“Saya kaget foto saya di-posting, padahal saya tidak menampilkan foto di feed Instagram. Ternyata foto itu diambil dari Reels,” ujar Sinta.
Mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako angkatan 2018 itu jadi korban comot foto dari akun kampus cantik, @fekonbeauty. Foto Sinta sekadar di-screenshoot dari kiriman Reels, lantas di-posting tanpa persetujuan. Belakangan, setelah melayangkan keberatan via pesan, foto Sinta ditarik kembali oleh @fekonbeauty.
Setelahnya, ada beberapa DM (direct message) dari akun kampus cantik di kotak masuk Instagram milik Sinta. Namun ia tak pernah mengacuhkan pesan-pesan macam itu.
Cerita serupa datang dari Fani, mahasiswi Fakultas Ekonomi Untad angkatan 2017. Fotonya diambil tanpa izin, dan akhirnya diturunkan setelah dia kirim pesan keras ke akun @fekonbeauty.
“Lain kali minta izin dulu,” tulisnya. Meski foto akhirnya diturunkan, tapi pesannya sekadar dibaca, tak dibalas, dan tiada permintaan maaf.
Sinta dan Fani mengaku tak nyaman dengan foto yang asal comot. Fani bilang, “Biar sudah minta izin, belum tentu yang punya foto mau dijadikan konten.”
Adapun @fekonbeuty merupakan akun kampus cantik level fakultas di Universitas Tadulako.
Hingga Senin (10/10), pengikut @fekonbeauty sudah melebihi angka seribu, jumlah kirimannya juga telah melewati angka 1.300 post. Akun lain yang punya pengaruh lebih besar dan bertaraf universitas ialah @untadbeauty, dengan lebih dari 31 ribu pengikut.
Masalahnya, tidak semua perempuan mau fotonya tepajang dalam akun-akun kampus cantik. Ada aspek persetujuan (consent) yang kerap dilanggar. Padahal setelah foto terkirim, risiko baru bisa saja muncul, misalnya pesan-pesan yang tidak diinginkan, atau komentar-komentar yang mengusik.
Icha, mahasiswa FISIP Untad mengaku terganggu dengan pesan dan komentar yang masuk setelah fotonya terpampang di akun @UntadBeauty. “Saya risih melihat beberapa komentar di postingan itu,” ujar Icha.
Beberapa komentar di dalamnya memang agak menjurus, misalnya, lontaran “Sikat” sembari mencolek (mention) temannya. Adalah komentar lain seperti “Mayan min” yang bisa muncul dari akun tak dikenal.
Cerita tiga mahasiswi tersebut, sedikit banyak menunjukkan bahwa akun kampus cantik di lingkungan Untad bermasalah. Selain perizinan, akun kampus cantik juga menanggung keuntungan finansial dari sekadar berbagi foto "mahasiswi cantik".
Akun-akun ini pun dianggap memosisikan perempuan sebagai simbol untuk memenuhi fantasi laki-laki di layar kaca atau ponsel.
Komentar pihak kampus
Fenomena akun-akun cantik mendapat komentar dari pihak Untad. Setidaknya ada Panitia Seleksi Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Tadulako yang angkat bicara soal fenomena ini.
“Dari sudut pandang feminisme, alasan menjadikan akun-akun itu sebagai tempat berekspresi, adalah bentuk dari eksploitasi,” ucap Ritha Safitri, Ketua Panitia Seleksi Satgas PPKS Untad, yang dijumpai Tutura.Id di ruangannya (7/10).
Foto-foto mahasiswi, kata Ritha, bisa berpotensi disalahgunakan dan praktik ini telah menjurus pada kekerasan seksual di ranah daring.
“Semakin besar akun-akun ini, kian berpotensi terjadi kekerasan seksual. Kekerasan tidak hanya berlangsung di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya,” kata koordinator Program Studi Sosiologi itu.
Ritha juga menyoal kebiasaan akun kampus cantik yang memakai nama dan logo Untad. Seolah-olah akun itu punya izin universitas. Atas situasi tersebut, Ritha menyebut penanganan akun-akun kampus cantik ini akan menjadi salah satu tugas awal Satgas PPKS Untad yang akan mulai bekerja pada akhir November 2022. “Akun-akun ini akan jadi bagian kerja Satgas PPKS,” kata dia.
Rahmadani, Direktur Internal Yayasan Sikola Mombine, juga menyampaikan hal senada. Selain soal izin, Rahmadani menyoal definisi kecantikan yang ditawarkan oleh akun-akun kampus cantik.
“Apa yang mereka lakukan tanpa sadar memperkuat bahwa standar kecantikan itu harus punya kulit putih, punya badan ramping, dan penilaian pada fisik lainnya. Aktivitas semacam ini akan melanggengkan eksploitasi perempuan,” kata Rahma kepada Tutura.Id (9/10).
Catatan redaksi: Sinta, Fani, dan Icha ialah nama samaran yang sengaja dipakai guna melindungi identitas dan privasi para narasumber.