Nety berdiri dan memulai kisah pilunya. Dia mengaku kehilangan suami dan adiknya. Kejadian itu berlatar belakang konflik Poso pada tahun 2000-an silam.
Sebulan kemudian jasad suaminya ditemukan dalam karung. Hanya tingga tulang-belulang. Pakaian yang tersisa menjadi petunjuk atas identitasnya. Sementaranya adiknya tak ada kabar.
Dengan lirih Nety bercerita, sembari mengingat kembali tragedi kemanusiaan yang menimpa keluarganya itu.
"Cukup kami saja yang jadi korban. Jangan lagi adik-adik generasi selanjutnya. Karena itu bantu kami berjuang bersama-sama," kata Nety mengakhiri ceritanya.
Ambolai Yowa punya cerita lain. Sebagai penyintas tragedi kemanusiaan 1965/1966 di Sulawesi Tengah, dia memberanikan diri menggali babak tergelap dalam hidupnya.
Pria paruh baya asal Desa Labuan Panimba itu mengaku dia dan dua anaknya menjadi bagian dari 1.200 orang korban peristiwa 1965/1966 di Sulawesi Tengah.
Sekitar 700 orang di antaranya harus melakukan kerja paksa untuk membangun fasilitas, sarana umum, dan gedung-gedung pemerintahan di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala.
Di Senin sore (18/09/23) itu, ruang Aula FISIP Universitas Tadulako tumpah dengan cerita tragedi kemanusiaan. Mengisi ruang diskusi bersama SKP-HAM bertema “Menulis Ulang Sejarah, Kebenaran, dan Keadilan atas Tragedi Kemanusiaan".
Jalannya diskusi dihadiri pula oleh Suciwati, istri mendiang Munir Said Thalib—tokoh aktivis HAM Indonesia. Bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Munir turut memberi perhatian terhadap penyintas HAM konflik Poso.
Suciati punya kesamaan kisah dengan Nety dan Ambolai karena hingga saat ini masih memperjuangkan keadilan atas kematian suaminya pada 7 September 2004.
Munir ditemukan tewas saat menumpangi pesawat Garuda Indonesia dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda. Ia dibunuh dengan cara diracuni menggunakan arsenik.
Saat Presiden Joko Widodo mengakui 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang pernah terjadi di Indonesia, tak ada kasus kematian Munir dalam lis tersebut.
"Negara tak pernah belajar dari kesalahannya sendiri. Tragedi Kanjuruhan, Kasus Rempang, Penembakan di Bandung, dan segala tragedi kemanusiaan yang melebar di Nusantara. Namun, sejarah itu tidak pernah ditulis. Seolah dilupakan," kritik Suciwati dalam diskusi.
Menulis ulang sejarah tragedi kemanusiaan
Peristiwa tewasnya Munir pada 7 September kemudian dicanangkan sebagai Hari Pembela HAM Indonesia. Menambah panjang daftar kasus pelanggaran hak asasi manusia yang mewarnai Bulan September, mulai dari pembantaian 1965-1966, tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, hingga aksi brutal aparat merespons unjuk rasa Reformasi Dikorupsi 2019. September Hitam.
Muhammad Fauzi, sejarawan dari Universitas Indonesia yang hadir dalam diskusi, mengatakan bahwa menulis sejarah sama saja dengan menuliskan trauma. Pun demikian, menulis kembali sejarah tentang tragedi kemanusiaan penting dan perlu dilakukan.
Zaki Yamani dari Amnesty Internasional Indonesia segendang sepenarian. Menurutnya tragedi kemanusian sebagai sejarah yang perlu dipelajari. Bukan hanya oleh para sejarawan dan aktivis HAM, tetapi bagi setiap orang.
Dia mengungkapkan di Gedung HDI Hive, Jakarta Pusat, pada 29 Agustus 2023, lebih dari 300 orang masyarakat sipil menandatangani deklarasi tentang urgensi melakukan penulisan ulang sejarah. Demi mengungkap kebenaran atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masa lalu.
"Untuk menemukan kebenaran dan keadilan, sejarah harus berperspektif terhadap korban. Agar menimbulkan empati tiap orang yang membacanya. Supaya kita tidak mengulangi keselahan yang sama. Seringkali sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah terkesan datar," tutur Zaky.
Dalam tataran lokal, ikhtiar menuliskan kembali sejarah tragedi kemanusiaan sudah mulai dilakukan. Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) telah menerbitkan buku-buku tentang tragedi kemanusiaan yang terjadi di Sulawesi Tengah. Salah satunya buku Menemukan Kembali Indonesia: Memahami 40 Tahun Kekerasan demi Memutus Rantai Impunitas.
Ketua SKP-HAM Palu Nurlalela Lamasituju mengatakan, dalam buku yang terbit perdana 2014 itu termuat data, fakta, serta kesaksian sejumlah korban pelanggaran HAM dan keluarganya yang mengalami penderitaan di Indonesia, termasuk di Kota Palu.
Tantangan penulisan
Menjadikan kisah tragedi kemanusiaan masa lalu sebagai bahan bacaan sejarah alternatif tentu saja tak mudah. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi, salah satunya keterbatasan sumber. Demikian dituturkan Haliadi Sadi, sejarawan dan akademisi dari Universitas Tadulako.
Haliadi mengaku telah menulis 25 judul buku sejarah lokal. Namun, hingga saat ini belum sekalipun dapat tawaran menulis sejarah tentang tragedi kemanusiaan yang terjadi di Sulteng.
Dia mencontohkan kasus penangkapan terhadap Ranginggamagi, magau alias raja yang memerintah Kerajaan Tatanga dari tahun 1895 hingga 1903.
Tentara Belanda menggunakan taktik culas berupa jebakan di Pasar Banawa, Donggala, saat malam hari. Setelah itu ia kemudian diasingkan ke Cilacap, Jawa Tengah. Jasadnya tak pernah dikembalikan dan ditemukan hingga saat ini.
"Jika kita melacak tragedi pembantaian di Sulawesi Tengah itu sangat banyak sekali. Historiografi kita seringkali mengarah ke sejarah sosial atau sejarah kebudayaan. Tragedi politik tak pernah dikelola dengan baik," ungkap Haliadi.
Salah satu alternatif mengungkap sejarah tragedi kemanusiaan, sambung Haliadi, bisa dengan memanfaatkan keterangan saksi mata dari yang pernah mengalami peristiwa tersebut.