Tumpukan batang jagung yang kerdil itu dipotongnya kecil-kecil dan diletakkan di bakul tempat pakan sapi. Ini sudah ketiga kalinya Medison (41), seorang petani di Desa Balumpewa, Kecamatan Dolo Barat, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, dalam seminggu ini menyisir kebun jagung miliknya.
Namun, yang didapatinya adalah tanaman jagung yang kerdil dan tidak menghasilkan biji jagung layak panen. Alhasil, biji jagung itu dijadikan makanan ternaknya.
Biasanya Medison bisa memanen jagung hingga 4 kali dalam setahun, dengan produksi jagung mencapai 1 ton. Tahun 2023 ini, hasil produksi hanya 500 kilogram, atau setengah dari biasanya.
"Kadang-kadang ada petani yang dorang so biarkan saja jagung kerdil itu dimakan sapi di kebunnya, lantaran so tidak bisa dibikin apa-apa," peluh Medison.
Menurunnya hasil panen ini ditengarai karena kemarau panjang yang melanda Indonesia sepanjang tahun 2023.
Hal yang sama juga melanda Desa Balumpewa, yang berjarak sekitar 25 kilometer (km) dari Kota Palu, ibukota Sulawesi Tengah.
Desa ini memiliki populasi 607 jiwa, dengan mayoritas penduduk merupakan suku Kaili Inde dan beragama Kristen. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani, dan komoditas yang paling banyak ditanam adalah jagung.
Biasanya, intensitas curah hujan bulanan rata-rata saat musim hujan di Kecamatan Dolo Barat tempat Desa Balumpewa mencapai kurang lebih 200 mm.
Namun, menurut data penakar hujan otomatis, curah hujan bulanan di Kecamatan Dolo Barat pada tahun 2023 menurun secara signifikan, yaitu rata-rata berada di bawah angka 100 mm.
Kekeringan akibat musim kemarau berkepanjangan inilah yang menyebabkan gagalnya hasil panen di Desa Balumpewa menurut Ketua Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) Kabupaten Sigi, Saiful Taslim.
"Penyebabnya adalah faktor topografi yang berada di daerah landai sehingga intensitas hujannya dari hujan lokal yang kadang-kadang tidak bisa diprediksi," jelas Saiful.
Oleh karena itu cuaca yang semakin ekstrim ini, maka penting bagi masyarakat untuk beradaptasi dengan meningkatkan keterampilannya, menurut Saiful.
Menanam palawija
Hal inilah yang dilakukan oleh petani seperti Try Bagia. Seperti Medison, Try juga mengalami gagal panen jagung karena ladang berada di lembah jauh dari aliran air sungai. Sehingga kesediaan air untuk tanaman jagungnya bergantung pada hujan.
Oleh karena itu, Ia mengolah lahan kecil di pekarangan belakang rumahnya. Lahan tadinya digunakan untuk menyimpan kayu bakar, dan sekarang menjadi ladang untuk menanam berbagai tanaman.
Di suatu hari, Try tampak sibuk mencangkul tanah di ladang tersebut agar tanahnya gembira. Setengah lahan tersebut telah ditumbuhi kacang panjang, dan separuh lainnya ditanami cabai rawit. Sisa dari lahan tersebut ditanami palawija lainnya.
Try memutuskan untuk mulai menanam tanaman-tanaman palawija setelah beberapa kali mengalami gagal panen jagung.
Sayangnya, Ia hanya mendapat panen sebanyak 7 karung (1 karung setara dengan 75 kilogram) jagung dari biasanya bisa mencapai 15 karung.
Hasil panen ini hanya mampu menutupi biaya produksi, sehingga Try terkadang mencampur sebagian sisa panen dengan beras untuk kebutuhan pangan keluarganya.
Akhirnya Ia menempuh jalan lintas dengan mengambil pinjaman melalui bank untuk kebutuhan hari raya Natal. Diakuinya tahun 2023 adalah tahun terparah hasil panen selama Ia mengolah hasil jagung.
"Sebagian besar masyarakat di sini akhirnya ambil pinjaman di bank untuk kebutuhan Natal dan Tahun Baru," beber Try.
Tidak semua warga seberuntung Try yang memiliki lahan lebih untuk ditanami tanaman lain.
Muksin (37), menggantungkan penghidupannya dengan bertani jagung. Ia tak punya lahan lainnya untuk ditanami palawija. Ia bahkan belum pernah panen sama sekali di tahun 2023.
Awal bulan Januari tahun 2023, Ia menanam jagung di lahan setengah hektar miliknya. Karena curah hujan rendah, daun-daun tunas jagungnya mengering.
Ia tak menyerah. Pada bulan Juni selepas hari raya Idul Fitri, langit mulai sering terlihat mendung. Maka Muksin berharap hujan segera tiba agar dapat menanam jagung kembali.
Saat hujan turun, Muksin segera mencoba menyemai lahannya dengan bibit jagung di bulan yang sama.
Namun, hasilnya tak berubah. Bibit tak berkembang meski dibantu pupuk yang cukup. Daun jagung yang tumbuh kembali mengering dengan ranting yang kerdil.
Modal bertani habis, maka Muksin memutuskan tidak lagi melanjutkan menanam jagung.
Sama seperti Try, Ia juga memiliki angsuran pinjaman melalui bank. Ia akhirnya beralih pekerjaan menjadi buruh bangunan di Kota Palu untuk menutupi biaya angsuran.
Ikhtiar perempuan Desa Balumpewa hadapi kekeringan
Sebagian masyarakat di Desa Balumpewa memanfaatkan sebagian tanah mereka untuk ditanami tanaman musiman yang tidak begitu membutuhkan banyak air, seperti jambu mete.
Seorang warga Desa Balumpewa, Silva, mulai menanam jambu mete di lahan miliknya bersama dengan suaminya 10 tahun lalu.
Menurut Silva, di saat produksi jagung lahan menurun, hasil dari lahan jambu mete miliknya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menurutnya, musim kemarau justru membuat bunga jambu mete tak banyak berguguran sehingga dapat menghasilkan buah lebih banyak.
Selain menanam palawija dan tanaman musiman, beberapa warga Desa Balumpewa juga beralih ke kerajinan tangan, terutama bagi mereka yang tidak memiliki lahan yang cukup.
Desa Balumpewa dikenal dengan sebagai desa pengrajin Tonda. Kerajinan ini berasal dari anyaman tanaman perdu seperti daun silar. Kerajinan dibuat aneka bentuk sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bakul, tas dan sebagai wadah penyimpanan.
Tonda bagi masyarakat Kaili Inde bukan sekedar tempat penyimpanan biasa, tetapi juga sebagai wadah perlengkapan adat yang dipakai dalam upacara adat. Selain untuk dipakai sehari-hari tonda hadir dalam upacara pernikahan sebagai bakul nasi.
Salah satu warga desa, Indo Suru, telah menganyam sejak remaja. Ia belajar dari para perempuan pengrajin kala pengrajin tonda menjamur di Desa Balumpewa.
Meski usianya sudah menginjak 79 tahun, Ia masih konsisten menganyam tonda untuk dijual kembali.
Indo Suru memiliki lahan pertanian jagung yang dikelola oleh anaknya, yaitu Muksin. Keluarga Indo Suru tidak panen jagung sama sekali di tahun ini. Untungnya, penghasilan yang didapat dari kerajinan tonda yang dikumpulkan cukup untuk menopang ekonomi keluarganya.
Dua kali seminggu Indo Suru akan menjajakan kerajinan tondanya ke pasar terdekat. Belakangan, permintaan tonda meningkat terutama kerajinan berbentuk tas.Tak butuh waktu lama tonda yang dibuat Indo Suru akan habis terjual.
Menurut Muksin pemberlakuan kebijakan pengurangan kantong plastik di sejumlah daerah di Sulawesi Tengah turut berpengaruh pada jumlah penjualan tonda. Indo Suru kerap mendapat pelanggan yang langsung memborong sekaligus dari luar daerah.
Tonda yang berasal dari bahan alami menjadi pilihan sebagian orang, sebab tonda dapat dipakai berulang kali dan harganya juga terjangkau.
Penghasilan dari penjualan tonda akan semakin meningkat jika tonda dipilih sebagai souvenir pernikahan.
Tonda bakul yang besar juga dimanfaatkan sebagai wadah mengisi nasi.
"Berdagang tonda tidak perlu banyak modal, hanya perlu daun silar yang diambil di hutan," tutur Indo Suru.
Catatan redaksi: Artikel ini bagian dari program pelatihan dan beasiswa "Suara Perubahan Iklim dari Pinggiran" dari Project Multatuli.
Balumpewa krisis iklim perubahan iklim petani kemarau petani tradisonal ladang Kabupaten Sigi