Jejak permukiman di Gua Topogaro dan posisi pentingnya dalam memahami penyebaran manusia
Penulis: Mughni Mayah | Publikasi: 1 Agustus 2023 - 19:52
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Jejak permukiman di Gua Topogaro dan posisi pentingnya dalam memahami penyebaran manusia
Gua pintu masuk situs Topogaro 2 di Morowali, Sulteng (Foto: Rintaro Ono/National Museum Of Ethnology, Jepang)

Gua Topogaro yang terletak di Desa Topogaro, Morowali, Sulawesi Tengah, belakangan menjadi perhatian dunia, khususnya di kalangan ilmuwan yang berupaya memecahkan teka-teki awal mula penyebaran manusia.

Posisi gua tersebut menjadi penting sebab bisa membuka tabir dalam memahami penyebaran manusia di dunia, terutama di wilayah Wallacea yang mencakup Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, serta Kepulauan Nusa Tenggara.

Temuan jejak manusia purba di Gua Topogaro melengkapi beberapa temuan terdahulu, semisal penemuan seni batu cadas di Leang-Leang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Berdasarkan hasil uji menggunakan metode penanggalan uranium series yang diklaim lebih akurat dibandingkan uji karbon, lukisan cadas yang tersematkan di dinding gua ini telah berusia sekitar 40 ribu hingga 44 ribu tahun.

Hasil penelitian terkait peninggalan manusia modern anatomis (AMH) di Gua Topogaro itu terangkum dalam paper berjudul "Early modern human migration into Sulawesi and Island adaptation in Wallacea". Lalu yang terbaru "The Goa Topogaro complex: Human migration and mortuary practice in Sulawesi during the Late Pleistocene and Holocene".

Penelitian di Gua Toporago berlangsung sejak 2016. Kala itu Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Indonesia bekerja sama dengan National Museum Ethnology Japan yang dikomandoi Dr. Rintaro Ono melakukan ekskavasi.

Secara spesifik Gua Topogaro terdiri dari tiga gua besar yang masing-masing bernama Topogaro 1, Topogaro 2, dan Topogaro 3. Adapun penamaan Topogaro 4, Topogaro 5, Topogaro 6, dan Topogaro 7 merujuk empat rock shelter—permukiman berbentuk dinding batuan yang di bagian atasnya menjorok ke luar—yang berada di kawasan tersebut

Kompleks Gua Topogaro berada sekitar 3,5 kilometer dari tepi laut. Di sekitar gua masih ada hutan belantara yang tersisa. Beberapa mesin eskavator terlihat beroperasi di sekitar gua untuk mengeruk batu gajah. Ini adalah aktivitas tambang galian C. 

Penggalian di Gua Topogaro ini menghasilkan sejumlah besar jejak peninggalan arkeologi AMH dari berbagai periode selama zaman Pleistosen akhir dan Holosen, serta dari masa sejarah.

AMH adalah sebutan untuk manusia yang rupa fisik dan akalnya sama seperti manusia masa kini, bukan manusia purba seperti pithecanthropus erectus.

Menurut Harry Oktavianus Sofian, arkeolog dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan salah satu anggota tim peneliti di Gua Topogaro, gelombang penyebaran AMH sudah terjadi beberapa kali.

Migrasi awal dilakukan orang-orang Austromelanesid yang kemudian mendiami Papua dan Australia (Aborigin).  

Sementara orang-orang Austronesia yang sebagian besar mendiami wilayah Indonesia sekarang, termasuk yang diyakini menghuni Gua Topogaro dan Leang-Leang, jadi gelombang terakhir dari penyebaran manusia modern.

“Orang-orang yang awal sekali melakukan migrasi dari Barat Ke Timur. Kalau kita sendiri ini asalnya dari Austronesia. Orang-orang terakhir yang melakukan migrasi. Makanya wajahnya, kan, sedikit berbeda,” ungkap Harry kepada Tutura.Id via WhatsApp, Sabtu (22/7/2023).

Lokasi Sundaland, Wallacea, Sahul, dan situs Pleistosen utama sepanjang migrasi manusia modern rute, setelah Birdsell (1977).(Foto: tangkapan layar artikel)

Temuan penting hasil galian

Termaktub dalam "Early modern human migration into Sulawesi and Island adaptation in Wallacea", Gua Toporago yang merujuk metode penanggalan uranium series boleh jadi merupakan permukiman tertua manusia di Sulawesi Tengah sejauh ini.

Usianya bahkan jauh lebih uzur dibandingkan situs megalit yang tersebar di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi. 

Di Topogaro 1, yang merupakan area terluas dari kompleks Gua Topogaro, ditemukan lebih dari 30 peti mati kayu dengan sisa-sia kerangka manusia di lantai gua bersamaan dengan pecahan tembikar prasejarah, keramik Cina dan Eropa, serpihan rijang, perkakas yang dihaluskan, serta cangkang.

Sementara hasil ekskavasi seluas 10 meter persegi menemukan tiga lapisan budaya hingga kedalaman satu meter.

Lapisan 1 menunjukkan era Holosen akhir dengan temuan sisa-sisa manusia, tembikar, manik-manik kaca, dan benda logam.

Lapisan 2 dan 3 menunjukkan kehidupan manusia pada era Holosen awal dengan hasil temuan berusia 8000 hingga 10 ribu tahun Sebelum Sekarang alias Before Present (BP).

Penggalian berlanjut ke situs Topogaro 2. Tim peneliti menggali hingga total 19 lapisan yang terbagi dalam tiga sektor; A, B, dan C.

Lapisan pertama mengungkap jejak kehidupan manusia pada era Holosen, sedangkan lapisan terakhir mengungkap era Pleistosen akhir.

Ditemukan pula sisa-sisa fauna, terutama tikus, kelelawar, babi hutan, dan anoa. Temuan ini mungkin berkaitan dengan lukisan hewan serupa babi Sulawesi yang menghiasi dinding gua di Leang-Leang, Maros.

"Lukisan dinding gua atau seni batu cadas ini bukan lagi tertua di Indonesia, tapi di dunia. Yang tertua justru ada di Sulawesi. Penemuan di Topogaro ini melengkapi data temuan di Maros. Ternyata di Sulawesi sudah ada yang menghuni gua sekitar 40.000 tahun yang lalu," tutur Harry.

Situs penggalian di Topogaro 2. (Foto: Tangkapan layar artikel)

Terbukanya diskusi kronologi migrasi

Adanya temuan jejak permukiman di Gua Topogaro itu memungkinkan dibukanya kembali diskusi tentang migrasi atau penyebaran manusia modern anatomis ke wilayah Asia Pasifik melalui wilayah Wallacea.

Jika tidak ada aral melintang, rencananya Pusat Riset Arkelogi Lingkungan Maritim dan Budaya Berkelanjutan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akan melakukan kuliah umum via Zoom pada 2 Agustus 2023. Akan hadir Dr. Rintaro Ono sebagai narasumber utama.  

Kuliah umum itu bertajuk “Human Migration, Resource Use, and Maritim Networks From The Late Pleistocene to Early Metal Ages in Wallacea”. Kehadiran Rintaro Ono bisa jadi membuat Gua Topogaro jadi pembahasan pula.

Harry mengaku sebenarnya khawatir dengan kondisi situs prasejarah tersebut mengingat aktivitas tambang galian C yang meningkat di sekitar gua. "Dalam prinsip arkeologi, tidak ada gantinya situs itu. Jika ia rusak, maka ia hilang. Sehingga perlu dilindungi," pungkas Harry.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
10
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
1
Kaget
0
Marah
2
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Tuntutan buruh imbas kecelakaan kerja di kawasan IMIP
Tuntutan buruh imbas kecelakaan kerja di kawasan IMIP
Salah satu tuntutan menyoroti kurangnya fasilitas kesehatan untuk melayani seluruh pekerja, mulai dari poliklinik, dokter,…
TUTURA.ID - Tambang nikel skala besar belum bikin warga Sulteng sejahtera
Tambang nikel skala besar belum bikin warga Sulteng sejahtera
Aktivitas tambang nikel ada di daerah. Namun bagi hasilnya lebih banyak ke pusat. Warga masih…
TUTURA.ID - Dua pekerja PT GNI tewas; keselamatan kerja tak boleh diabaikan
Dua pekerja PT GNI tewas; keselamatan kerja tak boleh diabaikan
Dua pekerja PT GNI di Morut tewas akibat kebakaran tungku. Medio 2022, dua pekerja juga…
TUTURA.ID - Relasi kuasa di balik dugaan pelecehan seksual oknum petinggi PT BTIIG Morowali
Relasi kuasa di balik dugaan pelecehan seksual oknum petinggi PT BTIIG Morowali
Kapolres Morowali AKBP Suprianto berjanji segera menyelidiki kasus ini melalui keterangan pihak pelapor, dukungan saksi,…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng