Berdasarkan sejumlah catatan data, mulai dari UNESCO hingga Organisation for Economic Co-Operation and Development, minat baca warga Indonesia kerap terjerembab di papan bawah.
Indeks minat baca masyarakat di Indonesia menurut UNESCO hanya 0,001 persen alias dari 1.000 orang hanya satu orang yang gemar membaca.
Padahal untuk menggapai cita-cita sebagai bangsa yang punya budaya literasi tinggi, membaca harus menjadi kebiasaan.
Tingginya tingkat literasi warga bisa mendorong kita jadi bangsa yang berkembang dan maju. Sebab kemampuan literasi bisa meningkatkan kualitas individu, keluarga, dan masyarakat.
Bibliofilia, demikian sebutan bagi mereka yang gemar membaca buku, selain buku pelajaran tentu saja.
“Begitulah rupa buku. Mereka membuat kamu bepergian tanpa menggerakkan kakimu,” tulis Jhumpa Lahiri (55), penulis keturunan India berkebangsaan Amerika Serikat, yang meraih Penghargaan Pulitzer untuk Karya Fiksi pada tahun 2000.
Tan Malaka menulis lebih frontal lagi tentang pentingnya literasi untuk kemajuan bangsa dalam Madilog alias Materialisme, Dialektika, dan Logika (terbit 1946). “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”
Harapan serupa yang menjadi dasar Abdul Malik Fadjar mengusulkan adanya Hari Buku Nasional. Peringatannya saban 17 Mei sekaligus untuk mengingat berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada 1980.
Menumbuhkan minat baca orang atau lebih luas lagi, masyarakat, jadi tantangan terbesar. Banyak yang bilang kebanyakan orang Indonesia malas baca, sukanya cerewet di medsos.
Heri Hendrayana Harris alias Gol A Gong (59) kurang sepakat. Menurut Duta Baca Indonesia ini, akar masalahnya lantaran kurangnya stok buku. Ilustrasinya, satu judul buku di perpustakaan, ditunggui 90 orang.
Belum lagi distribusi buku di negeri ini yang tidak merata. Sangat jomplang antara wilayah Barat (baca: Jawa) dengan bagian Timur. Pendeknya Indonesia darurat buku.
Mewujudkan ruang baca yang inklusif menjadi satu kata kunci untuk mengatrol minat baca. Taman Bacaan Masyarakat (TBM), juga komunitas literasi, diharapkan jadi garda terdepan.
Pasalnya mereka yang selama ini giat bergerak hingga ke wilayah-wilayah terpencil. Memberikan kemudahan bagi warga mengakses buku.
Alhasil buku tak hanya bisa diakes oleh kaum urban yang di dekatnya ada gedung perpustakaan atau toko-toko buku.
Dalam rangka turut memperingati Hari Buku Nasional tahun ini, berikut kami hadirkan beberapa TBM dan komunitas literasi yang ada di Lembah Palu.
Taman Baca Tatavuri
Irzan mendirikan TBM Tatavuri sejak 2017. Kesukaannya terlibat dalam berbagai kegiatan sosial bersama anak-anak di daerah jadi salah satu alasan. Oleh karena itu, ia menggagas ruang bermain untuk anak-anak sembari memperkenalkan buku kepada mereka.
Saat awal berdirinya TBM yang berlokasi di Kelurahan Tipo, Ulujadi, Palu Barat, limpahan stok buku berasal dari hadiah lomba Kado Tahun Baru Program Penerbit Bhuana Ilmu Populer Gramedia.
Kini TBM Tatavuri sudah memiliki koleksi buku berkisar 300-500 eksemplar. Tempatnya yang buka tiap Sabtu dan Minggu bisa menampung hingga 20 anak.
Lesehan Baca Palu Berkisah
Lesehan baca menawarkan buku-buku Siroh Nabawiyah seperti Rasulullah Teladan Utama atau Sains Quran. Siapa saja, mulai dari anak-anak hingga kalangan dewasa, boleh datang membaca di lesehan baca.
Lapangan Vatulemo alias Lapangan Wali Kota saban Ahad sore kerap menjadi lokasi komunitas ini menggelar lesehan baca. Lesehan ini biasanya menyediakan sekitar 200 koleksi buku untuk jadi bahan bacaan warga.
Taman Baca Todea
Momentum gerakan literasi yang dibangun oleh TBM Todea di Desa Kotarindau, Dolo, Sigi, bermula saat perayaan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 2017.
Kala itu, Zikran, sang pendiri TBM Todea bersama kawan-kawannya menggelar lapak buku di Lapangan Dolo.
Mengusung slogan "berbagi ilmu, belajar bersama", TBM Todea membangun ekosistem berliterasi sebagai alternatif masyarakat untuk membangun desa. Wujudnya berupa program “Polipa Literasi”.
Dalam program tersebut, TBM Todea membangun semangat literasi dengan cara melakukan perjalanan ke desa-desa bersama komunitas lain. Mereka mengadakan nobar dan diskusi film, malam puisi, hingga mengajar anak-anak desa.
Saat ini TBM Todea juga rutin membuat siniar (podcast) “Bincang Literasi” yang dapat didengarkan melalui akun Instagram. Jumlah koleksi bukunya saat ini sekitar 500 buah.
Candu Buku
Komunitas Literasi Candu Buku yang hadir sejak 2020 termasuk yang cukup sering menggelar lapak baca di pusat-pusat keramaian.
Bekerja sama dengan komunitas literasi lainya, mereka hadir tiap Minggu sore di Taman Nasional Bundaran Hasanudin, Palu Selatan.
Selain itu, komunitas ini juga punya program literasi “Nasesa (Ngobrol Asik Sebelum Senja)” yang mengajak orang-orang berdiskusi merespon isu-isu hangat.
Teras Pemuda Literasi (Tepi)
Didirikan oleh Baso, Ariska Yudiba, dan Sandra, tiga orang mahasiswa Universitas Tadulako.
Aktivitas pertama Tepi mengajar literasi berlangsung tahun lalu di Sekolah Jauh, Desa Patimbe, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi.
Saat ini, Tepi menggerakkan literasi melalui program membaca buku sebulan sekali di Taman Untad. Buku-buku yang disediakan berasal dari koleksi Tepi dan sebagian lainnya berasal dari kerjasama antarkomunitas di Palu.
Hari Buku Nasional literasi buku minat baca perpustakaan taman baca masyarakat komunitas literasi bibliofilia Gol A Gong