Kurun dekade 80-an, kultur populer Indonesia bisa dibilang sedang menggandrungi dua sosok pria bernama Boy dan Roy. Sekilas nama mereka mirip, tapi punya latar belakang dan persona berbeda.
Figur Boy yang kaya pula alim berawal dari sandiwara radio di Prambors Rasisonia kemudian mencapai puncak popularitasnya lewat film layar lebar.
Sementara Roy sang petualang bertungkus lumus melalui cerita bersambung di Majalah Hai, lalu terbit sebagai novel yang akhirnya laris bak kacang goreng.
Heri Hendrayana Harris menerbitkan novel Balada Si Roy menggunakan nama pena Gol A Gong yang berarti “semua kesuksesan itu berasal dari Tuhan”.
Selasa (8/11/2022) pagi, penulis yang kini berusia 59 itu menjejakkan kakinya di Gedung Pogombo, Kompleks Kantor Gubernur Sulawesi Tengah.
Gol A Gong hadir untuk mengisi sesi gelar wicara dan pelatihan kepenulisan bertajuk “Membaca itu Sehat, Menulis itu Hebat”.
Acara yang masuk dalam agenda kegiatan Safari Literasi itu merupakan kolaborasi antara Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, Perpustakaan Nasional, Ikatan Pustakawan Indonesia, dan Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Sulawesi Tengah.
Semenjak ditahbiskan sebagai Duta Baca Indonesia menggantikan Najwa Shihab pada awal tahun lalu, Gol A Gong mesti rajin blusukan ke daerah-daerah untuk mengampanyekan gerakan gemar membaca.
Dahulu sebelum menyandang status tersebut Gol A Gong menjabat sebagai ketua Forum TBM skala nasional. Selama periode menjabat, “Gerakan Indonesia Membaca” jadi salah satu program unggulan.
Hingga saat ini Gol A Gong sudah menerbitkan lebih kurang 125 Buku. Beberapa di antaranya masuk kategori best seller.
Paling moncer tentu saja Balada si Roy yang diekranisasi oleh IDN Pictures. Film arahan Fajar Nugros itu sudah tayang perdana dalam acara Jakarta Film Week 2022 (13-16/10). Penayangan secara umum di bioskop dijadwalkan awal tahun depan.
Selama perjalanan menuju Hotel Best Western Plus Coco Palu, tempatnya menginap selama mengisi agenda Safari Literasi di Sulteng, usai mengisi gelar wicara di Pogombo, Gol A Gong menjawab beberapa pertanyaan kami. Berikut petikannya.
View this post on Instagram
Apa cita-cita sebelum menjadi penulis?
Cita-cita awal saya ingin jadi pilot supaya keliling dunia. Sekarang juga sudah mulai keliling dunia, meski baru mengunjungi 20 negara. Semisal nanti mendapat karunia umur, rezeki, waktu, dan kesempatan, mudah-mudahan bisa keliling dunia.
Waktu pertama kali menulis, apakah waktu itu langsung fiksi?
Waktu kelas 6 SD sempat bikin sandiwara radio. Pas kelas 2 SMP saya bikin komik. Tapi waktu itu belum mendatangkan uang. Semuanya serba pakai tangan, belum ada teknologinya waktu itu. Sayang saya tidak berhasil menyelamatkan komiknya.
Menginjak SMA tahun 1981, saya mulai menulis puisi ke majalah dan dapat honor. Bikin puisi itu honornya kecil. Aduh, bagaimana bisa mewujudkan mimpi? Akhirnya saya berubah ke fiksi prosa.
Terinspirasi dari siapa dalam melahirkan karya?
Membaca buku dan novel yang ditulis mulai dari angkatan pujangga baru seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Buya Hamka, lalu Chairil Anwar (angkatan ‘45), hingga Iwan Simatupang, Taufik Ismail, dan Ahmad Tohari yang termasuk angkatan ‘66.
Mereka asyik bisa syiar kebaikan, syiar segala disiplin ilmu. Enak sekali, ya, jadi penulis bisa mempengaruhi orang. Terutama untuk berbuat kebaikan.
Siapa penulis muda yang saat ini karyanya digemari?
Sekarang sudah banyak penulis muda yang bagus-bagus. Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, itu bagus-bagus. Ada banyak, lah, sekarang. Beda dengan zaman saya dulu. Penulis sekarang juga berpeluang menerbitkan bukunya sendiri.
Kapan kali pertama datang ke Palu dan apa kesan awalnya?
Pertama kali ke sini tahun 1987. Saya dari Bitung menyusuri Gorontalo, Toli-toli, Palu, dan Poso. Waktu itu agendanya riset mengumpulkan bahan-bahan untuk penulisan novel Balada Si Roy. Lalu saya ke sini lagi tahun 2013, 2017, dan sekarang tahun ini.
Berarti ini kali keempat saya ke Palu. Kesan keempat kali datang ke sini, saya melihat cepat sekali pulih, ya. Itu terasa dari hasil obrolan dengan orang-orang Palu. Warga di sini termasuk cepat bangkit.
Setelah sekian lama, kenapa akhirnya menyetujui Balada Si Roy difilmkan?
Tahun 90-an sebenarnya sudah ada yang nawarin, tapi waktu itu saya masih ragu. Karena khawatir merusak imajinasi pembaca yang sebelumnya sudah membuat film sendiri dalam benak mereka.
Lalu tahun 2002 sebetulnya sudah ada versi sinetron. Judulnya Petualangan Si Roy. Enggak tahu ada persoalan apa hanya tayang di Malaysia (Ari Sihasale jadi pemeran Roy, red)
Akhirnya tahun 2018 adaptasi novel ini diambil sama Fajar Nugros. Apa yang bikin saya akhirnya mengiyakan? Mulai dari baca-baca buku, belajar memahami bahwa saat beralih medium ke film itu sudah bukan karya saya, tapi karya sutradara. Artinya saya enggak boleh kecewa. Kalau misalnya nanti gagal, berarti itu kegagalan sutradaranya.
Sudah sempat menonton versi film Balada Si Roy?
Belum sempat. Nanti saja pas tayang di bioskop. Saya mau jadi penonton biasa aja. Kalau saya memposisikan diri sebagai penulis, nanti takut jadi banyak ngritik kalau enggak suka.
Masa muda berambut gondrong, kenapa sekarang memutuskan cukur rambut? Lebih senang rambut panjang atau pendek?
Karena saya jadi duta baca. Syaratnya harus potong rambut. Istri sebenarnya lebih senang melihat rambut saya panjang. Saya juga lebih suka rambut panjang. Ini belum potong rambut. Mudah-mudahan enggak jadi masalah.