“Dua nakapang atikku purangi sipakkaluq sinawa-nawani.”
“Ada dua kemungkinan bagi hatiku setelah kita saling menguatkan dan saling mengingatkan.”
Demikian bunyi syair dalam manuskrip kuno Bugis berjudul "Nyanyian Ketegasan" yang tertulis dalam aksara lontara.
Penulisan huruf latin dan terjemahannya ke Bahasa Indonesia dilakukan oleh Rama (19), alumni SMA Lab School Untad Palu.
Rama yang kini sedang menanti kesempatan berkuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menjadikan syair tadi salah satu favoritnya karena menurutnya sarat pesan mendalam.
Kebisaan mengunyah kalimat-kalimat yang tertulis dalam aksara Lontara Bugis diperoleh Rama hasil dari belajar secara autodidak.
Aksara lontara alias lontaraq, sebagian lagi menyebutnya aksara lontara baru, merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi.
Kata “lontara” berasal dari “lontar” dalam Bahasa Sanskerta yang artinya daun lontar, salah satu jenis palem. Sebutan lainnya pohon siwalan atau tal (Borassus flabellifer).
Daun lontar banyak dimanfaatkan sebagai bahan untuk menulis naskah sebelum kertas masuk ke tanah air. Sasando, alat musik tradisional dari Pulau Rote, juga berbahan baku lontar.
Lontara Bugis terdiri dari 23 aksara dasar (beda dengan Lontara Makassar yang hanya memuat 18 aksara dasar), penulisannya dari kiri ke kanan, dan secara tradisional ditulis tanpa spasi dengan tanda baca yang minimal.
Penggunaan aksara lontara di Sulawesi Selatan untuk mencatat banyak hal, mulai dari silsilah keluarga, kejadian sehari-hari, resep obat-obatan, kronik sejarah, hingga karya sastra.
Colliq Pujie yang menyalin ulang epos I La Galigo atau Sureq La Galigo pada abad ke-19 juga menggunakan aksara lontara.
Khusus Lontara Bugis, penggunaannya makin luas seiring pudarnya kekuasaan Kerajaan Gowa alias Kesultanan Makassar pada abad ke-17 M.
Kebanyakan juru tulis kala itu tak lagi menggunakan aksara Makassar untuk mencatat kejadian sehari-hari dan dokumen resmi, tapi beralih menggunakan aksara Bugis yang disebut “Lontara Baru”.
Awal menekuri Lontara Bugis
Harus diakui, pilihan Rama menekuri Lontara Bugis tidak seperti kebanyakan remaja seusianya. Menganggap masa lalu ketinggalan zaman.
Bahwa masa lampau selalu aktual. Sebab manusia tak pernah bisa dimengerti tanpa mengetahui akar sejarahnya. Mempelajari sejarah berarti belajar memahami masa kini.
Oleh karena itu, Rama bersedia meluangkan waktu untuk mempelajari manuskrip kuno yang menyimpan catatan sejarah, kebudayaan, dan kemajuan peradaban generasi terdahulu.
Kami bersua pemilik nama lengkap Moh. Rizki Ramadhani ini di Gedung Perpustakaan Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah, Selasa (23/5/2023).
Persentuhan awal Rama dengan huruf-huruf berbentuk segi empat (belah ketupat) alias sulapa' eppa wala suji ini terjadi sudah lama.
Kala itu ia masih berstatus siswa kelas lima sekolah dasar. Seorang kawan memberinya buku pelajaran bahasa Bugis-Makassar yang di dalamnya memuat aksara lontara.
Terdorong rasa penasaran, mulailah Rama mempelajari sendiri aksara tersebut. Maklum, mata pelajaran bahasa daerah Bugis yang mencakup kecakapan membaca dan menulis aksara lontara tidak diajarkan di Palu.
Memasuki bangku kelas tiga SMP pada 2019, ia mengulik lebih dalam perihal lontara dengan menekuri berbagai manuskrip kuno yang bertuliskan aksara Bugis.
Salah satunya dengan nimbrung bersama Komunitas Historia Sulawesi Tengah. Komunitas ini memberinya akses membaca teks berisi informasi Kerajaan Palu yang ditulis menggunakan aksara Bugis.
Awal masa pandemi Covid-19, Rama mencari situsweb daring untuk mencari tahu lebih lanjut tentang catatan peninggalan naskah kuno lainnya.
Perhatiannya terantuk pada sebuah koleksi digital perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, yang berjudul La Galigo.
Koleksi ini telah dikukuhkan oleh UNESCO, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB, sebagai “Memory of the World”.
“La Galigo adalah teks puitis yang bahasanya indah dan sulit. Berasal dari kira-kira abad ke-14. Isinya bersifat epik-mitologis dengan kualitas sastra yang tinggi. Ukuran seluruh karya ini diperkirakan 6000 halaman folio dan dapat dianggap sebagai karya sastra paling produktif di dunia,” demikian keterangan UNESCO melalui situsweb resminya.
Lantaran menggunakan bahasa dengan kualitas sastra yang tinggi itu, Rama mengaku kesulitan dalam menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia.
Keseruan membaca naskah kuno
Kegemaran mempelajari naskah Lontara Bugis membawa Rama terhubung dengan Kuran Puasa, penulis Kamus Bahasa Bugis-Indonesia.
Awalnya Rama menghubungi penulis yang sehari-hari berprofesi sebagai guru itu melalui aplikasi WhatsApp. Tujuannya untuk membeli kamus agar bisa lebih memahami arti aksara Lontara Bugis yang ada dalam berbagai manuskrip kuno.
Kuran Puasa hampir tak percaya yang menghubunginya seorang pelajar SMA. Terlebih lagi punya minat terhadap naskah-naskah kuno bertuliskan aksara Bugis. Sangat jarang ia menemukan anak muda punya etos seperti Rama.
Tanpa banyak menimbang, Kuran Puasa memberikan Kamus Bahasa Bugis-Indonesia untuk Rama secara gratis sebagai bekal belajar.
Sebenarnya Rama pernah berusaha menularkan kesukaannya menekuri Lontara Bugis kepada sesama temannya. “Ada satu temanku yang akhirnya mau belajar, tapi hanya sesaat. Tidak lanjut lagi belajarnya,” ungkapnya.
Lantaran itu pula Rama akhirnya tidak mengajak semua temannya. Ketimbang selalu menerima penolakan lantaran banyak yang tidak menaruh minat, lebih baik ia menghemat tenaga menekuni sendiri aksara Bugis.
Saat ini, Rama mengaku sedang gandrung membaca naskah Lontara Pabbura yang bisa diunduh melalui Perpustakaan Nasional Digital.
Naskah tersebut berisi tentang pengetahuan meramu obat-obatan dan mantra-mantra untuk mengobati penyakit. Selain itu, di dalamnya juga memuat ilmu persenjataan, pertanian hingga, pengetahuan yang bersifat magis.
Ada sensasi berbeda yang dirasakan Rama saat membaca naskah-naskah kuno. Salah satu keseruannya adalah menimbulkan imajinasi tentang pengetahuan orang pada zaman tersebut.
Maka tak heran jika Rama mengaku akan terus mempelajari sejarah dari catatan atau sumber aslinya langsung.
“Walaupun saya kuliah di jurusan lain nantinya, di manapun saya akan tetap belajar lontara,” pungkasnya.
aksara lontara Lontara Bugis Lontara Makassar La Galigo Sureq La Galigo manuskrip kuno karya sastra kebudayaan sejarah UNESCO