Hikayat ndengu-ndengu: Tradisi membangunkan sahur ala Morowali
Penulis: Mohammad Reza | Publikasi: 13 April 2023 - 10:55
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Hikayat ndengu-ndengu: Tradisi membangunkan sahur ala Morowali
Penampakan sebuah menara bambu yang jadi bagian dari tradisi ndengu-ndengu pada bulan Ramadan di Morowali. | Foto: Dean Asfikar

Bila berkunjung ke wilayah Morowali, Sulawesi Tengah, semasa Ramadan, mungkin Anda akan mendapati banyak menara-menara bambu dengan lampu yang kelap-kelip pada malam hari. 

Memasuki sepertiga malam terakhir, menara-menara bambu itu akan semarak dengan musik. Mulai dari tetabuhan perkusi hingga bebunyian gong dan kolintang. Lalu, dari pucuk menara, juga terdengar sahutan orang-orang nan semarak. Mereka mengingatkan warga muslim untuk segera bangun, dan melaksanakan sahur.

Itulah ndengu-ndengu. Ia setara dengan tradisi ngarak beduk di masyarakat Betawi, ubrug-ubrug di Karawang, Jawa Barat, atau bahkan davuls di Turki. Ragam lema yang tercetak miring itu merujuk pada tradisi membangunkan sahur di masa Ramadan.

Inisiatif membangunkan sahur memang sudah tumbuh dalam masyarakat muslim setidaknya pada abad pertengahan. Cendekia muslim nan kesohor, Ibu Bathutah pernah melukiskan kebiasaan membangunkan sahur pada abad pertengahan di Arab Saudi. 

"Jika datang waktu sahur, muazin mengumumkan datangnya waktu sahur dari atas shauma'ah yang berada di sudut timur Masjidil Haram. Ia berdiri sembari mengingatkan penduduk Makkah akan datangnya waktu sahur,” menurut Ibnu Bathutah.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Uun M Saputra (@uun_saputra)

Ndengu-ndengu dalam budaya Bungku

Tradisi ndengu-ndengu di Morowali paling hidup di Kecamatan Bungku Tengah, yang dulunya memang berstatus sebagai pusat Kerajaan Bungku. Meski tak semeriah di Bungku Tengah, ndengu-ndengu juga masih bisa ditemukan di Bungku Timur, dan Bungku Barat.

Demi mendapat penggambaran lebih utuh tentang ndengu-ndengu, Tutura.Id mengobrol dengan Asgar Husen (45), seorang pemerhati budaya Bungku. Asgar merupakan anak dari juru tulis di Kerajaan Bungku—semasa kepemimpinan Raja Abdul Razak dan Raja Abdul Rabbie. Cerita soal ndengu-ndengu ini didapat dari Sang Ayah.

Menurut Asgar, ndengu-ndengu sejatinya lebih merujuk pada seperangkat alat musik berupa gong, gendang, dan kolintang. Konon Kerajaan Bungku pernah beroleh hadiah alat-alat musik itu dari Kerajaaan Gowa. Hadiah diberikan lantaran Kerajaan Bungku mau bersekutu dalam perang  pada abad 16.

“Penyebutan ndengu-ndengu itu muncul karena ketika ditabuh alat musik tersebut berdengung,” kata Asgar, saat mengobrol dengan Tutura.Id lewat aplikasi berbagi pesan, Selasa (11/4/2023).

Asgar menjelaskan bahwa ndengu-ndengu juga masih dipakai dalam upacara adat. “Kalau di upacara adat itu ketukannya berbeda. Untuk bulan Ramadan ada namanya irama gandantararaya yang artinya gendang-gendang membangunkan orang,” ujarnya.

Kini tradisi ndengu-ndengu saban puasa tak selalu pakai alat musik tradisional. Para remaja dan anak-anak biasa menggunakan perkakas rumah tangga hingga barang rongsokan untuk menghasilkan bebunyian. 

Para remaja dan anak-anak memang kebagian tugas untuk menjalankan tradisi membangunkan sahur ini. Mereka kerap menghabiskan waktu sejak salat tarawih hingga pengujung sahur di atas menara.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Uun M Saputra (@uun_saputra)

Adapun menara bambu biasanya sengaja dibangun berdekatan dengan masjid. Tingginya berkisar antara 5-20 meter. Di pucuk menara, ada pondokan papan berukuran sekitar 2 x 3 meter. Atapnya dibuat dari rumbia atau seng. 

“Ketinggiannya dibuat dengan mempertimbangkan luas daerah. Semakin luas sebuah daerah maka bisanya semakin tinggi juga menara ini,” tutur Asgar. Adapun durasi pembuatan menara, sebagaimana taksiran Asgar, bisa memakan waktu seminggu.

“Menara itu disebut rahasampela. Raha itu bangunan atau rumah. Dan sampela diartikan sebagai melihat kejauhan, jadi jika digabung rumah yang melihat dari kejauhan atau ketinggian,” ujar Asgar.

Sarjanawan, Esther Joy Velthoen, lewat disertasinya (dokumen pdf lihat di sini), menjelaskan bahwa tobungku (orang Bungku) kerap terlibat perang dan punya pamor sebagai bajak laut pada abad 18. Situasi macam itulah yang barangkali turut melatari lahirnya konstruksi berupa menara pengintai yang berfungsi untuk memantau situasi dan pergerakan lawan.

Asgar pun mengonfirmasi hal tersebut. “Saya dan ayah dulu pernah pergi ke benteng, dan masih mendapati bekas ndengu-ndengu yang dahulu digunakan sebagai media memantau musuh,” ujarnya

Semasa Kerajaan Bungku, kata Asgar, menara bambu ini juga dipakai untuk sarana komunikasi. Orang bisa saling bersahut-sahutan dari pucuk menara. Budaya inilah yang juga bisa bertahan sampai sekarang. Saat sahur tiba sara para remaja akan terdengar saling bersahutan dari atas menara. 

Selama kami mengobrol, Asgar terdengar bersemangat. Namun bukan berarti dirinya tak punya kegelisihan. Ia bilang bahwa cerita soal ndengu-ndengu ini sekarang lebih sering dituturkan, dan minim dituliskan dalam karya ilmiah nan serius. 

Ia berharap suatu saat ada yang mau menuliskan cerita ndengu-ndengu dalam sebuah buku, sehingga bukti dan dasar kesejarahannya lebih autentik, tak sekadar jadi cerita mulut ke mulut.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
7
Jatuh cinta
1
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Setumpuk masalah perusahaan nikel BTIIG di Morowali
Setumpuk masalah perusahaan nikel BTIIG di Morowali
BTIIG bikin kawasan industri pengolahan nikel di Bungku Barat. Berbagai masalah menerpa proyek tersebut. Dari…
TUTURA.ID - Mengenal Lenda dan Bayasa dalam tradisi Suku Kaili
Mengenal Lenda dan Bayasa dalam tradisi Suku Kaili
Bayasa merujuk pada posisinya sebagai penghubung antara manusia dan alam gaib. Sementara lenda merujuk pada…
TUTURA.ID - Sinergi Hilwa Humayrah bersama Culture Project
Sinergi Hilwa Humayrah bersama Culture Project
Mengurusi klub bola juga grup band Culture Project dan The Mangge. Demikian aktivitas yang hari-hari…
TUTURA.ID - Mengembangkan tradisi lisan agar tak lekas punah
Mengembangkan tradisi lisan agar tak lekas punah
Komunitas Seni Tadulako—Yayasan Tadulakota menggelar acara "Merangkai Kearifan Lisan Bumi Tadulako" sebagai upaya agar seni…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng