Menuju enam bulan voting day Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), nama-nama para pasangan bakal calon sudah mulai mewarnai lini masa. Melalui poster-poster di sosial media, baliho di jalan-jalan, dan narasi-narasi yang bertebaran di berbagai media massa, para pasangan calon tampil dengan penuh percaya diri.
Ahmad Ali jadi salah satunya. Politisi Partai NasDem yang baru-baru ini memantapkan langkahnya maju dalam Pilgub Sulteng 2024 bersama Abdul Karim Aljufri. Banyak orang menantikan kepastian pasangan ini.
Hingga akhirnya meluncur penyataan langsung Ketua DPW Partai Gerindra Longki Djanggola, Senin (13/5/2024) malam. Isinya berupa pemberian mandat dari DPP kepada Abdul Karim, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra Sulawesi Tengah, untuk maju berpasangan dengan Ahmad Ali.
Banyak pihak memprediksi Pilgub Sulteng 2024 nanti akan lebih dinamis dibanding dua periode sebelumnya. Pesertanya bisa lebih dari tiga pasang. Hampir semua calon punya pengalaman di pemerintahan daerah menjadi pemimpin. Kecuali Ahmad Ali.
Jika dibandingkan dari beberapa bakal calon yang muncul, Ahmad Ali menjadi pembeda. Ia belum pernah menjabat kepala daerah. Beda dengan dua pasangan lainnya, Irwan Lapata dan Anwar Hafid yang masing-masing pernah menjadi bupati. Bahkan dua periode. Irwan di Sigi dan Anwar di Morowali.
Nah, sebagai pembeda, tentu kita perlu mengenal Ahmad Ali lebih dekat. Paling tidak, pemilih bisa mendapat referensi yang jelas tentang sosoknya.
Kader HMI, besar sebagai pengusaha
Ahmad Ali lahir di Wosu, Sulawesi Tengah, pada 16 Mei 1969. Sejak SD hingga SMA, bersekolah di kampungnya, Morowali. Memasuki usia kuliah, ia diterima dan melanjutkan studinya di Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, Palu. Ia lulus pada 1997.
Di kampus, ia tak hanya berkuliah. Ahmad Ali muda mengambil kesempatan belajar berorganisasi dengan bergabung bersama organisasi eksternal kampus, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kota Palu. Ia sempat menjadi pengurus.
Usai menamatkan kuliahnya, Ahmad Ali aktif sebagai pengusaha. Laman resmi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menuliskan suami Nilam Sari ini pernah menjabat sebagai direktur di sejumlah perusahaan, antara lain PT Graha Agro Utama, PT Graha Istika Utama, PT Graha Mining Utama, dan PT Tadulako Dirgantara Travel. Ia pun tercatat sebagai anggota pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) di Sulawesi Tengah.
Seperti kebanyakan pengusaha di Indonesia, Ahmad Ali memperluas pergaulannya hingga di lingkaran politik. Karier sebagai pengusaha, sepertinya akan menjadi lebih pas kalau dipadukan dengan karier politik. Pasti akan menjanjikan, kata sebagian orang.
View this post on Instagram
Nasihat ayahnya saat maju Pileg
Tak cukup berkarir sebagai pengusaha, Ahmad Ali merintis jalan politik pada pertengahan tahun 2000an. Sekalipun sebenarnya, ayahnya, Haji Sun, sempat memberikan peringatan.
Ia awalnya bergabung bersama Partai Golkar menjadi anggota Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu). Sayangnya ia hanya bertahan setahun di Golkar, dari 2005 hingga 2006.
Informasi yang beredar, Ahmad Ali keluar dari partai berlambang beringin tersebut lantaran tidak bisa mengimbangi irama politik yang terkesan cenderung berpandangan primordial.
Keluar dari Golkar, Ahmad Ali ikut kontestasi pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Moroawali melalui gerbong Partai Patriot, organisasi politik yang kelahirannya banyak mendapat sokongan dari kader-kader Pemuda Pancasila.
Ya, memang Ahmad Ali bukan orang baru di organisasi pemuda yang dibentuk rezim Orde Baru tersebut. Ia tercatat sebagai kader.
“Ingat, kamu anak dari orang keturunan, cukuplah jadi pengusaha, tidak usah terjun ke politik,” kenang Ahmad Ali mengutip nasihat ayahnya, ketika mau nyaleg pada 2009, seperti dituliskan Subandi Arya dalam blog Kompasiananya, 24 Juni 2015.
Nasihat ayahnya mungkin benar dengan segaa pertimbangan. Tapi fakta politik kitadi tanah air, banyak warga keturunan Tionghoa yang sukses menjadi politisi bahkan memimpin daerah.
Tidak puas dengan saran ayahnya, Ahmad Ali meminta nasihat ibunya, almarhumah Haja Sya’diah. “Nasihatnya sederhana. Cukup jadilah orang yang berguna bagi orang lain. Bila di politik itu kamu bisa berguna bagi orang banyak, lakukanlah,” kenang Ahmad Ali menirukan nasihat sang ibu.
Ahmad Ali sudah cukup dewasa, pengalamannya mumpuni menjadi pebisnis. Pergaulannya luas. Ia mencerna nasihat tersebut sebagai sinyal restu. Dari situ, ia pun memantapkan langkah politik.
Dengan kerja-kerja yang intens dan rapi, Ahmad Ali berhasil lolos menduduki kursi legislatif dan menjabat anggota DPRD Morowali periode 2009-2014. Selama menjabat, banyak yang bilang Ahmad Ali, atau sering dipanggil Ahmad Sun, konon tak menerima sepenuhnya gajinya sebagai wakil rakyat.
Pada tahun pertama dan kedua, ia rutin membagikan uang gajinya sebesar Rp10 Juta kepada para petugas masjid, imam, dan pegawai syara’. Juga tak lupa untuk pembangunan masjid.
Kekalahan pertama di panggung politik lokal
Pada masa tengah menjabat Anggota DPRD, memasuki tahun ketiga Ahmad Ali berhasrat menjadi bupati atas dorongan masyarakat. Pada tahun 2012, dengan segala potensi dan dukungan yang ia miliki, ayah dua anak ini memberanikan diri bertarung dalam Pilkada Morowali sebagai calon bupati.
Ali menggandeng Yakin Tumakaka sebagai wakil. Namun, jalan pasangan ini tak berjalan mulus. Mereka kalah dari pasangan Anwar Hafid-S U Marunduh.
Kalahnya Ahmad Ali di Pilgub Morowali membuat sebagian besar pendukungnya kecewa. Secara aturan, ia harus mengundurkan diri sebagai anggota dewan. Dan ini berdampak langsung pada orang-orang yang rutin mendapat gaji darinya.
“Waktu itu ketua dewan dan sekwan tidak bisa proses cepat pengunduran beliau (Ahmad Ali) untuk di PAW-kan, karena desakan masyarakat menolak. Masyarakat masih ingin mengambil gaji beliau untuk pembangunan rumah ibadah dan honor imam masjid,” kata salah satu rekannya di DPRD Morowali, Taslim, berdasarkan catatan Subandi.
View this post on Instagram
Gabung bersama Surya Paloh
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 2013, Ali keluar dari Partai Patriot dan bergabung dengan Partai NasDem besutan Surya Paloh. Waktu itu Nasdem sedang gencar mengampanyekan gerakan restorasi.
Mereka membutuhkan kader-kader progresif. Ahmad Ali, termasuk orang yang punya semangat perubahan. Ia pun bergabung dan diberi mandat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai NasDem Provinsi Sulawesi Tengah untuk masa jabatan 2013-2018.
Karier politik Ahmad Ali berlanjut. Tahun 2014, ia mengikuti pemilu anggota DPR RI dari Partai Nasdem, mewakili Dapil Sulawesi Tengah dengan nomor urut 1. Kerja-kerja lapangannya bersama kelompok progresif di Palu yang sebagian dari kalangan LSM berhasil mengantarkan Ahmad Ali melenggang ke Gedung Parlemen untuk masa jabatan 2014-2019. Ia dan tim berhasil mengantongi sekitar 8 persen suara dari total suara sah di dapilnya.
Irama dan nuansa politik di Nasdem sepertinya bikin betah Ahmad Ali. Mungkin terpengaruh dengan Surya Paloh, Ahmad Ali juga membangun media lokal yang berbasis di Palu.
Keberadaan media ini cukup mempengaruhi upaya-upaya kampanyenya di daerah, hingga kesuksesan berikutnya kembali ia raih pada Pemilu 2019. Tetap bersama Partai Nasdem, Ahmad Ali memperoleh 152.270 suara dari dapil Sulawesi Tengah. Ia tetap bertahan di Senayan sebagai legislator periode 2019-2024.
Selama periode ini, Ahmad Ali menjabat anggota Komisi III DPR RI yang membidangi isu hukum, hak asasi manusia (HAM), dan keamanan. Di internal partai, kariernya terus meroket.
Ahmad Ali, sejak November 2019 hingga saat ini, dipercaya sebagai Wakil Ketua Umum. Tak hanya itu, Ahmad Ali juga pernah menjabat sebagai Ketua Fraksi Nasdem di DPR RI sebelum digantikan oleh Roberth Rouw pada Februari 2022.
Prestasi lainnya yang tak kalah penting adalah, di bawah kepemimpinannya, Nasdem Sulteng berhasil mengantarkan Rusdy Mastura (Cudy) menjadi gubernur hingga saat ini. "Ahmad Ali bilang sama saya, Kak Cudy, maju gubernur. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan menghapuskan air mata saudara kita pengungsi. Hanya Kak Cudy yang punya hati," kata Rusdy Mastura kepada wartawan, 7 Januari 2020 silam.
Jadi headline Majalah Tempo
Seiring menanjaknya karier politik Ahmad Ali bersama Partai Nasdem di kancah politik nasional, ia juga tak lepas dari sorotan media. Sebuah laporan yang sempat menghebohkan publik Sulawesi Tengah dirilis Majalah Tempo edisi Januari 2022.
Tempo membuat headline cover depan dengan judul "Hutan Habis Nikel Binasa" yang menyoroti Wakil Ketua Partai Nasdem di balik Kisruh Tambang Nikel Sulawesi.
Ahmad Ali diduga dalam laporan tersebut mempunyai peran “memanfaatkan celah hukum” untuk meloloskan perizinan tambang di Sulawesi Tengah dan Tenggara.
Menanggapi itu, Ahmad Ali melayangkan surat ke redaksi Majalah Tempo pada 5 Februari 2022. Dalam hak jawabnya, Ahmad Ali menilai pemberitaan tersebut sangat tendensius dan bombastis.
"Saya menghargai niat baik Tempo dalam tulisan-tulisan tersebut sebagai bagian penting terhadap kontrol publik atas pelbagai masalah yang terjadi di masyarakat. Saya juga setuju isu deforestasi dan kerusakan lingkungan menjadi perhatian semua pihak. Namun saya menilai pemberitaan yang terkait dengan saya sangat bombastis, tendensius dan dapat menggiring opini publik," tegasnya dalam hak jawab.
Kekalahan kedua di Pileg 2024
Kekalahan bukan hal baru bagi para politisi. Ahmad Ali pun demikian. Kalah menang jadi sesuatu yang biasa. Ahmad Ali memandang itu secara wajar dan bijaksana. Ia mendapat tantangan dari partainya untuk maju Pileg 2024 di Dapil Jakarta 1 Jakarta Timur. Dapil yang kata banyak orang “dapil neraka”.
Banyak orang besar yang bertarung di sana. Ahmad Ali bersaing dengan Ario Bimo Nandito Ariotedjo, Wanda Hamidah, Ayu Azhari, Faldo Maldini, Buni Yani, Aiman Wicaksono, dan Yusuf Mansur.
Ketatnya persaingan di “dapil neraka” ini membuat Ahmad Ali harus meninggalkan kursi parlemen pada Oktober mendatang. Ia kalah dengan para pesaingnya. Total perolehan suaranya yang tercatat 56.364 menempatkannya di posisi sembilan. Hanya lebih tinggi sedikit dari perolehan Ario Bimo Nandito dari Golkar dengan 55.560 suara yang menempati urutan paling buncit dalam dapil.
View this post on Instagram
Apakah Ahmad Ali orang kaya?
Ini pertanyaan yang sering kali muncul dalam obrolan politik. Wajar dan sering juga menjadi patokan. Ada yang bilang, kalau seorang politikus yang mapan, dianggap sudah selesai dengan urusan pribadinya, tidak akan macam-macam ketika menjabat. Kecil peluang korupsinya. Meskipun belum bisa dipastikan korelasi antara kekayaan seseorang dengan perilaku korupsinya.
Satu hal perlu diingat, gerakan politik saat ini tanpa dukungan kekuatan logistik yang mumpuni rasanya panjang waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Ini bisa dibilang sudah menjadi hukum alam di era revolusi industri 4.0.
Sebab hanya sedikit dari sekian banyak gerakan berhasil dibangun menggunakan modal kecil. Hanya sedikit para politisi yang lolos dalam pilkada atau pileg dengan modal seadanya. Makanya banyak pendapat mengatakan kalau politik kita hight cost. Dan memang begitu adanya.
Mengetahui hal tersebut, Ahmad Ali sudah menyediakan modal sejak jauh hari. Sebagai orang dengan latar belakang pengusaha, tentu ia bukan warga kalangan menengah yang pas-pasan.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilaporkan pada 31 Desember 2022, Ahmad Ali memiliki harta kekayaan sebesar Rp132,5 miliar. Dalam catatan e-LHKPN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jumlah itu di antaranya terdiri dari 47 bidang tanah dan bangunan yang tersebar di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala, dan sebagian di Jakarta Barat, Jakarta Selatan, hingga Australia. Nilainya mencapai Rp64.108.948.660.
Tak hanya itu, Ahmad Ali juga memiliki 11 unit mobil dan satu unit road bike yang jika ditotal angkanya sebesar Rp10.601.500.000.
Kemudian, Mat Sun juga tercatat memiliki harta bergerak lainnya senilai Rp5.150.000.000, surat berharga Rp6.720.000.000, kas dan setara kas Rp87.014.982.992, dan harta lainnya Rp2.320.000.000.
Jika dikurangi utang sebesar Rp43.387.437.341, total harta kekayaan Ali menurut LHKPN terbaru mencapai Rp132.527.994.311.
Jumlah tersebut meningkat sekitar Rp35 miliar dibandingkan LHKPN yang dilaporkan Ali pada 31 Desember 2021 yang tercatat Rp97.924.386.081.
Nah, dengan pencalonannya di Pilgub Sulteng dan gagasannya menggelar kompetisi sepak bola antar kampung se-Sulawesi Tengah dengan bonus Rp1,5 Miliar pada bulan Mei 2024, apakah putra terbaik Sulteng ini bakal mampu memenangkan hati rakyat Sulteng pada Pilgub 27 November 2024 mendatang? Jawabannya kita tunggu enam bulan ke depan.
M Sahril, wartawan lepas
Catatan redaksi: Tulisan opini merupakan pandangan pribadi penulis. Tutura.Id menerima tulisan berbentuk opini sebagai usaha untuk memperkaya perspektif dalam melihat sebuah fenomena dan isu tertentu.
Pilkada Sulteng 2024 pemilihan gubernur Sulteng pemilihan kepala daerah politik Partai Nasdem Partai Gerindra Ahmad Ali Abdul Karim Aljufri