
Semua jenis penyu yang ada di Indonesia dilindungi dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 dan termasuk satwa dilindungi menurut PP. No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Pun demikian, dalam praktiknya masih ada saja warga yang membeli dan mengonsumsi telurnya. Bahkan dalam beberapa tradisi, penyu dipercaya menjadi obat sehingga juga ikut dimakan.
Dengan realita itu, upaya perlindungan terhadap penyu dianggap penting. Tidak hanya untuk melestarikan jenisnya, tapi juga melindungi ekosistem laut secara menyeluruh.
Di Sulawesi Tengah, Pulau Pasoso ditetapkan sebagai salah satu area konservasi penyu. Namun, ada beberapa daerah sekitar juga yang sudah mulai sadar dan ikut serat dalam upaya perlindungan penyu.
Salah satunya di Desa Mapane Tambu, Kecamatan Balaesang, Donggala, Sulawesi Tengah. Satu penggagas konservasi penyu di Desa Mapane Tambu, Drs. Saiful Bakri, MM, berkesempatan berbagi cerita inspiratif ini kepada Tutura.Id.
“Awal mula kita sering melihat nelayan-nelayan itu mendapatkan penyu yang bertelur, kemudian telurnya dijual. Setelah membaca beberapa literatur dengan beberapa orang yang peduli terhadap lingkungan, ternyata kalau ini dibiarkan penyu akan punah,” kata Saiful membuka pembicaraan dengan semangat.
Saiful mulai menggagas konservasi penyu di Desa Mapane Tambu sejak 2017. Ada dua jenis yang masuk dalam upaya perlindungan, yaitu jenis penyu sisik dan penyu hijau.
Kala itu dia menjabat sebagai ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Desa. Tujuannya adalah memprogramkan kegiatan konservasi sebagai bentuk kepedulian pemerintah desa terhadap lingkungan.
Saiful kerap merasa penyu memang butuh perlindungan, sebab dari 1.000 anak penyu yang dilepaskan ke laut hanya ada satu ekor yang bisa tumbuh hingga dewasa.
Bila tidak mendapatkan perlindungan berarti, dirinya takut generasi selanjutnya tidak dapat melihat penyu. Pasalnya, kini semakin jarang penyu terlihat di pesisir.

Butuh dukungan
Saiful jadi satu-satunya ASN yang terjun langsung dalam program konservasi penyu di Desa Mapane Tambu. Dia pun memberikan pujian kepada warga desa yang sudah mau ikut berpartisipasi dalam perlindungan penyu.
Antusiasme warga tersebut diharapkannya bisa memicu partisipasi pemerintah desa setempat untuk ikut bergabung. Sebab Saiful bisa melihat ada potensi besar di balik perlindungan penyu.
Menurutnya perlindungan penyu merupakan langkah awal menjadikan Desa Mapane Tambu sebagai daerah wisata konservasi. Dengan begitu sektor pariwisata bisa tumbuh dan bisa menggerakan roda ekonomi warga lokal. Bahkan bisa jadi sumber untuk dana desa.
Jalan untuk mewujudkan Desa Mapane Tambu sebagai daerah wisata konservasi penyu, ungkap Saiful, boleh jadi masih panjang. Saat ini pihaknya masih memiliki kendala fasilitas.
Salah satu contohnya terkait keamanan telur penyu yang saat ini masih rawan. Sebab tempat telur-telur penyu yang akan dierami secara alami itu hanya dibatasi oleh papan setinggi 15-20 sentimeter. Masih jauh dari ideal.
“Kadang-kadang juga karena faktor terpaan angin dan sebagainya karena terbuka sedikit, jadi langsung dilepas ke laut,” katanya.
Mereka juga memiliki hambatan masalah pendanaan. Saiful mengungkapkan pembiayaan selama berasal dari kolaborasi antara pemerintah desa, swasta, dan orang-orang yang peduli terhadap lingkungan.
Menyoal lahan konservasi, Saiful mengungkapkan lahan yang mereka gunakan saat ini adalah milik negara, bukan individu. Oleh karena itu, masyarakat setempat tidak mempermasalahkan lokasi tersebut.

Giat konservasi
Konservasi penyu yang dilakukan juga turut memikirkan kesejarahteraan nelayan. Hal itu direalisasikan melalui program Wali Penyu.
Setiap nelayan yang menemukan telur penyu atau anak penyu lantas menyerahkannya kepada pengurus konservasi, maka nelayan bersangkutan akan menerima uang kompensasi sebesar Rp150 ribu untuk tiap lubang berisi telur penyu.
Sumber uang kompensasi, jelas Saiful, diambil dari anggaran dana desa. Ada juga dari sumbangan para pihak yang peduli terhadap konservasi penyu dan kesejarahteraan nelayan di Desa Mapane Tambu.
“Melalui wali penyu, jika ada orang yang peduli dia bisa sisipkan uangnya ke kelompok, misalnya Rp150 ribu. Jadi uang itu yang kami berikan kepada nelayan yang mendapatkan telur. Nanti telur kami jaga dan rawat. Jika sudah tiba waktunya, pasti akan kami lepas ke laut,” lanjut Saiful.
Selain program wali penyu, ada pula pembentukan kelompok masyarakat peduli penyu Desa Mapane Tambu yang bernama Lentora. Dalam program ini pengurus dan anggota kelompok bekerja sama menjalankan konservasi penyu untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Geliat yang dilakukan warga Desa Mapane Tambu dalam melindungi penyu diharapkan Saiful turut menjalar ke desa-desa lain. Dalam kapasitasnya sebagai sekretaris Kecamatan Sindue Tombusabora, pria ini juga getol memperkenalkan konsevasi penyu di wilayah kerjanya.
Ia juga berharap saat peringatan Hari Penyu yang jatuh saban 23 Mei, masyarakat makin sadar terkait konservasi penyu dan kesejahteraan nelayan.
“Harus beriringan, karena bagaimana penyu bisa lestari kalau masyarakat nelayan sendiri masih terdesak oleh kebutuhan ekonomi,” tutupnya.


