Presiden Joko “Jokowi” Widodo menegaskan komitmennya untuk tetap melakukan hilirisasi industri nikel, meskipun mengalami kekalahan dalam sidang sengketa organisasi perdagangan dunia (WTO) pada Oktober 2022.
Sengketa ini bermula dari keberatan Uni Eropa atas larangan ekspor nikel yang dilakukan Indonesia. Keberatan Uni Eropa itu dimenangkan oleh WTO.
Lewat akun Twitter, Presiden Jokowi bilang meskipun kalah dalam sengketa WTO, Indonesia masih akan banding. Pasalnya, menurut Jokowi, hilirisasi nikel telah membawa dampak baik bagi neraca perdagangan Indonesia.
Guna menyelami sengketa ini, Tutura.Id menyarikan beberapa poin penting untuk memahaminya.
Indonesia telah menghentikan ekspor nikel dalam bentuk bahan mentah yang menghasilkan nilai ekspor nikel tahun 2021 melompat menjadi USD20,8 miliar atau Rp300 triliun lebih dari sebelumnya hanya USD1,1 miliar.
— Joko Widodo (@jokowi) November 30, 2022
Akibat kebijakan tersebut, Indonesia digugat oleh Uni Eropa di WTO. pic.twitter.com/NrEpiIn2U6
Apa itu hilirisasi? Istilah ini merujuk pada langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimiliki.
Pada kasus nikel, sebelumnya Indonesia hanya mengekspor bahan mentah. Belakangan, Indonesia bikin aturan lewat UU Minerba (sejak UU Minerba 4/2009) yang melarang ekspor bahan mentah dan mewajibkan perusahaan tambang punya smelter alias pemurnian mineral.
Alhasil komoditas yang diekspor bukan bahan mentah. Ringkasnya, dengan ekspor bahan yang lebih murni, Indonesia berharap dapat cuan lebih besar.
Hilirisasi menguntungkan? Jokowi mengklaim bahwa hilirisasi telah berdampak baik bagi Indonesia.
Ia bilang pada kasus nikel transaksi perdagangan mencapai USD20,8 miliar (Rp326 triliun) pada 2021. Angka itu naik dari hanya USD1 miliar (Rp20 triliun) di tahun sebelumnya. "18 kali lipat kita hitung nilai tambahnya," katanya, saat bicara dalam Rakornas Investasi di Jakarta (30/11/2022).
Kenapa Uni Eropa keberatan? WTO sedari awal dibentuk untuk mengamankan rantai produksi negara-negara industri kuat sejak masa lalu, sebutlah Amerika, Uni Eropa, atau Jepang.
Adapun regulasi ekspor bahan mentah nan longgar dari negara berkembang—seperti Indonesia—dibutuhkan untuk mengamankan proses produksi mereka.
Kebijakan Indonesia melarang ekspor bahan mentah bisa dianggap menganggu proses produksi di negara-negara utama—terkhusus lagi Uni Eropa. Aturan itu konon bisa menyulitkan negara-negara Eropa untuk kompetitif dalam industri besi dan baja —khususnya stainless steel.
“Kenapa Si Uni Eropa ini gugat karena industrinya banyak di sana. Nah kalau kita kerjain (hilirisasi nikel) di sini artinya di sana ada pengangguran ada pabrik industri tutup,” kata Jokowi. Ia menambahkan bahwa Indonesia juga butuh buka lapangan kerja dengan melakukan hilirisasi di dalam negeri.
Keputusan WTO. Organisasi perdagangan dunia itu memutuskan bahwa kebijakan pengolahan dan pemurnian mineral (nikel) dalam negeri atas larangan eskpor Indonesia terbukti telah melanggar aturan mereka. Gugatan Uni Eropa dimenangkan. Indonesia pun kalah.
Indonesia ajukan banding. Meski sudah dinyatakan kalah dalam sidang sengketa WTO, Indonesia optimistis untuk mengajukan banding. “Enggak apa-apa, kalah. Saya sampaikan ke menteri, banding,” ujar Jokowi.
Jokowi juga menyerukan agar hilirisasi juga mulai menyentuh komoditas lain, mulai dari komoditas besar macam bauksit hingga yang remeh-temeh macam kopi.
“Sudah beratus tahun kita mengekspor itu. Setop, cari investor. Investasi agar masuk ke sana, sehingga nilai tambahnya ada,” ujar Jokowi.
Perusahaan belum puas. Meski sudah ada kebijakan pelarangan ekspor, tetapi secara umum hilirisasi di Indonesia belum berdiri kokoh. Beberapa turunan jenis hasil pemurnian belum bisa diolah langsung di sini.
Alexander Barus, Direkrur Indonesia Morowali Indutrial Park (IMIP), sempat mengeluhkan hal ini pada Oktober 2022. Alex bilang pihak terpaksa mengekspor hasil pemurnian awal. Padahal bila ada industri perantara dan hilir yang kuat, komoditas setengah itu bisa diberikan nilai tambah lagi.