Dua gelas kopi saling berhadapan di atas meja kayu pada sebuah café di seputaran Jalan Kartini, Kota Palu, Kamis 2 Maret 2022. Sore itu, seorang waiters menawarkan sebatang sedotan plastik kepada perempuan berblazer krem, yang memesan es kopi.
“Maaf, saya tidak pakai sedotan plastik,” ujar perempuan itu. Sebuah tutur kecil, namun sarat makna yang mengesankan kesadaran atas tanggung jawab terhadap lingkungan dari mulutnya.
Dia adalah Eva Bande. Aktivis perempuan yang telah menghabiskan lebih dari setengah usianya berjuang melawan pelanggaran HAM, lingkungan, kesetaraan gender dan terutama dalam sektor isu hak agraria daerahnya. Puncak riwayat perjuangannya membawanya ke dalam penjara.
Eva mengenang pada 1990-an terjadi konflik lahan antara masyarakat petani Desa Piondo dan Desa Bukit Jaya lantaran PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) dan PT Berkat Hutan Pusaka (BHP) yang berencana menggusur kebun kakao milik petani.
Pada 2002-2004, petani warga Piondo dan Bukit Jaya mengambil balik lahan yang mereka anggap diserobot perusahaan. Kala itu Eva yang merupakan Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah, mulai mendampingi warga Toili.
Puncaknya, terjadi konflik PT KLS dan PT BHP dengan warga terjadi pada 26 Mei 2010. Ditandai dengan penutupan jalan akses warga Desa Bukit Jaya, Piondo dan Bumi harapan yang melintasi area perkebunan.
Hal ini memancing kemarahan petani karena jalan dirusak yang berujung pada pembakaran buldoser, ekskavator dan Kamp milik PT KLS. Eva bersama puluhan orang lainnya ditangkap dengan tuduhan menghasut petani melakukan perusakan properti milik perusahaan.
Eva kemudian divonis pengadilan 4 tahun penjara. Namun baru setahun masuk bui, Tahun 2014 presiden Joko Widodo mengeluarkan grasi untuk pembebasannya.
Aktivis perempuan
Tidak hanya menjadi pembela petani dan aktivis lingkungan serta agraria, Eva adalah aktivis perempuan. Dia melakukan kerja-kerja perlindungan dan pendampingan perempuan korban kekerasan fisik dan seksual.
Eva mendirikan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) di Tahun 2002 dan menjadi organisasi perempuan pertama di Kabupaten Poso pasca konflik.
“Di mana pun ada ketidakadilan, di mana pun ada penindasan. Saya Eva Bande berusaha akan hadir,” tegasnya. Kata-kata yang telah menjadi slogan yang selalu ia bawa, setiap kali membicarakan perjuangan atas penindasan.
Pengalaman riwayat perjuangan membawanya menerima sederet penghargaan bergengsi, salah satu di antaranya adalah Yap Thiam Hien Award (YTHA) pada Tahun 2018. Sebuah penghargaan yang juga diterima oleh tokoh aktivis lainya seperti Marsinah pada Tahun 1993 dan Widji Thukul pada Tahun 2002.
Dalam mendampingi kasus kekerasan terhadap perempuan Eva menemukan banyak problematika gender selama mengawal kasus hak keseteraan. Tak jarang, diskriminasi dan kriminalisasi kerap dialaminya dan aktivis perempuan lain.
Eva lantas menyebut kasus Samria, petani yang sejak 2009 mencari keadilan atas perampasan lahannya oleh PT Kurnia Luwuk yang hingga kini belum menemukan penyelesaian. Eva menyebut Samria dikriminalisasi, olehnya dia melekukan pendapingan terhadapnya.
“Tidak boleh ada penindasan, terhadap perempuan. Hukumnya haram,” tegasnya.
Mengenal Aktivitas Demonstransi
Lahir pada 12 Agustus 1978, pemilik nama lengkap Eva Hanafi Susanti Bande menghabiskan masa kecil di kampung kelahirannya Luwuk Banggai, Sulawesi Tenggah. Dia menghabiskan masa kecil sebagaimana lazimnya anak-anak lain, yang bermain dan bersekolah.
Di era reformasi 1998, membuat jiwa aktivisnya mengebu-gebu. Eva yang berkuliah di Universitas Tadulako (Untad) aktif berorganisasi dan mengikuti berbagai gerakan sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).
Awal perjuanganya dimulai saat sejumlah masyarakat mendatangi kampus Untad mengadukan masalah perampasan tanah. Merespons aduan itu, Eva dan teman-temannya mendirikan Forum Mahasiswa Indonesia- Sulawesi Tengah (FMI-ST) di tahun 1999. Organisasi ini pun terlibat langsung dalam pembelaan petani tambak yang berhadapan dengan perusahaan tambak di Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai.
Dalam wawancara bersama Najwa Shihab di acara Mata Najwa yang ditayangakan Metro Tv pada 29 Maret 2015, ihwal keputusannya bersikukuh berada di garis perjuangan agraria ini rupanya sempat ditentang sang ayah yang seorang anggota kepolisian.
”Kamu itu disuruh kuliah, bukan berdemonstrasi,” kata Eva menirukan gaya bahasa sang ayah. Kala itu, ayahnya memarahi Eva saat sedang berdemonstrasi bersama kelompok petani di Luwuk.
“Pak, betul saya anak bapak. Tapi secara ideologi, kami tidak anak Bapak”, jawabnya. Perlahan sang ayah mulai mengerti dengan pilihannya, bahkan berbalik mendukung dirinya.
Masuk ke jalur politik
Stigmasitas pun tidak dapat Eva tepis selama 25 tahun sepak terjangnya menjadi aktivis. Dirinya pernah dipadangan sinis dan dituduh sebagai kelompok Gerwani. Pribadinya pun diserang dan dicap sebagai perempuan yang jarang di rumah.
Namun, seiring perjalanan pengetahuan yang kian luas stigma tersebut dapat gugur dalam presepsi masyarakat yang mulai teredukasi. Menurutnya sudah banyak perempuan yang telah diapresiasi oleh berbagai lembaga untuk menggerus label-label negatif itu.
Saat ini Eva tengah menjajaki kesempatan berjuang di jalur politik. Namaya terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) berstatus sebagai bakal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Namun masuknya Eva ke jalur politik ini tanpa partai politik alias independen. Sebuah pilihan yang sangat berani. Pilihan ini diungkapnya dengan niatan agar memudahkan para petani mendapatkan haknya, saat dihadapkan dengan urusan perizinan acap kalinya terhambat.
Eva mengaku mantap memilih kursi DPD, karena menurutnya dia mendapat mandat langsung dari rakyat Sulawesi Tengah. Perjuangan akan dilanjutkannya dari Senayan.***
Eva Eva Bande Aktivis Perempuan Agraria Perusahaan Sawit Kabupaten Banggai Politik DPD RI DPD Sulteng Sulawesi Tengah Hari Perempuan Internasional