Setiap daerah di Indonesia memiliki kuliner khas. Tiap menu spesial ini punya cita rasa unik. Begitu pun kuliner khas dari Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Satu yang sering disebut ialah kaledo. Namun masih ada banyak kuliner khas Tanah Kaili yang wajib dan recommended buat dicicipi. Salah satunya, kudapan istimewa ini: tabaro dange.
Dalam bahasa Kaili, tabaro dange terdiri dari dua suku kata. Tabaro berarti sagu. Sedangkan dange merujuk pada alat masak berupa wajan kecil yang terbuat dari tanah liat.
Penggunaan wajan tanah liat ini juga memengaruhi penamaan makanan lainnya. Seperti rono dange, yang juga dimasak tanpa minyak dengan wajan jenis ini.
Tabaro dange sepintas juga mirip dengan dange khas Makassar. Namun, yang membedakan, tabaro dange khas Kaili pakai sagu sebagai bahan utama. Penggunaan sagu sekaligus mengindikasikan bila Suku Kaili mengonsumsinya sebagai sumber karbohidrat pada keseharian di masa lampau.
Bentukan asli
Buku Tata Sajian Upacara Adat Suku Kaili (1990) terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah, pernah menuliskan resep pembuatan tabaro dange.
Resepi tersebut termuat pada bagian yang sama dengan hidangan adat lainnya seperti tovau nituunu (kambing dibakar), manu nituunu (ayam dibakar), dan cucuru (kue cucur). Tabaro dange dalam buku ini disebut dengan tabaro nidange.
Berdasarkan resep itu, tabaro dange bisa dibuat dari dua mangkok sagu, satu mangkok kelapa parut, dan garam secukupnya. Ketiga bahan dasar itu kemudian dicampur merata dan dimasak di atas wajan.
Staf Senior Museum Sulawesi Tengah, Iksam Djorimi, menyebut bahwa tabaro dange yang dikenal oleh Suku Kaili bisa pula ditemukan di wilayah Indonesia lain dengan sebutan berbeda.
“Di masyarakat Kaili memang dikenalnya dange saja, tapi pasti ada penamaan lain. Di setiap daerah kan berbeda-beda juga bahasa ibu atau bahasa daerahnya,” kata Iksam, kala ditemui di ruang kerjanya, Senin (31/10).
Modifikasi dengan isian
Resep dasar tabaro dange masih bertahan hingga kini. Meskipun pada perjalanannya telah dikonsumsi dengan beragam isian, yang bisa mengategorikannya ke makanan berat atau kudapan.
Bila isiannya berupa lauk dan berasa gurih, tabaro dange bisa jadi makanan berat (main course). Pada kategori ini isian paling umum berupa ikan rono dan suwiran ikan.
Ada pula isian manis. Lazimnya pakai gula merah. Bila diberi isian manis, tabaro dange bisa masuk kategori dessert alias kudapan.
Dewasa ini masih ada beberapa orang yang mengolah tabaro dange dengan cara tradisional. Seperti masih menggunakan alat parut tradisional yang disebut panggou untuk mendapatkan serutan kelapa.
Ulfiah (50) ialah salah satu dari kumpulan ina-ina penjual Tabaro Dange di Kota Palu yang masih mempratekan tradisi ini. Hampir tiap malam, Ulfiah berjualan di sekitar Pantai Talise, Kota Palu.
Tabaro dange jualannya dimasak dengan cara tradisional dan langsung di tempat. Tabaro dange memang baik dimakan selagi panas untuk menghindari sagu yang mengeras.
Pertama-tama, Ulfiah memasak campuran sagu plus kelapa di atas wajan yang disusun atas dan bawah. Peletakkan wajan itu bertujuan agar sagu matang sempurna.
Kemudian, campuran sagu dan kelapa yang sudah dimasak di atas wajan tersebut ditekan-tekan; lantas pada salah satu sisinya diberi isian ikan rono, ikan suwir, atau gula merah sesuai selera.
Perempuan yang berdomisili di Desa Kola-Kola, Banawa Tengah, Donggala ini mengungkapkan bahwa beberapa pelanggannya suka minta isian berbeda. Dia pun menyanggupinya. Dia sadar tiap orang punya selara berbeda. Variasi isian juga bisa memperkaya ragam tabaro dange.
“Biasa ada pembeli yang bawa sendiri pisang, atau bawa durian dampo ke sini. Jadi dorang mau saya masakkan campur di dange. Sesuai selera saja,” jelasnya sambil tersenyum.
Satu hal yang pasti bagi masyarakat Kaili, tabaro dange merupakan satu kudapan istimewa yang nikmat disantap selagi panas. Nikmat sekali, apalagi sambil memandang wajahmu. :)
tabaro dange kuliner kuliner palu kuliner tradisional suku kaili budaya Iksam Djorimi