
Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI) bertema “Telaah Kritis Industri Pertambangan dan Hilirisasi Nikel dengan Perspektif Keadilan Sosial dan Lingkungan” diadakan di Hotel Aston, Palu, Rabu (9/10/2024).
Acara yang diprakarsai oleh 15 organisasi masyarakat sipil ini sebagai bentuk kepedulian terhadap dampak sosial dan lingkungan dari sektor pertambangan nikel. Konferensi ini menjadi ruang bagi berbagai pihak untuk berbagi pandangan demi menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.
Indonesia berusaha menjadi pemain utama dalam rantai pasok nikel global, khususnya untuk mendukung transisi energi. Namun, hilirisasi nikel telah menimbulkan berbagai masalah sosial dan lingkungan yang serius.
“Konferensi ini menegaskan keseriusan kami dalam kerja-kerja advokasi nikel dan komitmen semua pihak yang hadir untuk memperjuangkan tata kelola industri nikel yang lebih adil, berkelanjutan, dan mengedepankan hak-hak masyarakat lokal serta lingkungan,” ujar Linda Rosalina, Ketua Panitia KNMKI.

Masalah ekonomi dan hak pekerja
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, menyebut bahwa klaim Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar adalah mitos. Sejak Maret hingga Juli 2024, Indonesia justru mengimpor bijih nikel dari Filipina dengan kenaikan 600%. Hal ini menandakan banyaknya smelter yang akan tutup tanpa impor tersebut.
Bhima juga mengungkapkan bahwa meskipun hilirisasi diharapkan meningkatkan industrialisasi, faktanya hanya sedikit nilai tambah yang dihasilkan. Ini terjadi akibat Indonesia memproduksi yang sifatnya olahan primer dan nilai tambahnya kecil.
Indonesia juga mengeklaim akan jadi raksasa baterai, tapi menurut data ESDM, hanya 5% nikel yang dihasilkan Indonesia dijadikan baterai kendaraan listrik. Sisanya masuk industri stainless steel dan dijadikan sendok atau garpu.
Dari sisi ekonomi, negara mendapatkan Rp20 triliun dari pajak industri nikel, tetapi perlu mengeluarkan Rp40 triliun untuk memperbaiki kualitas udara yang rusak akibat aktivitas pertambangan.

Pelanggaran hak pekerja
Industri pertambangan selalu digaungkan sebagai jalan keluar bagi suatu daerah untuk bisa mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.
Tawaran upah dan jabatan tertentu jadi sesuatu yang menggiurkan. Namun, sebagai sektor unggulan, tidak membuat industri pertambangan memiliki nilai ekonomi lebih dari sisi upah. Perusahaan sering tidak memberikan upah yang sebanding dengan risiko kerja.
“Sektor pertambangan justru masih disamakan dengan sektor manufaktur lain,” kata Iwan Kusnawan, Ketua Umum Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Nasional (SPN). Padahal bila dilihat dari beban, risiko, dan jam kerja, pertambangan masuk dalam kategori pekerjaan yang berat.
Industri nikel di Indonesia juga tercatat sebagai salah satu pelanggar hak asasi manusia terbesar, menurut laporan Komnas HAM 2023. Ini jadi salah satu bukti bahwa perusahaan masih sering lalai mengenai hak-hak para pekerja.
Pemerintah selalu berbicara mengenai keberhasilan menggaet banyak investor atau hilirisasi industri. Sering kali hanya mengukur dari angka berapa banyak nilai ekonomi atau meteril yang didapatkan.
Sementara di sisi lain, pemerintah melupakan hal yang menyangkut kesejahteraan pekerja dan masyarakat terdampak. Padahal ini yang sebenarnya jadi keharusan untuk mewujudkan pembangunan.

Dampak lingkungan dan kesehatan
Iwan juga menyoroti seringnya kecelakaan kerja tanpa investigasi yang mendalam, dan dampak lingkungan yang besar dari pertambangan. Merujuk data Puskesmas Bahodopi, kasus infeksi saluran pernapasan (ISPA) meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir, diduga akibat pencemaran udara dari aktivitas tambang.
Menurut Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), Sulawesi Tengah menikmati pertumbuhan ekonomi yang pesat berkat tambang nikel, tetapi masih minim sarana pemantauan kualitas udara.
Sarana dan prasarana stasiun pemantauan kualitas udara hanya ada di ibu kota provinsi. Ini membuat hasil pemantauan terkadang tidak sesuai dengan kejadian di masyarakat yang selalu mengeluhkan persoalan debu hasil tambang.
“Sulawesi Tengah menikmati pertumbuhan ekonomi belasan persen. Pertumbuhan ini tentu bisa diimbangkan dengan memperkuat sarana pemantauan, atau bahkan bisa saja perusahaan yang dibebankan karena telah banyak menikmati hasilnya,” sambung Fajri.
Hal yang paling dikhawatirkan berkaitan dengan pencemaran udara akibat aktivitas pertambangan adalah munculnya penyakit kronis, seperti bronkitis dan kanker, yang sulit terdeteksi apalagi hanya mengandalkan data puskesmas.
Penelitian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) memprediksi bahwa biaya kesehatan akibat pencemaran udara industri mineral akan mencapai Rp40,7 triliun pada 2025, dan terus meningkat hingga Rp53 triliun pada 2030 jika pengelolaan industri tetap buruk.
Oleh karena itu, memperketat batas emisi harus dijadikan perhatian sebagai upaya agar energi terbarukan menjadi pilihan perusahaan. Harapannya agar bisa menghindari biaya kesehatan yang berpotensi meningkat akibat industri pertambangan.
Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia tambang nikel pertambangan lingkungan hak pekerja pencemaran kesehatan ekonomi Morowali Sulawesi Tengah


