Sebuah kecapi mengalun pelan mengiringi syair yang dilantunkan seseorang berpakaian serba kuning. Ia tak sendirian. Di sekelilingnya berkumpul orang dengan pakaian serupa.
Sambil memainkan kecapi, syair-syair nyanyian panjang berdurasi hampir 10 menit itu dilantunkan oleh Dae Managa. Syair itu dilafalkan sebagai pembuka permohonan permisi kepada leluhur.
Dae Managa merupakan pemimpin masyarakat adat di Desa Ogoansam, Kecamatan Palasa, Kabupaten Parigi Moutong.
Syair yang dilantunkannya adalah Gumbuyo to nu Lauje. Sebuah syair Suku Lauje yang dinyanyikan berisi gane-gane alias doa kesyukuran. Syair ini ditujukan kepada kepada siopo lata'alaa atau Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberikan kelimpahan hasil panen.
Perlu diketahui bahwa Gumbuyo dalam bahasa Lauje berarti nyanyian. Melakukan gumbuyo disebut mogumbuy atau menyanyi.
Nah, tradisi lisan berbahasa Lauje itu dilangsungkan dalam prosesi adat Masoro pada Rabu malam (20/12/2023) di halaman rumah adat Yelelumut. Jaraknya sekitar satu kilometer masuk ke arah gunung dari jalan utama Kecamatan Palasa.
Masoro adalah upacara adat untuk mengungkapkan kesyukuran masyarakat Suku Lauje kepada sang pencipta yang telah memberikan kesuburan tanah. Pun kehidupan yang berkelimpahan.
Dalam momentum yang sama, melalui proses gumbuyo masyarakat Suku Lauje kembali meminta permohonan diberikan kesuburan tanah.
Lantunan gumbuyo bersahut-sahutan
Setelah Dae Managa melantunkan syair gumbuyo, pelantun lainnya mengambil alih. Masih dalam lingkaran yang sama, pria itu melantunkan sepenggal syair yang berbunyi
Asayangi maa e yau
(Sayangilah kami)
Moganoye taman tantu
(Yang berdoa tidak sempurna ini)
Mongasayangi ito manusia
(Saling mengasihilah sesama manusia)
Adae sau lulu no 'asayangi tu
(Sayangilah, adat leluhur dahulu)
Lantunan syair ini pun memantik reaksi haru. Beberapa orang dalam lingkaran itu mengusap air mata dengan ujung kain. Tidak ada suara rengekan, hanya keheningan yang mengesankan keharuan yang mendalam.
Desember yang menjadi penutup tahun bagi masyarakat Suku Lauje ditandai dengan panen raya, terutama bagi para petani di Desa Ogoansam.
Menandai panen raya ini, masyarakat adat Suku Lauje melakukan mogumbuy. Para pemangku adat Lauje yang hidup di pegunungan, lembah, hingga di pesisir pantai akan berkumpul bersama dalam lingkaran dan melantukan syair-syair.
Dae Managa kepada Tutura.Id menerangkan gumbuyo sejatinya tidak hanya berisi doa, tetapi juga sebagai ekspresi kegembiraan. Suka cita terhadap berlimpahnya hasil alam yang bisa dipetik manusia. Ada juga syair yang berisi cerita para leluhur Suku Lauje terdahulu atau peristiwa sejarah.
Gumbuyo juga dilantunkan ketika para tokoh adat Lauje melakukan pertemuan. Entah di gunung, lembah, pantai, atau di kebun. Mereka akan melantunkan gumbuyo bersama dengan alat musik tradisonal Suku Lauje.
Alat musik Lauje yakni talalo alat musik bambu, simbuge alat musik bambu mirip kulintang, nggeso yang mirip biola, kobi atau kecapi, hingga yori yang dimainkan dengan cara ditiup seperti harmonika.
Sayangnya, alat musik tradisional ini tidak selengkap dulu. Menurut Dae Managa, beberapa alat-alat musik tersebut telah rusak.
“Suatu hari nanti mungkin akan dibuat lagi sebagai perlengkapan di rumah adat, karena beberapa orang sudah tidak lupa cara yang memainkan,” jelas Dae pria yang sudah berusia 77.
Jika disandingkan tradisi lisan gumbuyo dari Suku Lauje ini mirip seperti tradisi lisan dadendate suku Kaili dari Donggala.
Pemangku adat yang telah mahir akan menyusun syair nyanyian secara spontan tanpa naskah. Meski ada juga syair-syair yang telah diwariskan oleh nenek moyang Suku Lauje.
Berbeda dengan dadendate yang spontan dan bisa dilantunkan di mana saja dan oleh siapa saja, syair gumbuyo yang digunakan untuk upacara adat hanya boleh dinyanyikan oleh pemangku adat. Bukan dari sembarangan orang karena di dalamnya berisi doa-doa.
Menariknya, kalimat terakhir pada bait gumbuyo dinyanyikan dengan suara panjang dan inilah yang menjadi ciri khas gumbuyo. Mirip penggunaan tanda harakat saat mengaji Alquran. Olehnya, pelantunnya sangat mengandalkan pengaturan nafas panjang.
Syair-syair gumbuyo yang mengandung doa-doa dan dinyanyikan secara khusyuk ini bagi beberapa orang yang memahaminya akan terbawa suasana hingga meneteskan air mata.
Kahar, salah satu Kepala Adat Lauje di Labani, memberi pesan bahwa gumbuyo sebagai sebuah tradisi lisan perlu dijaga. Sebab memuat sumber pesan dan nasihat para leluhur bagi Suku Lauje.
"Jika kita menjaga adat, maka kita akan disayangi pencipta dan jauh dari bala. Agar masyarakat Lauje tidak melupakan nasihat orang-orang tua kita dulu," tutur Kahar penuh harap.
gumbuyo mogumbuy Suku Lauje Suku Kaili dadendate Palasa panen raya Parigi Moutong tradisi kearifan lokal alat musik tradisional