Film Barbie bukan sekadar tentang boneka pesolek
Penulis: Juenita Vanka | Publikasi: 26 Juli 2023 - 12:55
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Film Barbie bukan sekadar tentang boneka pesolek
Margot Robbie pemeran utama film Barbie (Foto: Jaap Buitendijk/Warner Bros. Pictures)

Warna apa yang seketika terlintas saat mendengar kata boneka Barbie? Merah muda alias pink. Nuansa itu juga yang kelihatan saat memasuki Studio 1 XXI di Palu Grand Mall, Jumat (21/7/2023).

Ada banyak penonton yang datang memakai setelan pakaian hingga aksesori dengan nuansa merah muda, warna khas yang melekat dengan boneka yang menemani masa kecil banyak anak perempuan.

Kelekatan itu bahkan jadi tolok ukur seberapa feminin anak perempuan. Seolah belum lengkap rasanya jika tidak pernah memainkan atau memiliki boneka cantik pemilik rambut pirang khas ini. Tak peduli jika itu boneka versi bajakan sekalipun.

Nah, tahun ini Greta Gerwig membawa boneka masa kecil banyak perempuan di seluruh dunia itu dalam sebuah film live action.

Desain produksinya memukau. Mise en scène dipenuhi warna-warna cerah nan ceria yang begitu lekat dengan sosok Barbie. Merah muda jelas paling mencolok.

Greta selaku sutradara sekaligus penulis skenario ditemani pasangannya, Noah Baumbach, tak hanya membuat Barbie dapat berbicara dan berjalan sendiri, namun menyelipkan juga pesan-pesan krusial yang dikemas dengan komedi unik. Cukup untuk mengundang gelak tawa seisi studio.

Adegan pembuka film menampilkan bocah-bocah perempuan yang sedang bermain dengan boneka porselen dengan tampang kuyu.

Lalu Barbie berukuran besar datang menggunakan jumpsuit hitam putih. Seketika anak-anak tadi menghancurkan mainan boneka mereka sebelumnya dan beralih kepada boneka Barbie.

Pemandangan tadi merupakan ilustrasi tercetusnya ide membuat boneka Barbie oleh Ruth Handler, seorang pebisnis perempuan yang juga istri Elliot Handler sang pendiri Mattel.

Perusahaan manufaktur mainan ini yang memproduksi boneka Barbie sejak 9 Maret 1959. Barbie hadir perdana secara massal dalam balutan jumpsuit hitam putih bukannya merah muda.

Ruth mendapatkan inspirasi menciptakan Barbie setelah melihat putri kecilnya, Barbara, bosan memainkan bonekanya. Suatu ketika saat melawat ke Eropa, Ruth melewati sebuah toko mainan. Pandangannya terbetot melihat boneka Bild Lilli produksi Jerman Barat.

Bild Lilli sebenarnya karakter dalam komik strip buatan Reinhard Beuthien yang nongol rutin di surat kabar Bild dari tahun 1952 hingga 1961. Sosoknya digambarkan sebagai perempuan yang penuh karisma, cerdas, dan tidak gentar terhadap otoritas pria.

Sementara Barbie berasal dari nama panggilan Barbara. Kelak Mattel mengakuisisi hak cipta boneka Bild Lilli.

Popularitas boneka ini di seluruh dunia membuatnya diadaptasi dalam berbagai medium, mulai dari serial animasi, gim video, hingga novel.

Mattel sebenarnya sudah lebih dari dua dekade silam berusaha mengadaptasi produk andalannya ini ke dalam format film live action. Hak adaptasinya juga berpindah-pindah dari Universal Pictures ke Sony Pictures, hingga akhirnya berlabuh ke tangan Warner Bros. Pictures.

Margot Robbie (depan) dan Ryan Gosling dalam salah satu adegan perjalanan meninggalkan Barbieland menuju dunia nyata (Foto: Jaap Buitendijk/Warner Bros. Pictures)

Margot Robbie (33), aktris asal Australia yang melejit lewat film The Wolf of Wall Street (2013), terpilih menghidupkan karakter Barbie. Ia ditemani aktor Ryan Gosling sebagai Ken, rekan pria Barbie yang diperkenalkan Mattel pada tahun 1961.

Deretan pemain pendukung film ini juga bukan nama sembarangan dalam kancah perfilman Hollywood. Ada Emma Mackey, Simu Liu, Michael Cera, Kate McKinnon, Will Ferrell, John Cena, hingga penyanyi Dua Lipa.

Margot Robbie yang juga bertindak sebagai salah satu produser film ini berhasil menampilkan akting memukau. Ia memberikan kesan Barbie yang polos dalam bertindak dan berpikir bahwa hidup hanya untuk senang-senang.

Ryan Gosling dengan rentang pengalaman aktingnya yang multi genre tak kalah bagus. Ken menjelma jadi sosok naif yang berambisi menguasai Barbieland, tapi dikemas dengan komedi hingga selalu memancing tawa penonton.

Kolaborasi Greta bersama Rodrigo Prieto (sinematografer) dan Sarah Greenwood (perancang tata artistik) patut mendapat acungan jempol. Visualisasi film ini tampil sangat memanjakan mata. Imaji tentang dunia Barbie hadir begitu nyata.

Gerak-gerik setiap karakter yang dibuat begitu mirip dengan aslinya. Semisal para Barbie yang hidup dalam kotak-kotak rumah, gemar bersolek, suka gonta-ganti baju, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, serta seolah-olah sedang mandi, makan, dan minum. Aktivitas itu yang terjadi saat memainkan boneka Barbie.

Sebagian orang mungkin akan menerka cerita film ini melulu hanya tentang Barbie dengan segala perspektifnya. Ternyata Greta juga memberikan porsi lebih untuk Ken “bersuara”, bereksplorasi, dan membawa ceritanya sendiri. Bukan sekadar aksesori alias pelengkap Barbie.

Sayangnya dalam beberapa adegan dan dialog, film ini terkesan pretensius dan terlalu berlebihan. Contohnya saat Ken kembali dari dunia nyata, ia dengan cepat bisa mengubah Barbieland yang tadinya matriarki menjadi sangat patriarki. Seketika para Barbie terhipnotis dan menjadi pelayan para Ken dalam satu malam.

Alhasil pesan-pesan yang ingin disampaikan mengabur dan lebur bersama tumpang tindihnya adegan demi mengundang gelak tawa penonton.

Namun terlepas dari semua itu, Greta tetap saja membawa pesan penting tentang pemberdayaan perempuan. Sesuatu yang telah ditunjukkannya dalam film Lady Bird (2017) dan Little Women (2019).

Barbieland hanyalah dunia khayal yang diciptakan untuk mengikuti keinginan atau konstruksi penciptanya. Kenyataannya dunia tidak hanya tentang warna-warni ceria yang penuh kegembiraan. Ada banyak hal yang membuat kita harus lebih realistis dalam bertindak, berpikir, dan berperilaku.

Kaum perempuan yang dalam film ini diwakili oleh para Barbie tetap bisa punya kehendak bebas menjadi versi terbaik dirinya sendiri. Bahwa tidak ada yang dapat menghalangi perempuan untuk menjadi apa pun selain ketakutannya sendiri.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
1
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Film Uwentira yang sukses bikin kaget
Film Uwentira yang sukses bikin kaget
Sempat meleset dari rencana semula, film Uwentira akhirnya bisa tayang perdana di bioskop—meski terbatas—pada 30…
TUTURA.ID - The Flash jadi cawan untuk memuaskan penggemar komik DC
The Flash jadi cawan untuk memuaskan penggemar komik DC
Butuh lebih dari 30 tahun bagi penggemar untuk akhirnya bisa menyaksikan film solo The Flash.…
TUTURA.ID - Perundungan di sekolah, problem akut yang tak berkesudahan
Perundungan di sekolah, problem akut yang tak berkesudahan
SMP Al-Azhar Mandiri Palu telah mengatur larangan perundungan di sekolah kepada para murid sejak awal…
TUTURA.ID - Saling bertukar pasar melalui Ruang ke Ruang
Saling bertukar pasar melalui Ruang ke Ruang
Hal Seruang kembali lagi dengan "Ruang ke Ruang". Misinya konsisten untuk menghadirkan efek berganda dari…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng