Film Uwentira awalnya direncanakan tayang di bioskop pada September 2022. Namun, jadwal tersebut meleset dan baru bisa terealisasi pada 30 Juni 2023. Pemutaran berlangsung di Kota Palu dan Cibubur melalui sistem buka layar atau booking studio.
Tutura.Id jadi salah satu tamu yang mendapatkan undangan untuk menyaksikan pemutaran perdana film arahan Nur Afni Eka Muslim ini di XXI Palu Grand Mall. PT Celebest Film Production membuka layar di Theater 1 yang berkapasitas 213 kursi.
Sementara di Cibubur, lokasi pemutaran film ini mengambil tempat di salah satu studio XXI Trans Studio Mall Cibubur yang berkapasitas 164 kursi.
Alasan kenapa dua kota tersebut yang dipilih jadi tempat pemutaran, lantaran adanya permintaan dari pejabat yang ada di Palu dan Cibubur.
Olehnya Nuning, sapaan akrab Nur Afni, mengaku tak menemui kendala berarti selama proses pemutaran.
Tentang sosok pejabat yang dimaksudkannya, Nuning enggan merinci lebih jauh.
Sebenarnya, menurut Nuning, ada beberapa bioskop lain yang menawarkan kepadanya untuk memutar film Uwentira. Namun tawaran itu ditolaknya karena merasa belum sepenuhnya siap.
Pun demikian, ia tetap mengusahaakan film Uwentira bisa tayang secara reguler melalui jaringan bioskop XXI mulai Juli 2023.
Jadi lebih banyak orang bisa menyaksikannya. Untuk saat ini Nuning meminta maaf kepada masyarakat yang belum sempat menonton film tersebut.
Berdasarkan pantauan kami saat pemutaran perdana berlangsung di Theater 1 XXI Palu Grand Mall, para undangan yang hadir beragam antara para remaja dan kalangan dewasa. Mereka tampak sudah memadati selasar di depan pintu masuk sebelum pemutaran berlangsung.
Padahal, seperti tertera di tiket, harga tanda masuk untuk penonton yang bukan kalangan undangan dibanderol Rp150 ribu.
Antusiasme publik seperti ini yang diharapkannya. Sebab bisa membuat dirinya lebih bersemangat memproduksi film-film berikutnya.
Faktor pendukung dan pengganggu dalam film
Penafian; bagian tulisan ini mengandung bocoran cerita alias spoiler yang bagi sebagian orang mungkin mengganggu kenyamanan menonton.
Apa yang ingin dihadirkan Nuning selaku sutradara melalui premis film ini sebenarnya cukup sederhana. Menyoal perlunya menjaga adab dan tata krama saat memasuki atau berada di tempat baru.
Kisah seperti ini sudah berulang kali dihadirkan dalam berbagai film horor lokal. Paling populer tentu saja adaptasi KKN di Desa Penari (2022) yang meraup lebih dari 10 juta penonton.
Penyampaian premis nan tipis dan formulaik itu digabungkannya dengan khazanah folklor lokal di Sulawesi Tengah tentang keberadaan Uwentira.
Secara turun temurun diceritakan lokasi Uwentira yang tertutup pepohonan lebat sejatinya kota gaib nan megah. Tempat hunian para jin.
Penghuni Uwentira menurut cerita yang berkembang dari mulut ke mulut tidak memikuli philtrum alias lekukan di antara mulut dan hidung. Pun menggunakan pakaian serba kuning.
Nuning mengaku sengaja menjadikan Uwentira sebagai latar belakang utama dari tema cerita. “Siapa lagi yang akan angkat kalau bukan kita anak daerah,” ujarnya saat kami wawancarai.
Bagi mereka yang selama ini hanya mendengarkan kisah Uwentira dari hasil tutura atau perkataan orang-orang, menyaksikan film ini bisa jadi makin mempertebal rasa ingin tahu tentang legenda Kota Gaib Uwentira.
Rasa ingin tahu atau kepo dalam langgam generasi sekarang tentu saja harus mengenal batas. Jika tidak, maka bukan tidak mungkin akan berakhir seperti yang terjadi pada lima orang sahabat dalam cerita film ini.
Kelima orang remaja tersebut digambarkan selalu tertarik menjadikan tempat-tempat tertentu sebagai objek konten. Hingga pada akhirnya mereka nekat menerobos masuk hutan di kawasan Uwentira.
Lantaran tidak mengindahkan nasihat dari tetua adat, apa yang mereka dapatkan justru tragedi alih-alih konten menarik untuk netizen.
Selama 78 menit durasi film, atmosfer menakutkan dan mengagetkan itu coba dihadirkan melalui beragam cara. Ada yang berhasil, tapi tak sedikit juga sekadar berlalu tanpa meninggalkan kesan membekas.
Penggunaan ilustrasi musik tradisional lalove, misalnya, cukup tepat guna untuk makin menciptakan suasana teror dalam hutan oleh mahluk penghuni Uwentira.
Sementara nila setitik yang menyangkut di departemen suara adalah dialog pemain dalam beberapa adegan yang hanya terdengar samar, bahkan tidak kedengaran.
Kendala (atau kekurangan teknis?) tadi kemudian ditutupi dengan membubuhkan teks dalam film sehingga penonton bisa mengerti dialog yang disampaikan pemain.
Hal lain dalam film ini yang juga mengganggu kenyamanan, dalam hal ini mata, adalah pemilihan palet warna.
Keputusan menggunakan warna hitam yang terlalu gelap akhirnya jadi kurang berhasil memancing kesan misteri dan kejahatan. Sebab kinerja otak tersita untuk memproses objek apa yang muncul di layar.
Laiknya suguhan dalam film-film horor kita yang lain, formula jumpscare atau lonjakan ketakutan lantaran kaget turut dihadirkan beberapa kali. Beberapa penonton ada yang menjerit saat disuguhkan adegan klise ini.
Sementara tak sedikit juga penonton yang tetap duduk anteng. Mungkin karena sudah terlatih menonton banyak film horor sehingga bisa dengan mudah menebak di adegan-adegan seperti apa sineas akan menghadirkan jumpscare.
Kekagetan saya baru muncul saat film memasuki penghujung cerita. Pasalnya kami para penonton tak mendapatkan penjelasan alias konklusi dari apa yang terjadi sepanjang durasi.
Ibaratnya jika film kebanyakan terdiri dari sturuktur tiga babak, maka film Uwentira dibiarkan selesai begitu saja tanpa ada resolusi, entah berakhir bahagia atau duka, yang biasanya menandakan klimaks dalam babak ketiga sebuah cerita.
Pamungkas film hanya menghadirkan dua orang tokoh yang selamat dari teror perempuan penghuni Uwentira. Mereka lantas dihadapkan semacam jembatan menuju kota gaib Uwentira.
Apakah itu maksudnya open ending atau petunjuk menuju sekuel yang kemudian menyuguhkan resolution untuk menggenapi setup dan confrontation yang sudah dibangun dalam film ini? Entahlah.