Qonita Kurnia Anjani mengajak kaum perempuan memaksimalkan potensi diri
Penulis: Juenita Vanka | Publikasi: 8 Maret 2023 - 13:48
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Qonita Kurnia Anjani mengajak kaum perempuan memaksimalkan potensi diri
Niat Qonita Kurnia Anjani kuliah di luar negeri awalnya sempat dipertanyakan keluarga besar (Sumber: Istimewa)

Nama Qonita Kurnia Anjani (28) yang meraih gelar doktor di Queen’s University Belfast, Irlandia Utara, pada usia 25 tahun menyiratkan betapa hasil tak mengkhianati kerja keras dan ketulusan.

Alumni Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin angkatan 2012 itu beroleh Ph.D. dengan waktu tempuh pendidikan hanya dua tahun tiga bulan.

Normalnya studi untuk meraih gelar pendidikan tertinggi di dunia akademik itu memakan waktu tiga tahun.

Penelitiannya di bidang microneedle (teknologi jarum suntik dengan ukuran mikron). Tepatnya berjudul “Development of Antibiotic Microneedle Delivery Systems for Tuberculosis Treatment”.

Teknologi jarum suntik ukuran sangat kecil tersebut menjadikan formulasi obat bisa langsung menembus lapisan kulit dan menghantarkan partikel kecil tanpa menimbulkan rasa sakit.

Inspirasinya berasal dari pengalaman ketika melihat ibunya kesusahan mengonsumsi obat. Melalui sumbangsihnya tersebut, Qonita berharap ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam bidang kesehatan, terutama para penderita tuberkolosis alias TBC yang angkanya tergolong tinggi di tanah air.

Kepada Tutura.Id yang menghubunginya melalui aplikasi Google Meet, Sabtu (26/3/2023) malam WITA, perempuan berdarah Palu ini menceritakan banyak hal, termasuk pandangannya terhadap stereotipe yang dilekatkan kepada perempuan dalam rangka memperingati International Women's Day (Hari Perempuan Internasional). Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana Qonita bisa sampai pada tahap ini?

Berangkat dari keresahan pribadi sebenarnya.  Mama saya itu dari dulu susah minum obat. Kalau minum tablet harus dihancurkan, begitu juga dengan kapsul.

Dia punya masalah saat menelan. Sedangkan obat itu tidak semua bisa dihancurkan atau dibuka kapsulnya karena pasti ada tujuannya dibikin seperti itu. Nah, dari situ kepikiran berbuat sesuatu. Menurutku kayaknya ada sesuatu yang bisa diubah.

Akhirnya saya putuskan kuliah S1 ambil jurusan farmasi. Setelah itu saya sudah punya visi untuk tidak melanjutkan dulu pendidikan ke jenjang selanjutnya. Mau riset-riset terlebih dahulu.

Saya coba cari beberapa profesor yang memang punya keahlian dalam bidang yang saya mau. Lebih advance lagi yang memang fokusnya di bidang microneedle.

Apa itu microneedle?

Sederhananya itu seperti koyo. Tapi kalau koyo biasa itu kaya tempelan, stiker begitu. Nah, microneedle itu dia juga semacam koyo, tapi ada jarum-jarum kecil di bawahnya. Fungsinya supaya obat-obatan bisa dengan mudah tersalurkan ke dalam tubuh.

Apa perbedaan yang paling menonjol antara kuliah di Indonesia dan di Belfast?

Saya hingga SMP di Palu. Lanjut SMA di Gorontalo. Habis itu kuliah S1 di Unhas, Makassar. Lulus dari situ melanjutkan ke Belfast untuk ambil master, tapi saya loncati, langsung lanjut ke Ph.D.

Kalau mau dibandingkan dengan di Indonesia, fasilitas untuk riset di sini jauh lebih lengkap. Jauh lebih memadai. Mungkin pendanaan untuk riset di negara maju lebih banyak daripada di Indonesia.

Misalnya kalau di Indonesia itu kita bisa bikin riset 1-10, sementara di sini kita bisa melakukan riset 1-100. Seperti itu gambaran kapasitasnya.

Terus budaya akademik dan ekosistem di sini lebih settle. Budaya kita di Indonesia, kan, biasanya mahasiswa dengan dosen itu harus tunduk. Sopan santunnya dijaga.

Berbeda kalau di sini. Contohnya supervisorku di sini yang enggan dipanggil profesor. Mereka lebih suka dipanggil namanya.

Kalau punya masalah atau kendala, bisa langsung ketuk pintu profesornya, tidak perlu lagi harus menunggu janjian.

Urusan kesehatan mental di sini juga lebih diperhatikan. Saya, kan, staf di sini. Punya jatah liburan 40 hari. Jadi, kalau hingga akhir tahun belum ambil jatah liburan, kita pasti dipanggil terus ditanya kenapa kerja terus.

Mengalami culture shock juga waktu pertama kuliah di luar negeri?

Hal bikin syok itu cuacanya. Kalau di Palu rasanya kayak matahari itu satu untuk satu orang, tapi kalau di sini walaupun summer tetap saja dingin. Suhu paling panas 29℃. Kalau musim dingin biasanya sampai -15℃ sampai -10℃.

Soal makanan juga. Biasanya kita gampang cari makanan. Ada bakso dan gorengan. Yah, walaupun begitu manusia kan punya kemampuan untuk beradaptasi. Jadi semuanya cukup disyukuri saja. Ha-ha-ha.

Apa makanan khas Palu yang Qonita rindukan?

Ikan, sih. Kalau di Palu, kan, banyak ikan. Mau makan tinggal main tunjuk saja. Sementara ikan di sini sudah mahal, enggak segar lagi.  

Kalaupun ada ikan, pasti salmon. Sedangkan lidahku ini bukan ikan salmon yang cocok. Jadi rindu saja kalau lihat orang posting makan ikan bakar.

Kenapa memilih fokus penelitian untuk penderita Tuberkulosis (TBC)?

Penyakit TBC itu kalau di negara-negara maju sudah tidak ada. Di Inggris, misalnya, angkanya sudah nol.

Sementara di Indonesia angkanya masih sangat tinggi. Tingkat kematian karena TBC juga hingga 1000-an orang per tahun.

Nah, saya berpikir meneliti microneedle karena orang-orang yang punya penyakit TBC itu harus rutin berobat enam bulan nonstop.

Mereka setidaknya juga harus mengonsumsi sekitar empat butir obat setiap hari. Dan itu pasti tidak enak.

Ke depan harapannya mereka tidak perlu lagi minum obat, tapi cukup dengan menggunakan patch microneedle itu. Karena pasien biasanya sampai diikat untuk sekadar minum obat ini. Saya sedih sekali tiap melihat itu.

Kok bisa loncat langsung ambil gelar ke Ph.D. tanpa Magister?

Ini sebetulnya termasuk kasus langka. Mungkin saya yang pertama di kampus ini. Saya berangkat lanjut ke jenjang S2 menggunakan beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Ambil program Master by Research.

Jadi saya tidak mengikuti proses belajar di kelas, benar-benar terjun langsung di lab setiap hari.

Setelah mengumpulkan laporan dari progres penelitianku, profesor yang jadi pengawas utamaku bilang kalau penelitianku ini cocoknya untuk mahasiswa Ph.D.

Kebetulan semua mahasiswa bimbingannya itu S3 alias Ph.D. atau Post-Doctoral.

Dia bersikeras supaya saya mencoba ke Ph.D. Banyak hal sebenarnya yang saya khawatirkan kalau menerima tawaran tersebut. Mulai dari urusan dengan LPDP, visa, hingga biaya hidup selama di sini. Soalnya saya hanya dibiayai selama dua tahun.

Tapi supervisorku yakin saya bisa lulus sebelum visaku habis. Dia juga bersedia menanggung biaya SPP hingga saya selesai.

Syaratnya saya harus menandatangani sesuatu yang isinya kalau saya tidak selesai tepat waktu, maka saya akan pulang tanpa gelar sama sekali.

Singkat cerita saya akhirnya lulus tepat waktu. Jadi kalau ada yang tanya bagaimana perasaannya jadi Doktor umur 25, saya hanya bisa tarik nafas dan bilang jangan berani coba-coba. Ha-ha-ha.

Terkait stereotipe yang dilekatkan kepada perempuan, khususnya dalam dunia pendidikan, bagaimana Qonita menanggapinya?

Niatku mau lanjut kuliah di Inggris juga sempat dipertanyakan sama keluarga besar. Soalnya jauh, kan. Mereka bilang, “Kau ini anak cewek. Tinggalkan terus orang tua.” Biasalah keluarga besar punya banyak larangan.

Sedangkan inner circle biasanya justru mendukung. Saya cuma senyum menanggapinya karena selama orang tua mendukung saya tetap lanjut.

Padahal untuk menciptakan generasi yang gemilang itu semuanya bermula dari perempuan. Perempuan nantinya akan jadi madrasah pertama anak.

Nah, bagaimana kita bisa jadi madrasah pertama anak, menciptakan generasi yang luar biasa, kalau kualitas kita standar saja?

Tapi ini bukan tolok ukur kalau saya sekolahnya tinggi dan ibu-ibu rumah tangga itu di bawah saya. Maksudku tidak begitu.

Ini sebenarnya kembali ke persoalan memilih jalan hidup masing-masing. Ibu-ibu rumah tangga yang memilih full time di rumah juga perempuan hebat.

Kita sebagai perempuan tidak boleh saling merendahkan dan menganggap pilihan kita lebih benar dari yang lain.

Di dunia scientist juga sama. Makanya sekarang ini banyak sekali didengungkan “Woman in science. World need science. Science need Woman”.

Sebenarnya di belahan dunia mana pun ketakutan untuk didominasi oleh perempuan itu banyak terjadi.

Padahal sebenarnya kita ini hanya ingin memaksimalkan kemampuan yang ada agar bisa juga bersaing. Juga mendapat tempat yang selayaknya tanpa ada batasan dari stereotipe itu.

Tidak ada penelitian yang menulis bahwa kemampuan intelektual perempuan lebih rendah daripada laki-laki.

Kalau nanti Qonita sudah menyelesaikan Post-Doctoral, apa yang ingin dilakukan setelah pulang ke tanah air, khususnya Kota Palu?

Kalau misalnya saya balik ke Indonesia, dan balik ke Palu, saya bersedia dipanggil atau diajak diskusi dan membagikan apa yang saya punya kepada orang-orang di Palu, kepada mahasiswa di Untad.

Jadi, mungkin saya akan mencari ide-ide penelitian yang bisa saya bagikan terkait teknologi microneedle ini untuk orang Palu. Semoga berguna bagi masyarakat Palu.

Punya saran atau pesan sama teman-teman di Palu yang terinspirasi ingin mengikuti jejak Qonita?

Keluar dari zona nyaman. Itu kunci utama saya. Karena menurutku keluar dari zona nyaman itu membentuk kita jadi orang. Jadi pribadi yang lebih kuat, pribadi yang mampu menyelesaikan masalah-masalah.

Sama halnya ketika kita memilih untuk ke luar negeri, kita tidak akan tahu dan bisa prediksi apa yang akan terjadi.

Tapi, balik lagi ke tujuannya. Kalau misal hanya melihat dari sisi kerennya lantaran bisa posting-posting di Instagram, butuh validasi dari orang, sebaiknya jangan.

Tanamkan kalau tujuan kita keluar dari zona nyaman untuk memaksimalkan kemampuan.

Kalau di Indonesia saja merasa sudah cukup memadai, stay di Indonesia juga tidak apa-apa kok. Indonesia juga punya banyak kampus yang keren dan mumpuni.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
9
Jatuh cinta
8
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
1
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Menanti penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca alias hujan buatan di Sulteng
Menanti penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca alias hujan buatan di Sulteng
Beragam ikhtiar dilakukan untuk menurunkan hujan saat musim kemarau panjang seperti ini. Salah satunya menggunakan…
TUTURA.ID - Puan pengemudi ojek daring rentan jadi korban diskriminasi dan pelecehan
Puan pengemudi ojek daring rentan jadi korban diskriminasi dan pelecehan
Echy Abigail alias Mami dan Susanti berbagi kisah sebagai perempuan yang berprofesi menjadi pengemudi ojek…
TUTURA.ID - Pound fit jadi pilihan menghilangkan stres
Pound fit jadi pilihan menghilangkan stres
Olahraga yang termasuk kardio ini berkembang pesat beberapa tahun belakangan. Hadir di Palu sejak 2021.…
TUTURA.ID - Jangan usil tanya pasutri baru kapan punya anak
Jangan usil tanya pasutri baru kapan punya anak
Banyak orang enteng saja melayangkan pertanyaan kepada pasutri muda kapan punya anak. Tanpa sadar pertanyaan…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng