Tidak seperti logam lainnya, emas memiliki peran dalam sistem moneter dunia. Sejak dulu kala, emas menjadi alat tukar utama dan salah satu tertua di dunia. Di samping perak dan perunggu.
Sejarah mencatat emas digunakan sebagai alat pembayaran atau alat tukar sejak 700 SM. Penggunaan emas ini dilakukan pada masa peradaban kerajaan Lydia yang berpusat di barat Turki.
Di era modern ini, penggunaan emas masih berpengaruh. Beberapa negara masih menggunakan emas sebagai alat tukar, semisal Arab Saudi. Ini merujuk pada istilah standar emas, yakni sebuah sistem kebijakan moneter yang tidak menggunakan mata uang, melainkan menggunakan emas murni sebagai alat pembayan yang sah.
Posisi emas yang masih kuat, menjadikan permintaannya masih tinggi. Per 14 Maret 2023, harga emas menembus Rp 1.000.064.000/gram di luar pajak.
Harga jual yang tinggi ini membuatnya terus dicari dan memicu tumbuhnya industri emas. Pun halnya di Sulawesi Tengah. Aktvitas penambangan emas baik dikelola oleh perusahaan atau masyarakat secara tradisonal, terjadi di beberapa wilayah.
Film Tanah Emas garapan sutradara lokal Palu, Rahmadiyah Tria Gayatri, mencoba menampilkan dua sisi yang berbeda dari logam mulia ini. Di satu sisi, emas punya beragam manfaat, tapi di sisi lain, bisa pula jadi sumber petaka.
Film berdurasi 25 menit ini menyajikan tentang perlakuan masyarakat lokal terhadap emas dan praktik pengolahan emas secara tradisional.
“Film ini berada di tiga lokasi berbeda, yakni desa Towale (Donggala), PT Citra Palu Minerals (CPM) dan tambang emas rakyat di Poboya (Palu), Desa Siney (Parigi Moutong). Dalam liputan bersama tim produksi, tiga lokasi ini punya perlakuan berbeda terhadap emas,” ungkap Rahmadiyah Tria Gayatri, yang juga peulis naskah Film Tanah Emas.
Ama, sapaan karibnya, menyebut dewasa ini, perusahaan tambang dan warga penambang emas sekadar memaknai emas sebagai alat tukar, sehingga eksplorasi terus menerus dilakukan tanpa memikirkan dampak dikemudian hari.
“Kalau di Towale (Donggala), salah satu komunitas warga lokal di sana punya kultur untuk memandikan emas, orang Kaili juga punya kebiasaan menimbun emas persis di bawah pondasi tiang raja rumah, juga jadi pelengkap dalam mahar perkawinan,” kata salah founder Forum Sudut Pandang ini.
Praktik memandikan emas yang dimaksud yakni memandikan Bulava Mpongeo, sebuah patung kembar warisan Hindu Kuno, dalam selintas cerita Poboya dan Emas dalam Suku Kaili disebutkan emas berperan sebagai Sambulu Gana, pelengkap mahar perkawinan.
Fungsi emas yang sentral dalam praktik adat istiadat, membuat orang Kaili sejak dulu juga melakukan pengolahan emas. Namun para leluhur melakukannya secara tradisonal dengan mendulang. Tak semasif dalam penambangan emas dewasa ini.
“Para orang tua dulu memaknai emas itu laiknya urat nadi terutama di daerah pegunungan lingkar lembah Palu, bayangkan bila urat nadi itu putus? Kita yang ada di bawah ini bisa mati,” ungkap Ama.
Dia pun menyebutkan contoh sederhana, bila melihat tambang emas di Poboya, eksplorasi di sana bisa berakibat fatal terhadap lingkungan. Penggunaan merkuri, dalam pertambangan rakyat membuat tanah dan air tercemar, sementara pengerukan secara masif berpotensi menimbulkan risiko baru di masa depan.
Belum lagi masalah sosial di sekitarnya. Semisal pergolakan penolakan perusahaan tambang di kabupaten Parigi Moutong, yang menelan korban jiwa.
Praktik ijon politik
Dalam kesempatan terpisah, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng, menyebut praktik tambang sejatinya menimbulkan kerugian bagi masyarakat, terutama masalah sosial maupun lingkungan.
Direktur JATAM Sulteng, Moh. Taufik menyebut hadirnya aktivitas tambang, termasuk tambang emas, menimbulkan praktik ijon politik atau pembiayaan korporasi terhadap pasangan calon (Paslon), yang akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah.
“Riset yang kami lakukan pada periode 2018 – 2019, menemukan indikasi adanya pendanaan korporasi kepada kedua paslon pada pemilihan gubernur tahun 2020 lalu. Skema ini, bikin sejumlah izin usaha pertambangan (IUP) marak terbit menjelang dan sesudah tahun politik,” ujarnya saat ditemui Tutura.Id pada Senin (6/3/2023).
Taufik mengungkapkan untuk bertarung dalam kontestasi pemilihan bupati atau walikota setidaknya membutuhkan biaya kisaran Rp20-30 miliar. Sedangkan pada pemilihan gubernur bisa mencapai angka Rp100 miliar.
Berdasarkan penelusuran JATAM Sulteng, perusahaan tambang yang diduga melakukan praktik ijon politik yakni PT Graha Istika Utama (GIU) yang berlokasi di desa Tudua, Kecamatan Bungku Tengah, Morowali. Korporasi penambang batu ini telah berulang kali ditolak oleh warga setempat. Termasuk Bupati.
Baik tambang emas legal dan ilegal, menurut Taufik, semuanya punya andil dalam dalam serangkaian konflik yang acapkali terjadi dengan warga setempat.
“Sebagian besar tambang yang hadir, tidak pernah diketahui oleh warga. Tiba – tiba sudah beroperasi, ada praktik manipulasi, seolah – olah warga setuju untuk eksploitasi,” ungkapnya.
Taufik menambahkan JATAM Sulteng sudah berulangkali menyoroti soal temuan semacam ini, termasuk menyerukan pengawasan yang harus dilakukan aparat penegak hukum.
“Jelang tahun politik ini juga, kami akan kampanye ke daerah lingkar tambang, agar rakyat tidak terjebak dalam praktik eksploitasi,” terangnya.
Potret buram tambang emas di Sulteng
Untuk melihat sejauh mana potret buram tambang emas di Sulteng Tutura.Id mengumpulkan berbagai peristiwa dan pergolakan yang terjadi di sekitarnya. Ada peristiwa yang sampai merenggut nyawa manusia.
Seperti kejadian setahun silam, tepatnya 12 Februari 2022, di kabupaten Parigi Moutong (Parimo). Warga yang mengatasnamakan diri Aliansi Rakyat Tani Peduli (ARTI) menggelar aksi demonstrasi menolak aktivitas PT Trio Kencana.
Alasannya, warga tak pernah diberitahu soal rencana korporasi penambang emas ini. Diawal operasinya saja, sudah memberi dampak kerugian lingkungan, terutama bagi pemukiman dan areal persawahan milik warga.
Dalam aksi ke tiga selama kurun 10 tahun terakhir itu, Erfaldi (21), warga desa Tada, kecamatan Tinombo Selatan, meregang nyawa setelah terkena peluru. Belakangan Kapolda Sulteng, Irjen Rudy Sufahriadi menetapkan Bripka H dari Polres Parimo, sebagai tersangka penembakan, berdasarkan hasil uji balistik dan laboratorium forensik (labfor) di Makassar.
Peristiwa ini bikin warga dan kelompok peduli HAM meradang. Makin diperparah setelah penembak Erfaldi (alm), divonis bebas oleh Yakobus Manus, majelis hakim pengadilan negeri kelas II (PN) Parigi, pekan lalu (3/3/2023).
Berselang 10 bulan setelah konflik di Parimo tersebut, peristiwa serupa juga kembali terjadi di Palu. Warga penambang bentrok terlibat dengan aparat Polres Palu di area konsesi PT Citra Palu Minerals (CPM) di kelurahan Poboya, kecamatan Mantikulore.
Menurut keterangan polisi, bentrokan terjadi karena aksi blokade jalan Vatumorangga, akses masuk ke areal perusahaan dengan potensi 14,2 juta ton biji emas itu.
Bila ditelisik ke belakang, carut-marut tambang emas di Poboya disinyalir bermula ketika warga di lingkar tambang tak lagi punya akses mengeruk emas, bahkan ada indikasi belum jelasnya status hukum aktivitas PT Adijaya Karya Makmur (AKM), yang juga beroperasi di area kontrak karya PT CPM.
Sepekan sebelum bentrokan terjadi di Poboya, dua penambang emas dibacok di area Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) Dongi-Dongi, kecamatan Lore Utara, kabupaten Poso, yang masuk dalam kawasan konservasi Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).
Titik pertambangan ilegal di kabupaten Buol bahkan diklaim menjadi pemicu bencana ekologis yang kerap terjadi Bumi Pogogul itu. Seperti PETI di Sungai Tabong, kecamatan Tiloan yang bisa memicu banjir dan abrasi pantai di desa Dopalak.
Sementara itu, dalam penilaian Ombudsman perwakilan Sulteng, sejak tahun 2019 dari 12 objek pengawasan termasuk lokasi Tambang Kayuboko (Parimo), Poboya (Palu) dan Dongi – Dongi (Poso), disinyalir ada kelalaian aparat penegak hukum, hingga dugaan keterlibatan oknum pemerintahan atas penerbitan izin investasi.***
film tanah emas emas perusahaan korporasi tambang eksploitasi konflik warga Poso Parimo Donggala