Perjalanan Islam masuk ke Lembah Palu terjadi sekitar abad ke-17. Dibawa ulama dari Minangkabau melalui jalur perairan. Kemudian disusul oleh orang-orang Bugis Mandar dan dilanjutkan oleh orang-orang Arab.
Aktivitas penyebaran Islam di masa-masa awal itu, masih bisa ditelusuri dari jejak yang ditinggalkan. Meski telah terjadi berabad-abad yang lalu, namun jejaknya masih terawat dengan baik.
Adapun peninggalan sejarah Islam di Lembah Palu yang bisa dilihat hingga saat ini, dalam berbagai bentuk dan tersebar di beberapa tempat. Jejak peninggalan ini berupa makam, Alquran dan naskah kuno, hingga bangunan ibadah.
Tutura.Id merangkum empat jejak peninggalan sejarah masuknya Islam di Lembah Palu.
Makam Dato Karama
Dalam “Sejarah Dato Karama (Abdullah Raqi), Ulama Pembawa Islam Dari Minangkabau Ke Sulawesi Tengah” yang ditulis oleh Nurdin dan Harsul Maddini (Dosen Universitas Islam Negeri Datokarama Palu), Islam pertama kali masuk ke Lembah Palu dibawa oleh Abdullah Raqi.
Dia merupakan ulama yang berasal dari Minangkabau yang berlayar hingga ke Lembah Palu. Kedatangannya di Teluk Palu yang kala itu dianggap aneh dan dipercaya mempunyai kekuatan magis atau mobaraka, membuatnya diberi sebutan Dato Karama yang berarti orang mulia yang memiliki kesaktian, oleh Raja Besusu, Pue I Nggari yang ia temui pada saat pertama kali datang ke Lembah Palu.
Dato Karama dalam dakwahnya, menggunakan pendekatan syariat, budaya, seni dan tasawuf. Setelah wafat, jasad Dato Karama kemudian dimakamkan satu kompleks bersama istri dan 2 orang anaknya.
Kini kompleks kuburan Dato Karama yang terletak di Jalan Selar, Kelurahan Lere, Kota Palu itu ditetapkan sebagai situs Cagar Budaya oleh pemerintah. Di kompleks makam ini juga terdapat makam para pengikut setianya, yang terdiri 9 makam laki-laki, 11 makam wanita dan 2 makam yang tidak diketahui identitasnya.
Makam Pue Njidi
Pue Njidi adalah Raja Kabonena. Menurut catatan sejarah, dirinya hidup dalam periode yang sama dengan Dato Karama. Di prasasti kompleks makamnya, ditulisakan kisahnya yang berduel kesaktian dengan Dato Karama.
Dikisahkan Pue Njidi mengajak Dato Karama untuk bertanding menanam rica atau cabe. Pada saat waktu sore ketika mereka akan memetik rica, ternyata punya pohon rica milik Dato Karama yang lebih dulu berbuah dan masak. Melihat itu, Pue Njidi yakin bahwa Dato Karama memiliki kesaktian. Dia dan seisi rumahnya pun memilih untuk memeluk agama Islam.
Pue Njidi pernah disebut-sebut sebagai raja pertama yang menyambut kedatangan Dato Karama saat pertama kali berlabuh di pantai Teluk Palu. Namun Nurdin dan Harsul Maddini (Dosen Universitas Islam Negeri Datokarama Palu), dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Dato Karama (Abdullah Raqi), Ulama Pembawa Islam Dari Minangkabau Ke Sulawesi Tengah”, menuliskan bahwa Raja Besusu, Pue I Ngari lah yang menyambut Dato Karama.
Keterangan ini merujuk catatan dokumen milik Nicolaas Adriani dan Albertus Christiaan Kruyt (A. C. Kruyt) pada 1912, menyebutkan Raja Besusu Pue I Ngari menyambut Dato Karama. Di bagian kesimpulan buku disebutkan catatan Belanda ini masuk akal, karena letak Besusu lebih dekat dengan pantai dan tidak terhalang Sungai Palu.
Masjid Tua di Wani
Masjid Al Amin di Desa Wani, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala, yang dibangun oleh Sayyid Aqil Al-Mahdali ulama yang berasal dari arab, menjadi masjid tertua peninggalan jejak islam di Lembah Palu.
Dilansir dari liputan6.com, masjid bergaya Arab, Melayu dan Tionghoa ini dibangun pada tahun 1906 dan masih kokoh berdiri. Masjid ini telah beberapa kali dipugar dan telah ditetapkan seagai Cagar Budaya oleh pemerintah.
Keberadaan masjid merupakan saksi penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sayyid di wilayah Wani dan sekitarnya. Di dalam kompleks masjid ini juga ditemukan makam Sayyid dan keluarganya.
Tempat bersejarah yang menjadi kebanggaan warga Wani ini, menjadi tempat wisata religi bagi siapa saja yang ingin berziarah dan melihat bukti peradaban Islam di Lembah Palu.
Alquran Tua di Museum Sulteng
Alquran dan beberapa naskah tua bukti penyebaran Islam di Sulteng pada masa awal, bisa ditemukan di Museum Sulteng. Salah satu Arkeolog, Drs. Iksam Djorimi, M.Hum, yang ditemui di museum, menjelaskan alquran dan naskah tua tersebut masih dalam bentuk prima dan dipelihara dengan baik.
Dia mengungkapkan alquran dan naskah tua tersebut berasal dari periode waktu sekitar abad ke-16 dan dibawa melalui jalur laut atau yang lebih dikenal dengan jalur rempah. Alquran ini ditulis oleh mubaligh Minangkabau, yang merupakan mubaligh awal yang menyiarkan Islam di Lembah Palu.
Ada juga naskah yang ditulis dengan gaya Arab dan Arab-Melayu dan ada pula naskah kuno ditemukan dengan huruf-huruf lontara berbahasa Bugis dan Makassar. Naskah ini berbahan kulit kayu berisi ilmu hakikat syariat, ataupun yang behubungan dengan fiqih yaitu hukum-hukum islam.
Keberadaa sejumlah alquran tua dan naskah-naskah tersebut merupakan hasil survei yang dikumpulkan dari masyarakat, kemudian dijadikan koleksi oleh Museum pada tahun 1980-an. Iksam menyebut usia alquran ini telah dibuktikan melalui tes kertas di laboratorium. Disamping bukti paling menonjol yakni gaya tulisan yang digunakan mengikuti zaman atau waktu ditemukannya alquran tersebut.
sejarah Islam Lembah Palu Dato Karama Pue Njidi Wani Kota Palu Tutur Ramadan 1444 H Museum Sulteng