Sinergi Hilwa Humayrah bersama Culture Project
Penulis: Andi Baso Djaya | Publikasi: 11 Oktober 2022 - 10:16
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Sinergi Hilwa Humayrah bersama Culture Project
Hilwa Humayrah saat menyaksikan penampilan Culture Project di ajang Java Jazz Festival 2022 (Foto: Moh. Husain)

Mengenakan kaos merah koral bertuliskan “thanks insomnia” yang ditumpuk dengan kaos hitam lengan panjang sebagai alas, Hilwa Humayrah muncul di Sub Plaza, Jl. Dr Jl. Sam Ratulangi, Palu Timur, Sabtu (1/10/2022) malam. Wajahnya sedikit kusam.

Ia baru saja kelar mengawal pertandingan antara Persipal Babel United versus Putra Delta Sidoarjo yang berkesudahan 0-0 di Stadion Gawalise. Di klub tersebut ia menggawangi pos media officer. Pekerjaan yang dilakoninya sejak Agustus 2022. Mengawal produksi dan distribusi konten di media sosial jadi tanggung jawabnya.

“Sebenarnya tidak ada yang ribet urus klub bola. Ribetnya itu mengurusi medianya. Karena kami juga punya tanggung jawab untuk mengakomodir keinginan teman-teman wartawan dan fotografer mitra,” katanya sembari memperbaiki sedikit posisi jilbab hitam yang menutupi sebagian dahi. Kacamata putih berbingkai transparan hinggap di sana.

Bagi para penggemar grup musik Culture Project, atau yang aktif menyatroni gigs musik lokal, sosoknya pasti tak asing lagi. Hilwa senantiasa hadir, entah sibuk mondar-mandir di belakang panggung atau tergopoh lalu-lalang di depan pentas.

Walau mengaku sebagai penggemar musik, perempuan berumur 23 tahun ini tidak pernah menyangka roda nasib kini membawanya sebagai manajer sebuah band. Tak banyak—jika bukan satu-satunya—perempuan di Kota Palu ini yang berani ambil keputusan menangani segala keperluan band. Bukan hanya mengurusi satu, tapi kini dua band sekaligus termasuk The Mangge yang dipegangnya belakangan.

Perjalanannya sebagai manajer Culture Project bermula awal 2020. Usai memutuskan hengkang dari pekerjaan di salah satu event organizer, Hilwa dapat tawaran jadi manajer Culture Project menggantikan posisi Rachmad Ibrahim.

Tawaran serupa yang mampir setahun sebelumnya telah ia tolak. Hanya saja kali ini ajakan disampaikan langsung oleh sang gitaris sekaligus founder band Umariyadi Tangkilisan.

“Karena sudah tidak kerja di EO, tawarannya Om Adi saya terima. Waktu itu sembari menyelesaikan tugas akhir kuliahku di jurusan akuntansi,” ungkap alumni Universitas Tadulako angkatan 2017 ini.

Walaupun paham soal keuangan, manajerial, hingga pengauditan, menjadi manajer band adalah hal yang beda. Tidak ada sekolahannya. Ia kemudian belajar secara autodidak. Beberapa masukan soal mengelola sebuah band juga didapatkannya dari Adi Tangkilisan. Pengalaman juga berperan besar mengasah pengetahuannya.

Panggung pertama Culture Project yang menandai debut Hilwa sebagai manajer tercatat dalam acara “Kawan di Huntara” yang diselenggarakan Forum Sudutpandang. Lokasinya di pos pengungsian Jono Oge, Sigi, 20 Februari 2020. “Waktu itu saya menangis,” kenangnya.

Semula ia mengira tugasnya sebagai manajer band sekadar mengingatkan para personel untuk disiplin latihan, manggung, dan lain-lain. Ternyata urusan yang harus dihadapinya lebih kompleks dengan tanggung jawab lebih besar.

Alhasil belum genap setahun menangani Culture Project, Hilwa sempat terpikir untuk berhenti. “Kondisinya waktu itu berat sekali, mulai dari pandemi, harus menyelesaikan kuliah, dan mengurusi acaranya Culture Project yang independen tanpa bantuan sponsor. Pulang ke rumah selalu larut malam, menghadapi banyak kepala, itu semua bikin stres,” demikian ia mengenangkan.

Tambahan energi yang kemudian menguatkannya untuk bertahan menguar dari Culture Project. “Pokoknya entah kenapa saya merasa punya energi yang sama dengan band ini. Walaupun terkadang para personelnya menjengkelkan, tapi secara umum tidak terlalu sulit mengaturnya. Ha-ha-ha.”

Sekitar tiga tahun sudah Hilwa mendampingi perjalanan Adi Tangkilisan, Zhul Usman (vokalis), Ryan Patindjo (gitaris), Ayub Lapangandong (bassis), dan Cliff Mokosandi (drummer) menjajal berbagai pertunjukan, mulai dari panggung berskala kecil buatan komunitas hingga panggung Java Jazz Festival yang bertaraf internasional.

Berbagai tawaran manggung yang masuk kepadanya tak melulu kemudian disetujui atau tolak hanya karena perkara honor. “Kami sering, kok, tampil tanpa dibayar dalam acara-acara yang diselenggarakan komunitas. Contohnya waktu kami main di Sub Music Showcase yang berlangsung di Sub Plaza (29/6/2022). Waktu itu kami bersedia tampil tanpa dibayar karena kami mendukung UMKM yang ada di situ,” tegas Hilwa.

Sebagai orang yang menangani Culture Project, Hilwa mengibaratkan dirinya sebagai penjual daging. “Tapi ada saja yang datang mau beli tempe, misalnya. Kaget dong, dari segi harga juga rasa. Saya akhirnya berusaha merasionalkan alih-alih memahalkan nilai dari produk yang saya bawa ini dengan membuat berkas berisi profil band, karya-karya yang sudah rilis, juga riders,” jelasnya.

Pertimbangan utama dalam sebuah proses negosiasi menurutnya adalah etika kesantunan saat menjalin komunikasi. Hilwa cerita paling jengkel jika ada panitia acara yang mengundang langsung to the point menanyakan fee atau rate card.

Seharusnya awal komunikasi bermula dengan perkenalan dan penjelasan detail mengenai acara yang hendak dilaksanakan. Sebab dari penjelasan-penjelasan tersebut negosiasi kemudian bisa lebih enak berlangsung.

“Maksudnya supaya pihak-pihak yang mengundang Culture Project bisa lebih mengenal kami, kemudian jadi memahami alasan nilai-nilai yang ada di dalam kontrak,” sambungnya.

Lalu pertimbangan berikutnya terkait rasionalitas waktu acara. Sebab merujuk pengalamannya, butuh persiapan matang untuk menghadirkan sebuah penampilan yang bagus. Untuk mencapai itu tentu saja butuh alokasi waktu yang juga tidak pendek alias jangan mendadak.

Belum lagi ia juga harus menyesuaikan jadwal antara manggung dengan aktivitas para personel yang terikat pekerjaan lain di luar urusan band. Maka tak jarang mereka melepas kesempatan tampil jika penyelenggara acara datang mengundang dengan waktu pementasan mepet.

Hilwa memujikan kinerja panitia Festival Danau Poso 2022 yang telah menjalin kesepakatan dengan pihaknya sekitar April atau Mei. “Padahal acaranya nanti Oktober. Jadi Culture Project punya waktu yang panjang untuk melakukan persiapan,” jelasnya.

Apresiasi juga diberikannya kepada sejumlah event organizer baru yang bertumbuh di Palu. “Panitia penyelenggara acara pensi di SMA menurutku malah banyak yang lebih profesional dalam memperlakukan talent,” ungkapnya.

Kini fokus Hilwa memastikan penggarapan album penuh perdana Culture Project kelar dalam waktu dekat. Menetasnya album itu tentu saja jadi pengobat rindu Samps, sapaan untuk para penggemar Culture Project.

Hal lain sekaligus menjawab sinisme beberapa penyelenggara acara yang ogah memenuhi tarif honor manggung Culture Project karena dianggap belum rilis album.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
0
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Kiprah perempuan politisi sebagai pimpinan parlemen di Sulteng
Kiprah perempuan politisi sebagai pimpinan parlemen di Sulteng
Puan-puan yang duduk di kursi parlemen jadi harapan mewujudkan terhapusnya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan…
TUTURA.ID - Surga telinga berhamburan di Festival Tende
Surga telinga berhamburan di Festival Tende
Untuk pertama kalinya "tende" menjadi tajuk utama dalam sebuah festival. Seperti namanya, surga telinga berhamburan…
TUTURA.ID - Jalan panjang Gedung Juang berpredikat status cagar budaya
Jalan panjang Gedung Juang berpredikat status cagar budaya
Ternyata hingga saat ini Kota Palu belum memiliki satu pun cagar budaya. Sejumlah objek baru…
TUTURA.ID - Daya pikat D'Masiv dan Dikta menguar di Esom Fest Vol. 2
Daya pikat D'Masiv dan Dikta menguar di Esom Fest Vol. 2
Untuk kedua kalinya Enin Store menghelat Esom Fest di Lapangan Sriti Convention Hall. Kali ini…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng