mau manggung di Jatinangor. Dulu itu benar-benar seru banget.

I: Selain musik, Jatinangor itu tempat kalau mau healing. Ada satu daerah namanya Kiarapayung. Di sana menyediakan camp ground.

G: Dulu itu tujuan orang ke Jatinangor cuma tiga; mau kuliah, nonton acara-acara musik independen, sama main golf. Sebenarnya jawaban paling benar itu Jatinangor kota wisata pendidikan. Tempatnya cendekiawan.

Selain The Panturas, siapa lagi musisi atau band alumni Jatinangor?

G: Oscar Lolang salah satunya. Basboi yang rapper itu. Dia junior kami di kampus Unpad.

I: Ada juga band yang bawain musik latin-latin. Namanya Elkarmoya.

G: Kalau yang dulu-dulunya sebelum kami ada Tiga Pagi. Mereka itu senior kami di kampus. Terus ada juga Bottlesmoker. Deugalih and Folks. Kalau yang jadi artis benerannya Yura Yunita.

K: Yura itu senior kami juga di kampus. Satu fakultas, cuma dia jurusan humas angkatan 2010. Pas saya ikut orientasi studi dan pengenalan kampus, yang nyanyi di panggung itu Yura.

I: Yura Yunita punya band juga di kampus. Mereka membawakan lagu-lagu reggae.

Kalian, kan, berasal dari daerah pegunungan sebenarnya. Jauh banget dari laut. Kenapa malah bikin band dengan genre surf rock?

G: Pernah ada masa ketika di Jatinangor banyak banget yang main musik folk. Super duper menjamur, deh. Di kampus bahkan bikin, tuh, FISIP Folk Fest. Contohnya itu Tiga Pagi sama Deugalih.

K: Tapi niatan awal saya bentuk The Panturas bukan karena ingin terdengar beda total dengan yang lain waktu itu. Murni karena saya memang suka musik surf rock. Nah, di kampus yang bisa saya ajak ngobrol soal surf rock, ya, mereka ini.

Bersama formasi kuartet ini, apakah pernah tampil, tapi salah satu dari kalian absen?

G: Enggak sering, tapi pernah beberapa kali. Kami bertiga ini sudah pernah digantiin, kecuali Acin. Soalnya kalau Acin yang berhalangan atau enggak bisa, kami enggak bakal ngambil tawaran manggung.

Biasanya berhalangan main itu karena apa?

G: Kalau saya alasannya enggak manggung pasti karena bentrok dengan kerjaan kantor. Belum pernah absen karena sakit. Kuya dan Ijal absen pasti karena sakit.

Apa kalian nyaman dengan pelabelan sebagai band surf rock?

K: Sebenarnya kami agak kurang sreg juga dengan cap sebagai band surf rock itu. Karena surf rock yang sebenarnya main instrumental, enggak ada vokalnya. Terus kayak terlalu kaku untuk menyebut bahwa musik yang kami mainkan itu cuma satu genre surf rock itu.

Bukannya kalian sendiri yang awalnya melabeli diri sebagai band pengusung surf rock?

A: Kami, sih, yang memproklamirkan diri.

Menyesali itu enggak?

K: Agak menyesal, sih. Ha-ha-ha. Karena akhirnya jadi beban gitu kalau kami ingin coba main-main ke warna musik lain.

G: Tapi di sisi lain kayaknya label surf rock itu yang bikin The Panturas sampai di titik yang sekarang.

K: Soalnya masih jarang yang mainin.

Suara Acin ini menurutku salah satu yang unik juga dari The Panturas. Bagaimana awalnya bisa menemukan gaya olah vokal seperti itu?

Mungkin karena sejak kecil, lulus SD, suka dengerin lagu-lagunya The Strokes, The Libertines, sama Arctic Monkeys. Akhirnya kebentuknya kalo nyanyi seperti itu keluarnya.

Berhubung mayoritas kalian anak jurnalistik di Universitas Padjadjaran, kecuali Ijal yang ambil program studi Broadcasting, seperti apa kalian melihat jurnalisme secara umum di Indonesia, dan wabilkhusus jurnalisme musik?

A: Saya, sih, punya beberapa poin. Pertama, si media itu sainganya bukan antarmedia lagi sekarang. Malah sama akun media sosialnya band. Juga sama media perorangan yang punya banyak pengikut. Eksklusivitas media sekarang itu sudah tidak ada lagi. Orang-orang bisa dapat informasi dari sumber pertama langsung dari akun si band-nya tadi. Poin kedua jadi lupa. Yang lain dulu.

G: Kalau menurut saya simple, sih. Platformnya memang sudah bergeser. Zaman dulu orang harus beli majalah segala macam untuk dapat asupan berita dan informasi. Sekarang baru bangun tidur lu sudah bisa dapet informasi tentang band atau musisi favorit lu dari seluruh dunia lewat handphone.

Karena saya kerja di agency, ada hasil riset yang mengungkap ternyata Generasi Z itu sudah menjadikan TikTok sebagai search engine menggantikan Google. Contoh mereka ingin tahu band The Panturas, carinya di TikTok tuh. Saya yang bukan generasi Z kalau mau cari rekomendasi tempat makan bukanya TikTok juga, bukan Google.

Kalau soal kualitas produk jurnalistiknya bagaimana?

K: Jadinya banyak salin tempel berita. Menurut saya kayaknya media sekarang itu strugle antara harus menyajikan berita yang bagus sekaligus bisa menggaet banyak pembaca.

A: Misal gini deh. Straight news menurutku seharusnya sudah enggak perlu lagi masuk website si media. Sudah enggak penting sebenarnya karena sudah ditulis jadi caption dalam postingan akun band atau musisinya.

Meskipun platform atau mediumnya sudah beda seharusnya jurnalisme musik itu tetap relevan atau bagaimana menurut kalian?

A: Tetap relevan. Cuma harus cari model penyajian baru supaya orang tertarik untuk baca. Sesuatu yang tidak mereka dapatkan di platform lain.

K: Minim perspektif jadinya. Contohnya sekarang pas kita “ngelempar” siaran pers, yang diterbitkan itu plek-ketiplek sama apa yang tertulis dalam siaran pers. Enggak ada tambahan perspektif dari medianya.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
3
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Cara Forum Backstagers Sulteng mendorong kemajuan penyelenggaraan acara
Cara Forum Backstagers Sulteng mendorong kemajuan penyelenggaraan acara
DPD Forum Backstagers Indonesia Sulteng giat melakukan audiensi dengan para pemangku kepentingan untuk menyampaikan berbagai…
TUTURA.ID - Datang, lihat, dan dengarkan perayaan setahun BAH di Festival Titik Temu
Datang, lihat, dan dengarkan perayaan setahun BAH di Festival Titik Temu
Pameran setahun perjalanan BAH menghadirkan 10 karya ilustrator yang merespons 10 lagu. Perpaduan menarik. 
TUTURA.ID - Bisnis pertunjukan terimbas hadirnya RPP Kesehatan
Bisnis pertunjukan terimbas hadirnya RPP Kesehatan
Geliat acara musik dan seni pertunjukan yang mencoba bangkit dari keterpurukan selama masa pandemi terancam…
TUTURA.ID - Boaz Tho Morry dulu dibayar sebungkus rokok, sekarang banjir orderan
Boaz Tho Morry dulu dibayar sebungkus rokok, sekarang banjir orderan
Boas Longulo, player dero yang sedang naik daun di Palu, punya niat memperkenalkan dero ke…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng