Kiprah dan asa Abdullah untuk masa depan kebencanaan di Sulteng
Penulis: Rizki Syafaat Urip | Publikasi: 21 Desember 2022 - 08:30
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Kiprah dan asa Abdullah untuk masa depan kebencanaan di Sulteng
Salah satu kegiatan Abdullah mengisi disuksi tentang kebencanaan (Sumber: Facebook Abdullah @Abed Petta Laja)

Bagi pemerhati kebencanaan, nama Ir. Drs. Abdullah, M.T. tidaklah asing. Kepala Laboratorium Palu-Koro Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Untad ini sudah malang-melintang.

Abdullah telah menggeluti bidang ini jauh sebelum gempa dan tsunami di Palu, Sigi, dan Parigi Moutong (Padagimo) pada 2018. Namun dirinya makin sibuk bicara soal kebencanaan setelah peristiwa nahas tersebut. Banyak pihak mengundangnya mengisi forum-forum diskusi, seminar, hingga tampil di media.   

Tutura.Id berkesempatan berbincang banyak dengan Penanggung Jawab Program Hibah Pembangunan Sekolah Siaga Bencana (SSB) Kota Palu ini. Khususnya tentang perjalanan kariernya yang dikenal sebagai akademisi sekaligus pemerhati kebencanaan di Sulteng. 

Berawal dari ilmu bumi

Lahir pada 1962 di Pajalele, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, Abdullah mengaku sejak di bangku sekolah dasar, menengah pertama, hingga menengah atas di Polewali Polman Sulbar, pelajaran Ilmu Bumi selalu menarik minatnya hingga di bangku kuliah. 

Pada tahun 1982-1989, Abdullah kuliah di program sarjana (S1) jurusan Fisika FMIPA di Unhas, Makassar. Dia membuat skripsi tentang gempa. Lalu pada tahun 1995 melanjutkan pasca sarjananya di Jurusan Teknik Geofisika ITB. Tesisnya tentang Sesar Palu-Koro. 

Abdullah berkisah sewaktu menempuh kuliah S2 itu, ia mengintip ke ruangan dosennya.

Ia melihat sebuah makalah di atas meja sang dosen. Judul makalah itu begitu panjang. Namun hanya dua kata yang lekat di benaknya hingga kini, yakni mitigasi dan longsor.

Dia pun mengaku penasaran dengan kata mitigasi, sebuah kata yang kala itu belum sepopuler sekarang.

Abdullah mencari tahu dan menemukan mitigasi adalah sebuah kata serapan. Kala itu, dia mengartikan mitigasi berkaitan erat dengan bencana.

Definisi resmi kata mitigasi, jelas Abdullah, baru dirumuskan pada Undang-Undang No. 24  Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

Ketertarikannya dengan kata mitigasi berlanjut saat penyusunan tesis tentang sejarah kebencanaan Sulawesi Tengah. Ternyata ada banyak bencana geologi yang terjadi di daerah tempat dirinya dibesarkan.

Hampir saban hari Abdullah nongkrong di Perpustakaan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G)--kini bernama Badan Geologi. Dia ingat betul perpustakaan itu berada di Jalan Diponegoro, Bandung.

Selama menempuh studi S1 dan S2 di luar daerah, Abdullah mengaku menaruh perhatian tersendiri terhadap bencana yang terjadi di Sulteng. Misalnya, saat erupsi Gunung Colo di Pulau Unauna, Kabupaten Tojo Unauna, jelang magrib pada 23 Juli 1983.

Peristiwa lainnya terjadi pada 1 Januari 1996. Gempa dan tsunami menghantam Tonggolobibi, Donggala. Saat itu dirinya tengah menjalani studi S2 dan peristiwa itu menjadi berita nasional.

“Daerah lain masuk TV karena prestasi. Kita masuk TV karena bencana,” ujar Abdullah.

Abdullah gigih mengupayakan agar Mitigasi Bencana Alam jadi mata kuliah wajib di Untad (Sumber: himastikafmipauntad.blogspot.com)

Mata kuliah kebencanaan 

Selepas menyelesaikan studi pascasarjananya, Abdullah mulai mengajar di Universitas Tadulako pada September tahun 1991. Pada tahun awalnya, ia juga mengajar mata kuliah Ilmu Bumi dan Antariksa di Fisika FKIP.

Secara rutin Abdullah mengajak mahasiswanya ke Stasiun Geofisika milik BMKG di Balaroa. Di tempat ini mahasiswa diajak mengenali seismogram, bagaimana cara menghitungnya, belajar tentang magnitudo, dan hal-hal yang berkaitan dengan gempa.  

“Kira-kira 10 angkatan lah, mulai dari angkatan 89 sampai 99, rutin mereka saya ajak ke sana. Di kemudian hari ketika mereka jadi guru di Palu, mereka bawa muridnya ke sana juga,” ujar Abdullah.

Abdullah turut serta memperjuangkan pemahaman tentang kebencanaan agar masuk dalam mata kuliah. Hasilnya, pada tahun 2004 ada mata kuliah Mitigasi Bencana Alam di Fakultas MIPA Untad. Namun, tidak semua pihak setuju dengannya.

“Tapi begitu keluar, jadi sinis orang. Untuk apa dipelajari? Bikin takut-takut. Nanti terbuka semua matanya waktu bencana 28 september 2018,” kata Abdullah, menirukan tanggapan pengajar yang lain.

Pernah juga ada masa Abdullah bersama mahasiswanya membuat pameran kebencanaan pascagempa dan tsunami Aceh 2004. Mereka menampilkan foto dan video-video kondisi Aceh. Lalu ada salah seorang profesor di Untad datang dengan pertanyaan bernada sinis.

“Apa kaitannya fisika dan tsunami?” kata Abdullah menirukan pertanyaan profesor itu.

Seiring berjalannya waktu dan adanya peristiwa bencana gempa besar dan tsunami pada 2018, banyak pihak mulai tersadarkan pentingnya pengetahuan tentang mitigasi bencana diajarkan di bangku kuliah.

Kini, Mitigasi Bencana Alam adalah mata kuliah wajib di Untad. Utamanya di fakultas saintek. Misalnya di Teknik Geofisika, mata kuliah ini dipelajari saat semester genap. Sedangkan di Program Studi Perencanaan Wilayah Kota (Prodi PWK), dipelajari saat semester ganjil.

“Saya kasih tahu ke mahasiswa, nyawanya manusia di tangannya kamu. Jangan sampai kamu rekomendasikan orang membangun di lokasi rawan bencana, terus dia meninggal ketika bencana. Itu dosanya ada sama kamu,” kisahnya.  

Di masa depan, Abdullah masih memiliki harapan bila mitigasi bencana bisa diajarkan di setiap Prodi di Untad. Sebab idealnya setiap prodi mesti mempelajari kebencanaan. Namun Abdullah mahfum bila masih ada keterbatasan SDM pengajar di bidang ini.

“Tapi tidak mesti jadi mata kuliah, bisa diselipkan di mata kuliah tertentu. Semisal Kajian Lingkungan Hidup. Tapi kalau dosennya mengerti kebencanaan. Kendalanya selalu begitu, siapa yang mengajar?” ungkap Abdullah.

Aktif membagi informasi di luar lampus

Selain mengajar, Abdullah juga aktif di luar kampus. Pembina Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) Sulteng ini acapkali terlibat dalam forum-forum yang digelar oleh pemerintah berkaitan dengan kebencanaan di Sulteng.

Dia ingat betul pada Oktober 2000 terbit instruksi presiden (Inpres) tentang rencana revisi tata ruang berbasis kajian geologi. Kota Palu menjadi salah satu daerah yang mendapat sosialisasi Inpres.

Bertempat di Gedung Pogombo, Abdullah diundang sebagai salah satu pembicara. Dalam sosialisasi itu, dia berkesempatan menyumbangkan ide agar dalam Inpres memasukan likuefaksi dalam jenis ancaman bencana geologi.  

“Di situ saya sudah masukan likuefaksi. Makalah yang saya tampilkan sudah dibutuhkan tapi belum lengkap,” ungkap Abdullah yang telah terlibat dalam 200 pekerjaan penelitian serta penyusunan dokumen lingkungan hidup dan dokumen kebencanaan.

Kegemaran dan keahliannya dalam menulis ia gunakan untuk menyebarkan pengetahuan tentang kebencanaan dan pentingnya mitigasi. Apalagi dirinya sering turun ke lapangan dan memiliki banyak bahan tulisan.

Dia kemudian aktif menulis artikel kebencanaan sejak tahun 2000. Artikelnya ini juga dapat dibaca di beberapa harian lokal Palu. “Saya macet menulis karena jadi dekan (FMIPA Untad, red) Tahun 2007,” ungkapnya.

Abdullah juga sering memanfaatkan momen-momen lain untuk riset kecil seputar kebencanaan. Seperti saat praktek lapangan tentang lingkungan hidup bersama mahasiswanya.

Di momen seperti inilah dia banyak mendapatkan pengetahuan tentang bencana lokal. Misalnya, detail bencana gempa di teluk Tambu pada 14 Agustus 1938. “Saya tidak dapat detail dampaknya di berita (media, red). Nanti setelah saya turun lapangan,” ungkapnya.

Abdullah merasa rugi jika tidak beroleh informasi berkaitan dengan kebencanaan bila turun praktik lapangan di sebuah daerah.

Keuletannya menghimpun berbagai informasi kebencaan di Sulteng, baik berupa keterangan maupun data gambar, lantas membuatnya mampu memproduksi buku.

Pada 4 Desember 2017, dia meluncurkan buku “Tsunami di Teluk Palu dan Sesar Palu Koro”. Isinya memuat sejarah dan potensi ancaman tsunami serta fakta-fakta seputar Sesar Palu-Koro.

Pascabencana Padagimo 2018, buku ini banyak dicari dan menjadi bacaan masyarakat, khususnya di Kota Palu. Olehnya, beberapa kali Abdullah harus mencetak ulang karena stok buku telah habis.

Meluncurkan buku “Tsunami di Teluk Palu dan Sesar Palu Koro” pada 4 Desember 2017

Menggagas lahirnya pengajar kebencanaan

Bencana Padagimo 2018 membuat Abdullah kerap diundang berbicara seputar kebencanaan. Namun skopnya lebih luas, tidak hanya soal pengetahuan tentang gempa dan tsunami, namun juga bicara tentang masa depan dan bagaimana menyiapkan hidup di atas tanah rawan bencana.

Salah satunya adalah upaya menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang siaga bencana di Sulteng. Ini penting karena Sesar Palu-Koro kapan saja bisa aktif dan tidak bisa diprediksi.

Suatu hari di tahun 2021, Abdullah diundang menjadi pembicra di UIN Datokarama Palu. Di kesempatan itu dia mengusulkan agar perguruan tinggi Islam negeri pertama di Sulteng itu membuka Prodi Pendidikan Kebencanaan.

Tujuannya agar ada lulusan tenaga pengajar kebencaan di Sulteng. Mereka inilah yang akan mengedukasi siswa tentang kebencanaan dan mitigasi bencana di sekolah.

Menurut Abdullah, yang patut mengajar di sekolah adalah lulusan pendidikan guru. Bukan tenaga dosen seperti dirinya. Sebab meskipun dirinya punya waktu mengajar di sekolah, namun pendekatan dan cara transfer ilmu berbeda antara mahasiswa dan siswa. Keduanya memiliki pola pikir dan daya tangkap yang berbeda.

“Saya pernah di SMP menyampaikan materi, tapi kacau, tidak masuk materinya saya mengajar. Jadi produksi dulu gurunya,” ucap Abdullah

Gagasan untuk memasukkan wawasan kebencanaan dalam kurikulum di sekolah adalah hal yang penting dan perlu dilakukan.

Abdullah mengingatkan jika bencana terjadi pada lintas generasi. Manusia seringkali luput langkah mitigasi yang pernah dilakukan leluhur. Olehnya, bukan tidak mungkin bila gagasan tersebut dimasukkan sebagai disiplin ilmu.

Lagi pula gagasan tersebut bukannya tanpa dasar, tapi berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2009 agar materi kebencanaan dijadikan muatan lokal di seluruh Indonesia.

Memahami esensi mitigasi

Pengamatan Abdullah, di Indonesia orang-orang baru aktif membahas bencana setelah peristiwa nahasnya terjadi.

“Di Untad, hanya satu atau dua orang. Nanti habis bencana baru banyak. Sudah lebih 10 orang. Itu yang jadi pembicara di forum-forum diskusi,” sebut Abdullah mencontohkan.

Padahal semua jenis bencana harus dipelajari. Tidak hanya soal gempa dan tsunami, sebab penduduk Indonesia kadang berpindah dan hampir di semua tempat di Indonesia memiliki potensi bencana yang berbeda.

Sebagai contoh, Abdullah menjelaskan masyarakat Kabupaten Sigi harus belajar tentang tsunami dan mitigasnya, meski tidak punya laut. Alasannya, ada kemungkinan ia pindah untuk bekerja dan kemungkinan kena tsunami bila tidak punya bekal pengetahuan.

Perihal mengurasi risiko bencana, Abdullah juga pernah beri usulan dalam gelaran Rakornas BNPB di Bengkulu tahun 2019. Salah satu usulannya, materi kebencanaan masuk dalam materi debat kandidat pemilihan kepala daerah.

Ini penting untuk mengukur sejauh mana kebencanaan masuk dalam prioritas daerah nantinya. Untuk menjadikannya prioritas maka menurut Abdullah kepala daerah mesti belajar bencana.

Alhamdulillah debat Pilkada di Sigi dan Banggai sudah dipraktikan,” ujarnya.

Pengetahuan kepala daerah tentang kebencanaan, jelas Abdullah, penting untuk efektifitas dan efisensi pembangunan daerah. Selain untuk keselamatan warga di masa depan. Dia mencontohkan bangunan publik yang dibangun di atas jalur sesar gempa karena ketidaktahuan jelas akan merugikan. 

Meningkatnya pembicaraan aktif tentang kebencanaan pascabencana Padagimo 2018, ungkap Abdullah, di satu sisi menimbulkan pekerjaan baru. Yakni upaya meluruskan pemahaman terhadap istilah-istilah yang melekat.

Dia mengungkapkan istilah mitigasi kerap disalahaartikan sama dengan istilah lainnya. Seperti pengertian mitigasi yang dianggap sama dengan tanggap darurat.

Padahal keduanya sangat berbeda. Tanggap darurat merupakan status tahapan awal dalam situasi bencana. Sedangkan mitigasi adalah upaya pengurangi risiko bencana.

“Saya pernah diundang di RRI, dan saya bilang sekarang orang sudah cukup familiar dengan istilah mitigasi, tapi belum cukup familiar dengan pemahaman. Selanjutnya, apakah familiar juga dengan pemahaman? Bila sudah, pertanyaan berikutnya, seperti apa tindakannya?” tuturnya.

Abdullah menilai ketangguhan bencana masyarakat Kota Palu masih berada di skor 7, bila merujuk skor 0-10. Artinya, seluruh elemen masyarakat dan pemerintah masih perlu berbenah bersama-sama.

Dia pun menyinggung soal istilah “Pasigala Tangguh”, yang menurutnya tidak tepat. Istilah ini telah digunakan dalam nomenklatur yang digunakan oleh BNPB.

Abdullah secara pribadi lebih memilih menggunakan istilah “Siaga Bencana” karena relevan dengan sifat bencana yang tidak dapat diprediksi.   

“Kota Tangguh Bencana, Desa Tangguh Bencana. Tapi untunglah ada Kementerian Sosial yang gunakan istilah siaga. Padahal kalau ada gempa kocar-kacir juga,” pungkasnya.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
6
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Satgas PPKS Untad: Kami tak pandang bulu dalam kasus kekerasan seksual
Satgas PPKS Untad: Kami tak pandang bulu dalam kasus kekerasan seksual
Satgas PPKS Untad resmi terbentuk. Mereka berjanji akan bertindak profesional dalam penanganan kasus--termasuk menyapu relasi…
TUTURA.ID - Mencegah agar tumpukan sampah tak menjadi malapetaka
Mencegah agar tumpukan sampah tak menjadi malapetaka
Aksi bersih-bersih sampah dilakukan DLH Kota Palu bersama banyak pihak untuk memperingati HPSN 2024. Ada…
TUTURA.ID - Joki skripsi bukan pembimbing eksternal mahasiswa
Joki skripsi bukan pembimbing eksternal mahasiswa
Hukuman untuk pelaku joki skripsi telah diatur dalam Undang-Undang, tapi praktiknya tetap saja marak.
TUTURA.ID - Perundungan di sekolah, problem akut yang tak berkesudahan
Perundungan di sekolah, problem akut yang tak berkesudahan
SMP Al-Azhar Mandiri Palu telah mengatur larangan perundungan di sekolah kepada para murid sejak awal…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng