Film The Little Mermaid yang mengembalikan nostalgia masa kecil
Penulis: Juenita Vanka | Publikasi: 28 Mei 2023 - 21:35
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Film The Little Mermaid yang mengembalikan nostalgia masa kecil
Halle Bailey sang pemeran Ariel, protagonis utama dalam film The Little Mermaid (Foto: Disney)

Walt Disney Pictures terus meluncurkan versi live-action dari film-film animasi yang pernah mereka rilis sebelumnya, mulai dari untuk konsumsi streaming di Disney+ hingga tayangan layar lebar alias bioskop.

Seolah belum cukup memborbardir dengan Pinocchio (2022), Mulan (2020), maupun Aladdin (2019), perusahaan hiburan raksasa ini kembali menelurkan The Little Mermaid. Kita lebih familiar menyebutnya Putri Duyung.

Hans Christian Andersen, sang pendongeng ulung asal Denmark, pertama kali mempublikasikan dongeng Putri Duyung pada 7 April 1837 melalui penerbit C. A. Reitzel. Judul aslinya Den Lille Havfrue.

Kepopuleran dongeng ini dalam kultur pop membuatnya dialihwahanakan menjadi beragam rupa dan medium.

Disney berbekal sokongan finansial melimpah dan nama besar tak mau kalah beroleh cuan dengan ikut mengadaptasinya menjadi film kartun.

Alhasil meluncurlah versi animasi pertama film ini pada 17 November 1989. Lewat film berdurasi 83 menit ini, Disney berhasil meraup total AS$233 juta dari bujet produksi yang “hanya” AS$40 juta.

Perlu menanti lebih dari tiga dekade hingga kemudian versi terbaru kisah ini kembali hadir menyapa para penggemarnya melalui tontonan layar lebar. Tayang perdana di Indonesia, juga di Kota Palu, mulai 24 Mei 2023. Lebih cepat beberapa hari dari penayangannya di Amerika Serikat.

Halle Bailey (23), pendatang baru di industri film, dipilih menjadi bintang utama alias memerankan tokoh Ariel, bungsu dari tujuh putri Raja Triton.

Turut bermain pula Jonah Hauer-King sebagai Pangeran Eric, Melissa McCarthy memerankan Ursula sang penyihir dengan badan setengah gurita, dan Javier Bardem yang menjadi King Triton, raja laut penguasa Kerajaan Atlantika.

Rob Marshall yang sebelumnya menggarap film Mary Poppins Returns (2018) dan Into the Woods (2014) duduk di kursi sutradara.

Meskipun berusaha setia dengan penceritaan versi dongeng, beda dengan perlakuan Disney terhadap Mulan (2020) yang menghilangkan beberapa tokoh dan adegan ikonis, film ini tetap mengalami beberapa perubahan. Tujuannya jelas demi membuat The Little Mermaid lebih relevan dengan perubahan dunia kiwari.

Seperti kisah klasik putri-putri Disney, film ini juga menceritakan pengorbanan sang protagonis utama demi mewujudkan cita-cita dan harapannya.

Alkisah di Kerajaan Atlantika, negeri bawah laut yang damai, hiduplah seorang putri duyung bernama Ariel. Ia putri bungsu Raja Triton sang penguasa Kerajaan Atlantika.

Sang putri punya ketertarikan yang sangat besar terhadap budaya manusia. Padahal ayahnya sudah mewanti-wanti untuk menjauhi daratan.

Takdir lantas mempertemukan Ariel dengan pelaut bernama Eric yang kapalnya tenggelam setelah menghantam batu karang besar. Eric ternyata seorang pangeran dari negeri Tirulia.

Pertemuan nan singkat itu ternyata bikin Ariel terpincut dengan Eric sehingga makin bertambah rasa penasarannya mengunjungi daratan.

Hanya saja bentuk fisiknya yang tak memiliki kaki jadi penghambat. Demi memuluskan langkahnya, ia nekat menemui bibinya, Ursula, gurita penyihir laut yang kehidupannya diasingkan.

Ursula mengaku bersedia memenuhi permintaan keponakannya itu dengan syarat maha berat. Petualangan Ariel bermula dari sini.

Kisah asmara antara Putri Ariel dan Pangeran Eric lebih dieksplorasi dalam versi live-action film The Little Mermaid (Foto: Disney)

Menyaksikan film ini seolah kembali ke masa kanak-kanak. Nostalgia kala pertama menonton versi animasi The Little Mermaid. Impresi itu seketika hinggap saat menonton di bioskop.

Segala perdebatan di belakang dan depan layar, mulai dari kontroversi pemilihan pemain hingga beberapa minor dari segi efek CGI adegan bawah laut, kenyataannya tak mengurangi keasyikan menonton film ini.

Penampilan Bailey, terutama saat bernyanyi, sanggup bikin penonton yang mengisi studio XXI Palu Grand Mall terdiam. Salah satunya kala ia melantunkan “Part of Your World”, lagu paling ikonis dalam film tersebut.

Semua atribut untuk menjadi seorang putri yang banyak didambakan orang melekat padanya. Kualitas aktingnya untuk ukuran pendatang baru juga tak buruk.

Begitupun dengan Jonah. Ia cukup mumpuni berlakon sebagai Pangeran Eric laiknya dalam versi animasi.

Karisma yang ditampilkannya dalam layar bikin penonton terkesima lantaran ada banyak ruang eksplorasi baginya untuk memperkenalkan karakter Pangeran Eric. Bukan lagi sekadar karakter dua dimensi seperti film animasi versi lawas yang rilis 1989.

Sosok Eric kali ini memiliki latar belakang, asal usul, dan motivasi yang jelas, termasuk soal kisah asmaranya dengan Ariel, plus kesukaannya terhadap dunia pelayaran.

Durasi film yang lebih panjang 52 menit dari versi animasi sebelumnya jelas menjadi pembeda. Jangan heran jika versi live-action yang bujet produksinya sekitar Rp3,7 triliun ini hadir dengan cerita lebih kompleks.

Deretan tokoh pendukung, selain Javier Bardem dan Melissa McCarthy yang tak perlu diragukan kapasitas aktingnya, hadir tak sekadar jadi pelengkap.

Semisal Sebastian (diisi suarakan oleh Daveed Diggs), karakter kepiting sang penggerutu bawahan Raja Triton, yang ditugaskan mengawasi Putri Ariel. Celetukan-celetukannya sukses membuat seisi bioskop tertawa dan terus menantikan kehadirannya.

Belum lagi ia dipadukan dengan Scuttle (Awkwafina), burung camar nyentrik yang menyebut dirinya ahli di bidang manusia.

Keduanya berduet menyanyikan lagu tambahan bertajuk “The Scuttlebut”. Momennya terjadi kala Scuttle datang membawa kabar bahwa Pangeran Eric akan melamar seorang perempuan.

Karakter yang juga susah dilupakan begitu saja adalah Flounder (Jacob Tremblay), ikan kecil yang menjadi sahabat setia Ariel. Penampilan masing-masing dari mereka turut memberikan warna tersendiri.

Lantas, apakah film ini bebas dari cela? Tentu saja tidak. Beberapa kejanggalan yang saya temukan dalam cerita, antara lain latar belakang hubungan antara Raja Triton dan Ursula yang kurang tergali. Pun Pangeran Eric dengan ibu angkatnya, Ratu Selina.

Hal yang rasanya juga kurang sreg adalah keputusan menjadikan keenam putri Raja Triton, yaitu Mala, Karina, Indira, Perla, Tamika, dan Caspia, yang diperankan oleh aktris dari berbagai ras berbeda.

Walaupun maksudnya demi menghadirkan sebuah representasi bahwa anyone can be anything they want, despite what color their skin is, what race they are in, tapi hal itu tetap saja terasa dipaksakan.

Terlepas dari semua kontroversi yang mengiringi film ini, The Little Mermaid tetap saja menghadirkan tepuk tangan penonton saat credit title muncul di layar besar pertanda film telah usai. Sebuah nostalgia dari tontonan masa kecil yang tak mengecewakan.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
1
Jatuh cinta
1
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Sumbangsih genre horor dalam perfilman Indonesia
Sumbangsih genre horor dalam perfilman Indonesia
Jumlah penonton film Indonesia di bioskop sepanjang 2022 berhasil mencetak sejumlah rekor. Genre horor masih…
TUTURA.ID - Avatar kembali ke layar lebar dengan versi lebih kinclong
Avatar kembali ke layar lebar dengan versi lebih kinclong
Warga di Kota Palu akhirnya bisa menyaksikan Avatar (2009) dalam format layar lebar. Kali ini…
TUTURA.ID - Permulaan menonton film berbayar dan kelahiran bioskop
Permulaan menonton film berbayar dan kelahiran bioskop
Tepat hari ini, 127 tahun yang lalu, untuk pertama kalinya film dipertontonkan pada khayalak dengan…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng