Selintas cerita Poboya dan emas dalam Suku Kaili
Penulis: Rizki Syafaat Urip | Publikasi: 25 September 2022 - 10:41
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Selintas cerita Poboya dan emas dalam Suku Kaili
Ilustrasi: tambang emas. (Foto: bangoland/shutterstock)

Kericuhan menodai area pertambangan emas Poboya, Kecamatan Mantikulore, Palu, pada pekan lalu (18/9). Semula warga Kelurahan Poboya melakukan demonstrasi lantaran keberatan dengan aktivitas tambang emas yang disebut masuk area ulayat.  

Demonstrasi belakangan berujung rusuh. Kantor dan alat berat milik PT Adijaya Karya Makmur (AKM) jadi sasaran amuk massa. Adapun PT AKM merupakan kontraktor dari PT Citra Palu Minerals (CPM), pemegang kontrak karya perusahaan tambang di Poboya.

Peristiwa tersebut menambah panjang daftar pilu yang pernah terjadi di wilayah tersebut. Konflik memang kerap terjadi di Poboya. Bukan sebatas melibatkan warga lokal dengan perusahaan, tak jarang juga berujung maut antarsesama warga. Atau nahas lain yang membuat penambang tewas tertimbun longsoran tanah.

Termaktub dalam naskah “Kontestasi dan Konflik Memperebutkan Emas di Poboya” yang terbit di Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan (IPB University, Jilid 6, Volume 2, 2012), Kelurahan Poboya punya catatan panjang tentang konflik sumber daya alam. Berbagai konflik tersebut melibatkan pemerintah, masyarakat, swasta, komunitas adat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

Percikan konflik mulai terjadi saat pemerintah menjadikan Poboya dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi berupa Taman Hutan Raya (Tahura) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 461/Kpts-II/1995 dan No. 24/KptsII/1999.

Namun, pada saat bersamaan pemerintah juga pakai otoritasnya untuk kasih izin pemanfaatan sumber daya alam kepada PT CPM sehingga mengubah kepemilikan sumber daya dari common property menjadi private property.

Padahal seharusnya kawasan tersebut tidak boleh dimasuki kecuali untuk kegiatan penelitian. Sejak saat itu konflik menjadi sesuatu nan laten di wilayah ini.

***

Ilustrasi: emas dari masa silam. (PX Here/CC0)

Jauh sebelum jadi magnet yang menarik banyak orang adu nasib sebagai penambang emas, Poboya sudah menjadi salah satu tujuan migrasi To' Kaili Tara. Kelompok ini awalnya bermukim di sekitar Uwesama (sekarang termasuk wilayah Binangga), Parigi, sebuah wilayah pantai timur di leher Pulau Sulawesi.

Daerah lain yang juga menjadi tujuan migrasi mereka adalah kawasan Bale (Tawaeli) dan Ngapa Vatutela (Tondo).

Secara toponimi, berdasarkan arsip dokumen Kelurahaan Poboya, wilayah yang luasnya sekitar 63,41 kilometer persegi ini berasal dari bahasa Kaili Tara.

Po berarti tempat atau lokasi, sedangkan boya berarti permukiman dari beberapa kepala rumah tangga bersama anggota keluarganya yang mendirikan rumah tinggal di lokasi tersebut. Jadi Poboya berarti tempat pemukiman beberapa kepala rumah tangga bersama seluruh anggota keluarga di lokasi tertentu.

Sebelum bernama Poboya, kampung tersebut bernama Binangga Mpondo. Masyarakat yang menjadi penghuni awalnya disebut berasal dari Marima, sebelah utara Bulu Masomba. Masyarakat Poboya waktu itu bermukim di beberapa tempat seperti Boya, Lowe, dan Pantosu.

Pada 1812, daerah tersebut mulai dikenal sebagai Kampung Poboya. Dipimpin oleh seorang kepala kampung bernama Rurunjobu yang berasal dari Uwesama.

Setelah mendapat Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri Tanggal 1 Januari 1981, Kampung Poboya beralih status menjadi Kelurahan Poboya.

Aktivitas penambangan emas dilakukan warga Poboya jauh sebelum PT CPM mendapatkan konsesi tambang di sana sekitar tahun 2003. Saat masih berskala kecil, alias diusahakan warga, dampak lingkungan hampir tak terasa.

Warga sekitar Poboya menambang emas secara tradisional di aliran Sungai Pondo mengunakan alat-alat, seperti skop, talang, karpet, dulang, dan air raksa/perak.

Kegiatan pertambangan tersebut tidak dilakukan setiap hari atau secara terus menerus oleh masyarakat. Pasalnya hasil yang didapatkan masyarakat dari pendulangan di sungai tidak begitu besar.

Seiring waktu, masyarakat tidak lagi melakukan kegiatan pertambangan di sepanjang sungai, tapi mulai merambah naik ke pegunungan. Membuat lubang-lubang untuk mendapatkan bebatuan putih yang bergaris hitam (rep) untuk dihancurkan.

Bebatuan yang telah hancur dan  menjadi pasir halus tersebut kemudian diputar selama berjam-jam di dalam tromol yang telah diisi air dan bebatuan. Setelah menjadi lumpur, emas yang ada di dalam tromol dipisahkan dengan menggunakan air raksa (merkuri).

Pengetahuan tersebut mereka dapatkan seturut kedatangan banyak pekerja dari Sulawesi Utara yang lebih berpengalaman. Momen ini juga menandai pesatnya pertambangan emas di Poboya.

Jika sebelumnya aktivitas mendulang emas berbekal alat-alat seadanya, kini sudah beralih menggunakan teknologi semisal tromol, mesin penghancur batu, dan bak perendaman yang tidak pernah digunakan sebelumnya. Aktivitasnya pun seolah berlangsung saban hari tanpa jeda.

Kemudian terbitlah Izin Pertambangan Rakyat (IPR) pada 2011 dengan landasan yuridis Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 dengan luas wilayah yang boleh dikelola oleh masyarakat seluas 30 hektare.

Pemberian izin tersebut untuk melegalkan aktivitas pengolahan tambang emas oleh warga. Sekaligus menjadi alternatif percepatan ekonomi warga sekitar. Pasalnya warga menuntut jika pertambangan rakyat ditutup, maka pemerintah harus menyediakan lapangan pekerjaan sebagai pengganti.

***

Orang Kaili menyebut emas dengan sebutan bulava.  Umumnya dilekatkan pada nama bangsawan perempuan, misalnya Indo Bulava atau Rangimbulawa. Bahkan nama raja pertama di Palu, Pue Nggari bernama asli Lavegasi Bulava artinya Berkawan Emas.

Muhammad "Anto" Herianto (40), Ketua Komunitas Historia Sulteng, menyebut bahwa sejarah emas di Lembah Kaili setidaknya sudah mulai terlihat sejak masa pendudukan Belanda. Raja-raja di Lembah Palu, kata Anto, suka memberi hadiah emas yang dikumpulkan oleh rakyatnya di sungai kepada Belanda.  

“Bahkan di Pegunungan Paneki masih ada lubang-lubang bekas eksploitasi emas milik Belanda yang sebelumnya sudah dibuatkan perjanjian eksploitasi dengan penguasa lokal,” kata Anto, kepada Tutura.id melalui pesan teks (24/9).

Anto juga menerangkan bahwa Suku Kaili kerap menjadikan emas bagian dari mahar atau pelengkap adat perkawinan yang wajib dibawa. Istilahnya sambulu gana. Generasi kekinian mungkin lebih banyak mengetahui istilah tersebut lantaran sekarang tegak berdiri tugu Sambulu Gana di titik nol kilometer Kota Palu.

Selain menyerahkan seserahan berisi sirih, pinang, tembakau lengkap, sambulu gana juga harus berkepala (nobalengga) berupa sapi atau kambing, berisi (nokandea) yang diwakili oleh penyerahan beras, dan berotak (nounto) berupa emas.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
3
Jatuh cinta
1
Lucu
1
Sedih
1
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Meregenerasi Bahasa Kaili lewat buku-buku sastra
Meregenerasi Bahasa Kaili lewat buku-buku sastra
Komunitas Seni Lobo menggelar diskusi terbuka yang mengangkat topik tentang regenerasi Bahasa Kaili melalui karya…
TUTURA.ID - Merawat momentum Adipura untuk mengelola kebersihan dan kelestarian lingkungan
Merawat momentum Adipura untuk mengelola kebersihan dan kelestarian lingkungan
Euforia kesuksesan menerima penghargaan Adipura jangan bikin terlena. Momentumnya harus dimanfaatkan untuk menciptakan budaya berkelanjutan.
TUTURA.ID - Ragam tradisi warga Palu  sambut Ramadan
Ragam tradisi warga Palu sambut Ramadan
Ada empat tradisi warga Palu menyambut Ramadan 1444 Hijriah. Selain menyemarakan suasana, tradisi ini untuk…
TUTURA.ID - Simbol warna kuning dan maknanya dalam kebudayaan Kaili
Simbol warna kuning dan maknanya dalam kebudayaan Kaili
Warna kuning sebagai warna tertinggi dalam kebudayaan Kaili tidak lahir begitu saja. Pilihan ini punya…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng