Kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung DPRD Morowali Utara memasuki babak baru. Kamis (15/12/22), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa dua pembesar dari Pemerintah Kabupaten Morowali Utara, yakni: Wakil Bupati, Djira Kendjo, dan Kepala Badan Pengelolaan dan Aset Daerah, Masjudin Sudin.
"Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya terkait pelaksanaan proses pembangunan Gedung Kantor DPRD Morowali Utara," demikian tersampaikan dalam keterangan tertulis KPK, Jumat (16/12/22).
Keduanya juga dicecar soal pengembalian uang dari pihak terkait dalam proyek tersebut--sebesar Rp8 miliar ke kas daerah. Adapun Bupati Morowali Utara, Delis Jukarson Hehi juga dipanggil KPK. Akan tetapi yang bersangkutan berhalangan hadir. Pemeriksaan Delis akan dijadwalkan kembali.
Pada hari yang sama, KPK juga memeriksa Ronny Tanusaputra, penanggung jawab pekerjaan pembangunan, dan Christian Hadi Chandra, kuasa direktur PT Multi Global Konstrindo.
Ronny Tanusaputra rasa-rasanya jadi magnet berita dalam kasus ini, antara lain karena posisinya sebagai tenaga ahli gubernur Sulawesi Tengah. Tak heran bila nama Ronny jadi judul dan sorotan pokok dalam pemberitaan media, macam Medcom.Id, dan JPNN.
Sebelumnya, pada Februari 2022, KPK ambil alih kasus ini dari Polda Sulteng. Saat ditangani Polda Sulteng, Ronny sebetulnya sudah berstatus tersangka. Namun status tersebut gugur lewat proses praperadilan di Pengadilan Negeri Palu, 4 November 2021.
Meski begitu, ketika kasus ini sampai di tangan KPK, ada sejumlah gelagat--lewat pernyataan para pejabat KPK--Ronny kembali jadi tersangka.
“Masalah Ronny kenapa tidak ditahan? Ada pertimbangan-pertimbangan khusus yang bersifat teknis dalam penyidikan sehingga untuk sementara belum dilakukan penahanan," ujar Johanis Tanak, Wakil Ketua KPK, dalam konferensi pers, saat menjawab pertannyan seputar tak ditahannya Ronny, Jumat (16/12/22).
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Karyoto menambahkan informasi bahwa Ronny sudah menjalani penahanan pada tahap penyidikan di Polda Sulawesi Tengah (Sulteng). Alhasil Ronny tak bisa ditahan. "Tidak satu pun tersangka yang dihukum ataupun dilakukan upaya paksa sebanyak dua kali dalam tahap penyidikan," katanya.
Akan tetapi, Karyoto mengatakan bahwa penahanan bisa dilakukan saat proses pelimpahan ke jaksa penuntut umum (JPU).
KPK memang tinggal tunggu waktu tepat guna mengumumkan tersangka dalam kasus ini. Hal itu pernah disampaikan Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri di hadapan wartawan pada 22 November 2022.
“Kami sudah melakukan (pemeriksaan) terhadap beberapa pihak dan sudah menetapkan beberapa pihak sebagai tersangka. Namun kami akan sampaikan pada saat yang tepat pada saat proses penyidikan cukup," ujar Ali.
Perjalanan kasus gedung wakil rakyat Morut
Gedung DPRD Morut mula-mula direncanakan pembangunannya pada 2015. Sedangkan realisasi pembangunan mulai jalan sekira setahun setelahnya.
Kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung DPRD Morut mulai disidik Polda Sulteng pada Maret 2018. Perjalanan kasus ini di tangan Polda Sulteng mengalami pasang surut.
Ronny Tanusaputra santer disebut dalam kasus ini. Polda Sulteng semula percaya diri bisa menyeret Ronny yang berposisi sebagai penanggung jawab proyek.
Pasalnya, permohonan praperadilan Ronny ditolak oleh PN Palu pada 20 Mei 2021. Saat itu, hakim Zaufi Amri menyimpulkan “tindakan penetapan tersangka terhadap diri pemohon (Ronny) adalah sah menurut hukum."
Pada medio Agustus 2021, Polda Sulteng menyatakan bahwa berkas perkara dengan tersangka Ronny sudah lengkap alias P21. Berkas, dan barang bukti pun tinggal menunggu waktu untuk diserahkan kepada kejaksaan.
Namun usaha Ronny belum berhenti. Ia kembali mengajukan permohonan praperadilan atas status tersangka yang diberikan padanya.
Kali ini angin berpihak pada Ronny. Pada 4 November 2021, hakim tunggal praperadilan PN Palu, Suhendra Saputra mengabulkan keberatan Ronny. Di mata hakim, penetapan Ronny sebagai tersangka oleh Polda Sulteng dianggap tidak sah.
Situasi itulah yang membuat kasus ini terkatung-katung. KPK akhirnya mengambil alih kasus ini dari Polda Sulteng pada pertengahan Februari 2022. Pengambilalihan macam ini bisa dilakukan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 9/2019 yang memuat perubahan atas UU KPK.
Sejauh ini, KPK menyatakan bahwa seminimnya ada tiga dugaan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian negara dalam kasus ini.
Pertama, soal pengadaan lahan; sebelumnya, Polda Sulteng mengendus indikasi ihwal lahan pembangunan yang justru dibeli dari seorang anggota DPRD Morowali Utara. Kedua berkenaan konsultan perencanaan pembangunan. Ketiga soal pelaksana pembangunan, yakni perusahaan konstruksi PT Multi Global Konstrindo.
Proyek ini memang dipegang oleh PT Multi Global Konstrindo. Kontak kerjanya bernilai Rp9 miliar. Namun berbasis perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) justru terdapat potensi kerugian negara sebesar Rp8 miliar—setelah dipotong pajak.
Proyek ini kian buruk sebab gedung tersebut dibangun di atas tanah miring, sehingga tak bisa digunakan.
Menimbang angka dan situasi tersebut, tak heran bila KPK sebut kasus ini punya potensi “total loss”. Istilah tersebut kerap dipakai untuk menjelaskan kualitas barang atau pekerjaan yang diterima sangat rendah sehingga barang tidak dapat difungsikan.
Sekadar tambahan informasi, pada medio 2021, Gubernur Sulteng, Rusdy Mastura menunjuk Ronny sebagai salah seorang tenaga ahli. Ronny mengurusi bidang ekonomi dan investasi. Saat penunjukan, sempat pula muncul polemik ihwal status Ronny yang dianggap masih tersandera kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung DPRD Morowali Utara.
Ronny selama ini lebih dikenal sebagai pengusaha. Di dunia politik, ia kini pegang posisi sebagai ketua dewan pertimbangan Perindo Sulteng.
Ronny Tanusaputra Rusdy Mastura tenaga ahli gubernur Sulteng korupsi Morowali Utara