Pameran Spotless Future: Ketika kreativitas bertemu aktivisme
Penulis: Hermawan Akil | Publikasi: 18 September 2024 - 13:04
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Pameran Spotless Future: Ketika kreativitas bertemu aktivisme
Eka Wahyuni saat menampilkan performance art menggunakan pasir dalam pameran Spotless Future yang berlangsung di Gedung Juang, Palu | Foto: Hermawan Akil/Tutura.Id

Usai menginisiasi pameran seni “Rasi Batu: Residensi Seribu Megalit” yang melibatkan kolektif pekerja seni dari luar Kota Palu, Forum Sudutpandang kembali mengadakan pameran dengan tajuk “Spotless Future”.

Pameran yang berlangsung selama dua hari (16—17/9/2024) di Gedung Juang, Jalan Cempaka, Kelurahan Lolu Utara, menampilkan Azwar Ahmad dan Eka Wahyuni, dua seniman dari komunitas Tepian Kolektif asal Berau, Kalimantan Timur.

Azwar Ahmad yang biasa dipanggil Ipey adalah seorang video editor dan pekerja seni yang aktif bekerja secara kolaboratif bersama seniman dengan berbagai latar belakang. Pengalamannya bekerja dengan berbagai disiplin seni mendorongnya untuk fokus menelusuri hubungan-hubungan manusia dan situs yang saling berkelindan dalam konteks kehidupan sehari-hari.

Sementara Eka Wahyuni mengawali kariernya sebagai penari tradisional, kemudian fokus menjadi koreografer tari kontemporer. Sebagai koreografer, Eka berfokus pada arsip dan politik tubuh, terutama pada isu seputar orientalisme, modernisme, dan mitos.

Kehadiran dua seniman tersebut berpameran di Palu merupakan bagian dari program residensi yang diberi nama Baku Konek. Sebuah inisiasi yang diselenggarakan oleh ruangrupa bersama Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan (PTLK) melalui program Manajemen Talenta Nasional (MTN) Bidang Seni Budaya.

Melalui program ini, seniman berkesempatan untuk bermukim dalam periode tertentu di sebuah tempat untuk berkarya. Salah satu tujuannya untuk memperkaya pengalaman artistik seniman dengan berada di konteks sosial budaya dan lingkungan berbeda.

Pun bisa menjadi ruang pertukaran atau distribusi pengetahuan yang mengaktivasi komunitas sebagai ruang belajar atau riset.

Instalasi kolam cahaya karya Azwar Ahmad yang dipamerkan dalam Spotless Future | Foto: Hermawan Akil/Tutura.Id

Forum Sudutpandang menjadi salah satu kolaborator dari program residensi ini. Kolaborator lainnya adalah Alyakha Art Center (di Papua), Komunitas KAHE (Maumere), Riwanua (Makasssar), Komunitas Sikukeluang (Pekanbaru), Rumah Cikaramat (Sukabumi), Komunitas Susur Galur (Pontianak), Komunitas Tudgam (Kuningan), Yayasan Pasirputih (Lombok Utara), Komunitas Kanot Bu (Banda Aceh), dan Gudskul Ekosistem (Jakarta).

Alasan Ipey dan Eka memilih Palu sebagai tempat residensi karena melihat adanya kesamaan kondisi dan situasi dengan tempat tinggal mereka, terutama yang berkaitan dengan eksploitasi galian tambang.

Acara terbagi menjadi dua agenda utama. Hari pertama (16/9) adalah pembukaan pameran yang berlangsung mulai pukul 19.30 Wita. Bisa dibilang pameran ini menggambungkan banyak aliran seni, mulai dari seni rupa, fotografi, multimedia, instalasi, hingga performance art.

Setiap pengunjung diharuskan melepas alas kaki terlebih dulu sebelum memasuki ruang pameran yang pencahayaannya dibuat seminim mungkin.

Hampir keseluruhan karya terbuat dari pasir, semisal batu berbisik dan kolam cahaya, yang sebenarnya rentan. Namun, pengunjung diperbolehkan menyentuh atau bahkan menginjak beberapa karya yang dipamerkan.

Sesi "Seniman Bicara" dalam pameran Spotless Future | Foto: Hermawan Akil/Tutura.Id

Presentasi karya dalam "Spotless Future" dibentuk serupa laboratorium sebagai upaya untuk membangkitkan ingatan personal tentang lokasi, dengan harapan ada kesadaran yang terbangun. Sebab bila kita menyoal kerentanan masyarakat lingkar tambang, seolah hanya sebuah masalah minor dan selalu berakhir pada percakapan yang hanya akan menguap begitu saja tanpa ada upaya resistensi.

"Sebenarnya ini juga percakapan kami tentang seni dan aktivisme. Bagaimana seniman juga membahas isu-isu sekitar," tutur Eka dalam sesi “Seniman Bicara” yang berlangsung saat hari kedua pameran (17/9).

Eka dan Ipey menyadari bahwa wacana pertambangan memang persoalan yang cukup kompleks. Warga yang berada di lingkar tambang seperti tarik ulur, antara mau atau tidak mau. Ada desakan menerima atau menolak. Kondisi dilematis ini yang jadi alasan mengapa resistensi sulit terbangun.

Sekadar pengingat ulang, kondisi lingkungan di Palu tak hanya rusak oleh aktivitas tambang emas di Poboya, tapi juga oleh masifnya tambang galian C di sepanjang Buluri—Watusampu. Terbaru, ada usaha untuk melebarkan aktivitas tersebut hingga ke Tipo.

Rahmadiyah Tria Gayatri, koordinator Forum Sudutpandang selaku kolaborator program Baku Konek, berharap semoga ke depan topik-topik seperti ini tidak lagi terpinggirkan. Ama, sapaan akrabnya, juga mengharapkan kolaborasi dari para seniman dengan berbagai lintas disiplin dan daerah juga bisa terus terjalin.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
0
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Babak baru saham Vale Indonesia, plan kerja sama dengan Sulteng, dan green smelter di Blok Bahodopi
Babak baru saham Vale Indonesia, plan kerja sama dengan Sulteng, dan green smelter di Blok Bahodopi
MIND ID siap ambil 11 persen saham Vale Indonesia. Sulteng tinggal berharap joint operation dari…
TUTURA.ID - Sanggar Seni Kaktus visualkan isu kerusakan alam akibat tambang galian C lewat karya seni
Sanggar Seni Kaktus visualkan isu kerusakan alam akibat tambang galian C lewat karya seni
Kerusakan lingkungan akibat tambang galian C jadi fokus utama dalam pameran bertajuk "Terbit Terbenam". Sanggar…
TUTURA.ID - Perkara keselamatan kerja: Buruk PT GNI, buruh terbelah
Perkara keselamatan kerja: Buruk PT GNI, buruh terbelah
Bentrok antarburuh di PT GNI berawal dari aksi yang menyoal keselamatan kerja. Situasi buruh lokal…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng