Rabu malam, 12 Juli 2023, puluhan orang berkumpul pada sebuah rumah di Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu. Sebuah tenda berdiri dengan kerangka bambu, dan berhias semacam janur kuning, jadi pertanda bahwa malam itu ada momen tak biasa.
Saat para tetamu memasuki tenda, beras kuning mulai dilemparkan sebagai tanda penyambutan. Beriring dengan itu, lantunan syair berkumandang. Konon syair-syair itu menyebut nama-nama sosok tak kasat mata. Roh-roh para leluhur, dan penghuni alam gaib.
Puluhan orang kemudian mulai duduk melingkar pada satu titik di dalam tenda. Seorang lelaki paruh bayah tampak mengepalai lingkaran tersebut. Pada malam itu, ia menjadi Tadulako, seseorang yang memimpin ritual adat.
Sesaat setelah ritual dimulai, seorang perempuan yang berusia sekitar 30-an tiba-tiba mulai berteriak, dan kejang-kejang. Perempuan itu pakai baju tradisional berwarna merah, dan duduk persis di sebelah Sang Tadulako.
Seketika, perempuan itu menyambar kain kerudung penutup kepalanya. Ia lantas memasang kembali kain tersebut, kali ini modelnya digulung, dan diikat di kepala. Ia sedang dalam posisi trans alias kerasukan roh gaib. Konon roh yang masuk seorang lelaki.
Situasi trans itu lantas berjangkit. Seorang lelaki paruh baya tiba-tiba melompat, dan tak sadarkan diri. Sejurus kemudian, ia kembali sadar tetapi tampil seperti sosok baru.
Ia tiba-tiba mengambil lonceng dan guma (sejenis parang) lalu mengikat di pinggangnya. Lelaki itu juga mengunyah pinang dan sirih yang memang sudah disiapkan di dalam lingkaran.
Di sisi lain, histeria massal terjadi, setidaknya lima orang perempuan paruh baya mengalami kejang-kejang massal, dan berteriak-teriak.
***
Itulah satu momen ritual adat baliore. Kadang juga disebut balane. Jurnal Bahasantodea (Vol 4/No3, 2016), terbitan Program Pascasarjana Universitas Tadulako, pernah memuat sebuah riset yang menjelaskan tentang baliore.
Dalam tulisan itu terjelaskan bahwa baliore terdiri dari dua kata yaitu “bali” yaitu lawan, dan “ore” artinya menaikkan atau meninggikan. Secara umum, baliore bisa diartikan dengan meninggikan suara nyanyian alias mantra (gane) untuk melawan iblis.
Lantunan syair memang mendominasi sebagian besar upacara baliore. Lantunan dengan suara yang ditinggikan itu bertujuan untuk memanggil arwah nenek moyang maupun penghuni alam gaib.
Ritual ini merupakan satu jenis atau turunan dari balia. Pada masa lampau, baliore ini menjadi sebuah upacara penyembuhan orang sakit, dan yang wajib pula diikuti oleh keluarganya. Namun, upacara baliore kali ini tidak dimaksudkan sebagai penyembuhan.
Setidaknya demikian penjelasan dari Herman, pamong budaya dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu. “Adat ini bukan untuk penyembuhan tetapi permohonan doa agar diberikan kekuatan dan dijauhkan dari kejahatan,” ucap Herman. Ia jadi semacam pemandu bagi kami pada malam itu.
Herman menjelaskan bahwa kegiatan ini memang sudah lama absen. Ada kerinduan warga untuk menghadirkannya kembali. Warga pun mengorganisir sendiri upacara adat di Kelurahan Duyu tersebut. “Kegiatan ini juga dimaksud untuk memunculkan kembali ritual adat,” katanya.
Menurut Herman, upacara yang kami lihat pada malam itu merupakan pelaksanaan malam pertama. Ritual ini masih akan berjalan hingga dua malam setelahnya, tetapi sekadar melantunkan puji-pujian saja.
“Dalam mantra itu juga ada ungkapan syukur, dan terima kasih atas nikmat yang diberikan Yang Maha Kuasa,” katanya.
Jelang tengah malam, lantunan mantra malah kian nyaring. Di sisi lain, mereka yang mengalami situasi trans berangsur-angsur mulai kembali penuh kesadarannya.
Orang-orang pun bersalaman. Suasana haru akibat kerinduan atas baliore juga tergambar pada pengujung acara itu. Beberapa orang terlihat meneteskan air mata rindu pada upacara baliore.
Anggra Yusuf turut menyumbang cerita foto untuk tulisan ini.