Igor Saykoji: Mengemas budaya Poso dengan warna kekinian
Penulis: Moh Rifky | Publikasi: 25 Oktober 2022 - 12:11
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Igor Saykoji: Mengemas budaya Poso dengan warna kekinian
Igor Saykoji (tengah) saat tampil bersama Ana Timur pada malam penutupan Festival Danau Poso (22/10). - (Foto: Redia Krisdayanto)

Orang-orang lebih mengenalnya sebagai Saykoji atau Igor Saykoji. Itu nama panggungnya, dan mungkin tak banyak yang paham nama aslinya: Ignatius Rosoinaya Penyami.

Marga di belakang namanya menunjukkan akarnya pada Poso. “Darah saya Poso,” begitu Igor melukiskan akar etniknya.

Tak heran bila Igor bilang tampil di Festival Danau Poso 2022 jadi kebanggaan baginya. Sudah sebelas tahun Igor tak menginjakkan kaki di tanah leluhurnya itu. “Manggung di Festival Danau Poso jadi kesempatan luar biasa,” katanya.

Igor punya pamor sebagai salah satu rapper paling prominen di generasinya—setelah era Iwa K.

Namanya mulai dikenal publik lewat lagu “So What Gitu Loh?” pada medio 2006. Lalu ada "Online", lagu hitnya yang barangkali layak diajukan sebagai tembang paling cemerlang dalam merekam fenomena booming internet dan medsos di Indonesia pada dekade pertama abad milenium.   

Tutura.Id berkesempatan tukar cerita dengan Igor di lokasi acara FDP 2022, Pamona Pusalemba, Tentena, Poso, Sulawesi Tengah. Kami berbincang selama lebih kurang 20 menit, sebelum dirinya melakukan checksound, Sabtu siang (22/10). 

Rapper berusia 39 tahun itu jadi penampil utama di malam penutupan FDP 2022. Kolaborasinya bersama Etgard Kalengke (Ana Timur) dan Nineteen berhasil membangkitkan energi ribuan penonton yang memadati venue FDP 2022.

Belakangan, Igor memang sedang asyik mengulik kebudayaan Poso. Lewat kolaborasinya bersama Etgard Kalengke (Ana Timur), Igor rajin mengawinkan unsur budaya Poso dengan elemen-elemen musik kekinian.

Kolaborasi itu antara lain menelurkan “Kita Semua Bersaudara” yang sudah ditonton sejuta kali via YouTube. Mereka juga bikin “Seselero” yang jadi lagu tema dalam FDP 2022. 

Kami banyak berbincang soal kolaborasi tersebut beserta pertautan Igor dengan Poso. Berikut rangkuman percakapannya.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by FESTIVAL DANAU POSO (@festivaldanauposo2022)

Banyak orang tahu kalau Igor Saykoji itu orang Poso, tapi bisa dijelaskan detailnya bagaimana?

Orang tua saya asli Poso. Mama asli Tentena. Papa asli Taripa. Darah saya Poso. Cuman memang lahirnya bukan di sini, karena orang tua kerja di tempat lain dan besarnya juga di Jakarta.

Bagaimana bisa lahir di Balikpapan, Kalimantan Timur dan besar di Pulau Jawa?

Itu keputusan orang tua. Perusahaan tempat orang tua kerja yang ada di Balikpapan memindahkannya ke Jakarta. Jadi saya ikut ke sana. Tumbuh dan besarnya di Jakarta.

Sebagai orang yang tumbuh di Jakarta, apakah Igor masih terpapar budaya Poso?

Sesekali saja sebenarnya, lewat keluarga atau komunitas Poso di Jakarta. Di Jakarta ada namanya Ikatan Keluarga Poso (IKP) yang dalam setahun itu bisa kumpul-kumpul satu atau dua kali. 

Lalu bagaimana akhirnya bisa berkolaborasi dengan Etgard Kalengke dan Ana Timur*, serta memasukkan unsur budaya Poso dalam karya?

Etgard asli Tentena. Dia sudah lama berkarya dengan lagu berbahasa daerah. Kebetulan juga leader dari Ana Timur itu sepupu saya. Awalnya mereka bikin lagu yang fokus ke Indonesia Timur. 

Tapi makin ke sini, kita ngeliat juga talent dari Poso banyak yang bagus. Saya juga ketemu beberapa orang (talent). Dari situ kepikiran, kenapa enggak mulai bikin lagu yang fokus ke budaya Poso.

*) Ana Timur merupakan kumpulan musisi dari Indonesia bagian timur. Salah satu yang tergabung di dalamnya adalah Etgard Kalengke, seorang musisi asli Tentena, Poso. 

Bagaimana proses kreatif pembuatan musik kolaborasi dengan Etgard dan Ana Timur?

Lagu basic-nya dari Etgard. Karena dia lebih tahu lagu asli Poso. Nah, dari situ kita mulai remix dengan nuansa yang lebih masuk ke telinga anak-anak sekarang.

Jadi kita tetap mempertahankan budaya Poso–adat, bahasa, dan seni–tapi mengemasnya dengan warna yang anak muda bisa menikmati.

Apakah sebelumnya pernah datang ke FDP?

Kalau ikut Festival Danau Poso belum pernah. Saya terakhir ke Poso sebelas tahun yang lalu. Jadi manggung di Festival Danau Poso jadi kesempatan luar biasa. 

Kita juga bisa berbagi kepada mereka yang ada di sini (anak muda dan warga Poso). Anak-anak Poso yang keluar dari sini tetap berkarya. Kita sudah ke mana-mana, tapi kita enggak lupa asal kita tuh dari mana.

Bagaimana pandangan Igor tentang kondisi Poso sekarang? Ada stigma sebagai daerah konflik; di sisi lain Poso punya moto Sintuwu Maroso alias ikatan persaudaraan yang kuat…

Kalau sekarang senang karena sudah kondusif dan damai. Ini juga pertanda bahwa seni-budaya, dan nilai (kearifan) lokal kita lebih kuat daripada niat jahat--yang memecah belah. Budaya persaudaraan kita jauh lebih kuat. 

Mungkin kalau perhatikan lagu-lagu yang saya buat bareng Etgard semangat (persaudaraan) itu keliatan. Salah satunya “Kita Semua Bersaudara” yang sudah punya banyak views di YouTube. Itu lagu lama, tapi kita angkat lagi. Konteksnya bahwa anak-anak muda juga peduli untuk mengangkat semangat dan nilai-nilai kebersamaan orang Poso.

Bagaimana Igor melihat politik identitas yang kadang jadi jualan jelang pemilihan kepala daerah maupun presiden?

Bahas politik sepertinya terlalu pelik dan rumit. Tapi politik itu bagian dari mesin sebuah negara yang enggak bisa kita pungkiri. Nah, kalau saya melihatnya daripada fokus ke politik identitas, lebih baik kita fokus pada apa yang sama.

Mungkin seperti semangat lagu “Kita Semua Bersaudara”. Kita jangan liat perbedaannya dan jangan fokus pada orang-orang yang menggunakan itu. Mari kita fokus pada kebersamaan. 

Setelah rilis album mini True Colors awal tahun ini, ada rencana merilis album penuh dalam waktu dekat?

Tahun depan sih. Lagi dikumpulin materinya.

Mengapa jarak perilisan True Colors (2022) demikian jauh dengan album Musik Hati (2006)?

Karena saya memang jarang bikin album. Biasanya kan rilis single.

Kenapa lebih memilih rilis single? Apakah ini cara beradaptasi dengan tren industri musik?

Sebelum media sosial jadi kaya sekarang, memang saya fokusnya ke single. Saya independen, bukan di bawah label.

Kalau di bawah label, biasanya mereka pengen seorang artis rutin ngeluarin album, tapi saya memang dari dulu indie dan fokusnya bukan ke album. Fokusnya bikin karya saja.

Ada kecenderungan Igor bikin single kolaborasi dengan rapper lintas generasi. Kenapa itu jadi pilihan?

Kadang-kadang kita perlu melihat perspektif yang berbeda dari teman-teman yang lebih muda. Dan itu ngebuka pikiran saya supaya tetap fresh.

Siapa lima rapper baru yang jadi favorit Igor?

Banyak sebenarnya. Beberapa yang saya sebut mungkin enggak terlalu baru, cuman generasi setelah saya, seperti: Mukarakat, Tuan Tigabelas, RamenGvrl, Laze, dan Nineteen, pemenang #Kolaborabu Live Rap Battle, yang juga ikut saya tampil di Festival Danau Poso.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
3
Jatuh cinta
1
Lucu
0
Sedih
1
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Tradisi mo ma'ane Suku Tialo di Teluk Tomini yang kian redup
Tradisi mo ma'ane Suku Tialo di Teluk Tomini yang kian redup
Leluri mo ma’ane oleh suku Tialo di Teluk Tomini bukan hanya bermakna ungkapan rasa syukur, tapi…
TUTURA.ID - Rekor pun pecah, 7.000 inuyu tersaji di Festival Danau Poso 2022
Rekor pun pecah, 7.000 inuyu tersaji di Festival Danau Poso 2022
Sebanyak 7000 ruas nasi bambu yang menghabiskan 3,5 ton beras ketan dan 2.100 butir kelapa…
TUTURA.ID - Festival Titik Temu: Ikhtiar merintis perayaan akbar budaya urban di Palu
Festival Titik Temu: Ikhtiar merintis perayaan akbar budaya urban di Palu
Tutura.Id berbincang dengan Andika Pramulia, Co-Founder RnR Experience, penyelenggara Festival Titik Temu. 
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng