Baru-baru ini, saya menerima kiriman video promosi dari acara festival media yang diadakan gabungan tiga organisasi: Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulawesi Tengah (Sulteng), Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palu, dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulteng.
Festival itu berlangsung dari Minggu hingga Senin, 10-11 Desember 2023, di Taman GOR Palu.
Gambaran lingkungan hutan yang hijau, air sungai yang mengalir di bawahnya, menyajikan sebuah pemandangan yang memikat.
Namun, keraguan muncul di benak saya, apakah hutan semacam itu sekarang benar-benar ada di Sulawesi? Apakah yang tergambarkan dalam video promosi itu benar-benar terjadi di Sulteng?
Festival Media II dengan tema "Aksi Media untuk Perubahan Iklim dan Energi Baru Terbarukan," mengundang apresiasi di satu sisi, tapi juga memicu catatan kritis di sisi lain.
Publik perlu menilai apakah festival ini akan mencapai tujuan nyata dalam mengurangi dampak lingkungan.
Pertama, festival ini menempatkan fokus pada literasi, edukasi, dan informasi untuk menggugah kesadaran publik dengan tujuan meningkatkan pengetahuan serta keterlibatan dalam isu-isu lingkungan yang mendesak. Upaya kolaborasi untuk bersikap dan bertindak nyata sangat aktual.
Namun, Sulawesi Tengah sedang menghadapi dampak langsung dari proses industrialisasi masif yang tentu saja berdampak pada perubahan iklim. Pertanyaannya, seberapa sebanding upaya festival ini dengan skala perubahan ekologi dan iklim yang sedang terjadi?
Isu-isu lingkungan, sayangnya, belum mendapatkan tempat proporsional dalam liputan media lokal di Sulawesi Tengah. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan tambang yang memiliki dampak besar pada lingkungan sangat mungkin memiliki kepentingan dalam mengendalikan narasi pemberitaan.
Oleh karena itu, festival ini seharusnya juga mencerminkan kritik terhadap ketidakseimbangan ini, dan memberikan suara kepada komunitas yang tak terdengar.
Namun, ketika melihat daftar sponsor yang melibatkan instansi pemerintah, bank, dan perusahaan tambang besar seperti Donggi Senoro, Citra Palu Minerals (CPM), dan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), serangkaian pertanyaan kritis bisa bermunculan.
Atau bisa pula dilihat secara terbalik. Dukungan raksasa-raksasa tambang itu bisa menjadi momen baik untuk menagih komitmen mereka terhadap isu-isu lingkungan dan perubahan iklim. Ini bukan hanya sebuah acara hiburan. Ini adalah panggung di mana sponsor perlu membuktikan komitmen mereka pada lingkungan.
Kerugian yang patut disesalkan adalah absennya organisasi lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Aliansi Jurnalis Independden (AJI), atau organisasi nonpemerintah lainnya dalam daftar partisipan.
Absennya kelompok-kelompok yang selama ini dikenal punya suara kritis pada isu lingkungan dan iklim membuat festival ini bisa terancam kehilangan suara kritis. Padahal, suara kritis ini harusnya menjadi menjadi bagian integral dari festival. Pelibatan banyak pihak juga menjadi napas dari semangat kolaboratif yang hendak diusung dalam acara ini.
Kita semua gemar merayakan dan berpesta, tetapi lebih penting lagi ialah implementasi komitmen nyata dalam upaya mengurangi pemanasan global.
Festival Media II di Palu harus menjadi lebih dari sekadar panggung hiburan dan promosi. Inilah saatnya untuk menuntut keterlibatan nyata, untuk menilai apakah para sponsor dan peserta benar-benar mengambil langkah-langkah konkret menuju perubahan yang berkelanjutan.
Saya berharap event media lokal besar ini benar-benar panggung kolaborasi. Bukan yang lain.
Stephanus W Bo'do, pengajar komunikasi di Kampus Kaktus, dan pemerhati Jurnalisme Lingkungan
Catatan redaksi: Tulisan opini merupakan pandangan pribadi penulis. Tutura.Id menerima tulisan berbentuk opini sebagai usaha untuk memperkaya perspektif dalam melihat sebuah fenomena dan isu tertentu.
festival media jurnalisme lingkungan jurnalisme media lokal palu sulteng wartawan jurnalis