Menjelang sore di salah satu sudut menuju pesisir pantai Kelurahan Tanjung Batu, Donggala, raungan suara perahu nelayan plus suara mobil bak terbuka bermuatan ikan bercampur aduk.
Tak kalah ramai suara interaksi antara orang-orang yang ada di situ. Kawasan yang saya datangi ini memang menjadi tempat kapal nelayan berlabuh.
Beberapa meter dari pusat keriuhan tadi, berdiri tiga bangunan berbanjar yang persis bersemuka dengan bibir pantai dan permukiman warga pesisir.
Menurut keterangan sejumlah warga, bangunan-bangunan yang berdiri sejak 1913 tersebut dulunya gudang penyimpanan hasil alam berupa kopra peninggalan zaman Belanda. Atapnya beralaskan seng dan berbentuk setengah silinder yang mirip hangar pesawat. Kondisinya mengenaskan tak terawat.
Sejak berabad lampau Donggala telah menjelma sebagai kota pelabuhan yang ramai lagi sibuk. Aktivitas perdagangan dan penumpang mondar-mandir dari tempat ini via kapal laut.
Merujuk “Sun Feng Hsiang Sung” yang merupakan buku sumber navigasi Tiongkok yang bertitimangsa 1430, Donggala telah menjadi salah satu tujuan perdagangan ke timur jauh yang dinamakan rute Chuan-Chou.
Kala itu para pedagang asal Tionghoa datang membawa keramik yang ditukarkan dengan kopra, damar, rotan, dan kayu hitam.
Masuknya Belanda yang hendak mengontrol arus lalu lintas di perairan Selebes membuat posisi Donggala makin strategis. Musabab letaknya di tengah antara Makassar dan Manado.
Selain tiga gudang kopra mirip hangar pesawat tadi, masih ada pula bangunan peninggalan Belanda lainnya yang tersisa. Sekarang menjadi Kantor Pusat Koperasi Kopra Daerah (PKKD) Donggala.
Gedung ini dibangun sejak 1940. Keberadaan gudang PKKD merupakan bukti pesatnya perdagangan kopra di Sulawesi Tengah pada masa itu. Hal tersebut terjadi seiring gejolak industrialisasi besar-besaran yang memaksa Belanda mengalihkan ekspansinya ke luar Jawa.
Coprafonds alias gudang kopra milik Belanda itu juga saksi bisu saat beberapa kapal perang milik pemerintah RI akhirnya karam terkena bombadir pesawat bomber Permesta yang diterbangkan Allan Pope, pilot yang bekerja untuk CIA, badan intelijen Amerika Serikat.
Sebenarnya ada bangunan yang lebih tua lagi. Letaknya di Gunung Bale. Pembangunannya rampung sekira tahun 1905 untuk hunian Asisten Residen yang memerintah Afdeling Donggala saat masa kolonial. Bentuknya telah berubah drastis karena difungsikan sebagai rumah dinas wakil bupati Donggala.
Kini wajah Donggala dengan segala bangunan arsitektur peninggalan zaman kolonialisme nyaris sudah tak tampak dan mulai terlupakan. Beberapa jejak yang masih bertahan terlihat makin ringkih termakan usia. Tersisa hanya cerita kejayaan masa lampau.
Padahal jika saja ada usaha preservasi, konservasi, dan renovasi terhadap sejumlah bangunan bersejarah yang ada di Donggala, pemerintah daerah setempat bisa mengembangkannya jadi objek pariwisata laiknya Kawasan Kota Tua Jakarta.
Bangunan tua peninggalan Belanda lainnya di kabupaten ini adalah sebuah mercusuar yang menjulang sekitar 25 meter. Letaknya di ketinggian sebuah bukit. Jaraknya tak jauh dari tempat wisata Tanjung Karang.
Menara suar yang jadi saksi bisu navigasi maritim di ujung Teluk Palu ini pernah menjadi bangunan penting pada masa lalu. Segala lalu lintas kapal yang datang dan pergi meninggalkan Pelabuhan Donggala diawasi dari menara ini.
Selain itu, terdapat sebuah rumah jaga yang dibangun bersamaan dengan didirikannya mercusuar. Sejak dibangun dan dioperasikan pada tahun 1902, kondisinya masih terawat. Terlebih fungsinya masih terus berguna hingga saat ini.
Kini mercusuar tersebut berada dibawah kontrol Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Distrik Kelas I Bitung Kemenhub.
Berikutnya kami menuju Pantai Talise. Jauh sebelum adanya Pelabuhan Pantoloan maupun Pelabuhan Penyeberangan Taipa, sebuah dermaga laut telah ada di dekat pusat Kota Palu kini.
Dermaga Limbou yang terletak di Kelurahan Talise, Palu Timur, adalah bukti dari awal akses transportasi laut pada masa kolonial. Berdiri sejak tahun 1920, kawasan tersebut sempat hilang ditimbun dan jadi jalan dan pusat keramaian, sebelum akhirnya bencana 2018 menerjang Kota Palu dan sekitarnya membuat peninggalan tersebut muncul kembali.
Namun, kini peninggalan tersebut telah hilang tak bersisa karena dicuri oleh oknum tak bertanggungjawab. Kita hanya bisa menikmati peninggalan tersebut melalui dokumentasi yang tersebar di dunia maya.
Masih di Kota Palu, berikutnya kami menuju sebuah tempat di sisi barat kota. Suasana rindang pohon menyambut kedatangan kami di tempat ini.
Soemoer Yoega merupakan sebuah bak air minum yang telah ada sejak tahun 1929. Peninggalan tersebut kini masuk dalam wilayah kelurahan Donggala Kodi, Kecamatan Ulujadi. Kondisi sumur tersebut ternyata masih terjaga, bahkan masih menyuplai air bagi beberapa warga sekitar.
Tak hanya itu, berdampingan pula sebuah kolam renang bernama Soemoer Koeloe peninggalan Belanda yang tak jauh dari bak air minum tersebut. Namun kondisinya sangat memprihatinkan. Semak belukar tumbuh liar di dalamnya. Padahal, masih tampak jelas bentuk dan pondasi bangunan tersebut.
Langkah kami selanjutnya berakhir di sebuah gedung Kontrolir Palu, pejabat birokrasi Hindia Belanda. Gedung Juang, demikian kita mengenal salah satu gedung tua bekas peninggalan kolonial Belanda yang bersemuka dengan Taman Nasional Bundaran Hasanuddin.
Pemerintahan kolonial dulu membayangkan wilayah di sekitar kawasan Gedung Juang sebagai pusat pemerintahan.
Gedung berkelir putih ini usianya nyaris seabad. Sejak dibangun tahun 1924, kini kondisinya memprihatinkan, gedung ini tak lagi memperlihatkan magisnya.
Padahal, peninggalan ini menjadi saksi sejarah banyak peristiwa, termasuk momen bergabungnya kerajaan-kerajaan di Lembah Palu dan sekitarnya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
bangunan bersejarah peninggalan Belanda cagar budaya Gedung Juang gudang kopra Donggala sejarah