Tegas dan cerdas. Itulah kesan pertama berbincang dengan Wereanintowe (61). Kata-katanya mengalir lancar dengan intonasi yang tidak mendayu. Ada kesan hangat dan bijak juga di suaranya.
Mungkin inilah yang membuat percakapan kami selama kurang lebih dua jam via telepon pada Selasa (14/5/2024) malam, tidak terasa lama. Tidak pernah bertemu muka, tapi rasanya sudah lama kenal.
Perempuan yang disapa Ani ini membuka perbincangan dengan memperkenalkan diri.
Ani adalah perempuan Suku Pamona yang menghabiskan 10 tahun hidupnya duduk sebagai pengurus majelis adat di Desa Tampemadoro, Kecamatan Lage, Kabupaten Poso.
Dia purnabakti pada 2023 akhir. Posisinya kini digantikan oleh anak perempuannya yang seorang guru.
Ani menyebut kaderisasinya berhasil, meski bukanlah dirinya yang menentukan seseorang layak menduduki majelis adat. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi.
“Ya, Puji Tuhan. Sejak 10 tahun berkelanjutan itu, (saya) melakukan suatu pengkaderan atau regenerasi. Ada pembelajaran yang saya berikan kepada gerenasi baru,” katanya.
Ani mengaku senang ada perempuan lain yang bisa berkontribusi banyak lewat lembaga adat.
Sebab Ani menyebutkan dalam pandangan adat, Suku Pamona sangat mengakui peran dan posisi perempuan. Ada banyak peran penting di tangan perempuan.
“Karena di mata adat, perempuan itu mempoliminati ada. Kalau bahasa indonesianya, perempuan itu pemilik adat. Tubuh perempuan itu hakikatnya adat,” imbunya.
Dia pun menerangkan bahwa di mata adat Pamona, perempuan memiliki peran penting dalam masyarakat dan menurutnya masih dipegang teguh hingga hari ini.
Perempuan menentukan segala sesuatu di dalam rumah, termasuk memutuskan kapan mula berkebun.
Begitu pula dalam kelembagaan adat. Sejumlah hukum adat, menurut Ani, sangat berpihak kepada perempuan.
Ini terjadi bukan karena ada perempuan di dalam majelis adat, tapi karena sejak nenek moyang hukum tersebut sudah seperti itu.
Buah simalakama
Ani yang menjadi aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sejak 2007 ini menjelaskan majelis adat Suku Pamona bersifat egaliter.
Para anggota yang masuk dalam kepengurusan majelis—totalnya tujuh orang—memiliki fungsi yang sama.
Mereka bisa melakukan sidang adat untuk berembuk dan memutuskan siapa yang akan menjadi hakim serta menduduki peran lain.
Ani mengatakan, jabatan ketua, sekretaris, dan bendahara hanya bersifat formalitas pada saat pelantikan atau penetapan pengurus majelis adat.
“Dalam kelembagan itu, tidak ada yang namanya ketua. Ini berfungsi sama, anggota, ketua sekaligus anggota, bendahara sekaligus anggota, sekretaris sekaligus anggota,” terangnya.
Namun, dalam keseharian sebagai pengurus majelis adat di masa lalu, Ani mengakui dirinya diamanahi mengemban tugas sebagai tomaniu.
Dalam bahasa modern, menurutnya, tomaniu ini selevel dengan bendahara lembaga.
Salah satu tugas tomaniu mengakomodir sanksi-sanksi adat yang dijatuhkan kepada pelanggar.
Contohnya mengatur denda adat yang diperuntukkan untuk desa, untuk lembaga, dan untuk orang yang berhak menerima denda adat.
“Nah, yang paling utama itu peran seorang pomaniu. Melakukan ritual -ritual serta melakukan seremonial. Seremonial untuk tiap kejadian,” tambahnya.
Peran yang diemban oleh Ani menuntutnya bersikap tegas dalam penegakan aturan adat. Sikap ini membawanya seakan merasakan buah simalakama.
Ani berkisah, sekitar 2018 -2019, cucu perempuannya mengalami hamil di luar nikah dan membawanya dalam situasi sulit nan dilematis.
Dia menyebut kejadian cucunya itu dengan istilah “jatuh dalam interaksi kehidupan sebagai perempuan”.
Cucu perempuan Ani mengandung bayi setelah tamat SMA meski belum menikah secara resmi, baik nikah adat maupun nikah agama.
Situasi ini membuatnya perannya sebagai nenek yang menyayangi cucu dan sebagai tomaniu.
Dihadapkan dengan kenyataan itu, Ani langsung bertindak cepat. Dia lantas menemui pengurus majelis adat, mulai dari tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten.
Ani sempat menyatakan mundur dari posisinya di lembaga adat. Permintaannya itu tak dikabulkan.
Ani kemudian diberikan solusi agar nonaktif dari posisinya tanpa harus mundur sepenuhnya, sembari menyelesaikan permasalahan cucunya.
Perempuan yang telah memiliki empat orang cucu dan seorang cicit ini kemudian melakukan perenungan mendalam.
Dia merasa tidak lagi pantas berada di lembaga adat yang secara hakikat mengatur tata hidup dan norma di tengah masyarakat.
Dirinya merasa tidak lagi bisa menjadi contoh yang baik.
“Secara interaksi sosial, saya merasa (sebagai) batu sandungan di masyarakat. Apa yang saya mau bilang sama masyarakat, sementara cucu saya yang melakukan kesalahan itu,” ungkap Ani mengenang masa-masa sulitnya dulu.
Tibalah saat denda adat harus dijatuhkan. Ani mengaku selama nonaktif sebagai tomanilu masih memegang teguh aturan adat.
Dia tidak menikahkan cucunya secara adat. Sebab hukum adat tidak mengakui perbuatan hamil di luar nikah.
Tentu sebuah keputusan yang tak mudah. Bukan hanya bertentangan dengan rasa cintanya kepada cucunya, tapi juga harus bertentangan dengan keinginan suaminya.
Sang suami mendesak Ani agar menikahkan cucu mereka secara adat sebagai bentuk pertanggungjawaban sang lelaki.
Ani mengakui, jauh di lubuk hatinya ingin agar sang cucu bisa dinikahkan secara adat.
Namun, sebagai tomaniu aturan adat tetap harus dijalankan demi kepentingan penegakan hukum.
“Makanya mengapa itu saya tegarkan hatiku. Karena saya pikir lebih baik saya tidak nikahkan secara adat daripada dinikahkan untuk mencelakakan. Lebih panjang persoalannya. Itu yang saya lihat,” tegas Ani.
Sanksi adat terhadap cucunya juga mencakup pengasingan dan membayar denda hewan, termasuk melakukan ritual pemotongan hewan babi sebagai “cuci kampung”.
Cucunya harus membayar denda hewan yang diuangkan sebanyak Rp3 juta. Begitu juga dengan laki-laki yang menghamilinya.
Sementara untuk pengasingan, dilakukan selama tiga bulan hingga anak yang dikandung hampir dilahirkan, termasuk pengasingan dari kegiatan peribadatan dan kegiatan sosial.
Pun demikian, cucunya tetap dinikahkan secara agama.
“Memang buah simalakama. Tidak dimakan mati papa, dimakan mati mama. Memang mempertahankan dan menegakkan sesuatu itu kita akan dimusuhi orang,” ucap Ani yang lahir di Masewe pada 12 April 1963 ini.
Hukum adat masih kuat
Di Desa Tampemadoro, aturan adat masih kuat dan dipegang teguh oleh masyarakat. Adat masih mengatur interaksi sosial dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Norma pun bersandar pada ketentuan adat, khususnya penerapan sanksi adat.
Selain kasus hamil di luar nikah, Ani juga pernah berhadapan dengan kasus perselingkungan. Korbannya mahasiswi, sementara pelakunya seorang pria beristri.
Sang perempuan, warga Tampemadoro, menuntut ilmu di perguruan tinggi di Kota Palu. Selama merantau untuk merampungkan studi, sang perempuan yang indekos mendapatkan perhatian dari sang pria. Akhirnya mereka "bercampur" hingga terjadi kehamilan.
Dalam kaca mata adat, sang perempuan tidak boleh dinikahkan secara adat karena sang pria telah memiliki istri. Alhasil anak hasil hubungan mereka akan menjadi “anak mama”.
Namun dari segi denda, waktu itu Ani mengingat menjatuhkan denda adat lebih besar kepada laki-laki ketimbang perempuan.
Sang pria harus membayar denda adat sebanyak tiga ekor kerbau dan tiga ekor sapi. Sementara sang perempuan membayar denda kampung seekor sapi. Bila dirupiahkan, seekor kerbau senilai Rp15 juta.
Ani mengungkapkan selama 10 tahun menjadi anggota lembaga adat, dia memperhatikan masyarakat di desanya masih mempertahankan dan menerapkan nilai-nilai adat dan budaya, termasuk masih menerapkan sanksi pelanggaran adat.
“Inilah yang menjadi salah satu ciri khas masyarakat adat, karena mereka masih hidup dalam tatanan adat istiadat itu sendiri,” jelas Ani.
Dalam era modern ini, Ani juga tidak menampik bila desanya sudah lebih terbuka dengan pendatang. Saat ini sekitar 10 persen warga desanya ada yang berasal dari suku lain dan berbaur dengan warga asli.
Dia pun tidak menampik adanya interaksi dan pertukaran budaya. Olehnya, ada beberapa perubahan yang dilihatnya. Namun, masih termasuk minor.
Misalnya, perubahan dalam sisi saling gotong-royong bila ada pesta dukaan ataupun pesta suka. Di masyarakat Pamona, kedukaan bisa berlangsung selama tujuh hari. Dahulu, kata Ani, akan banyak orang saling membantu. Begitu pun dengan pesta suka, semisal pernikahan.
Ani menyebut kini orang lebih bergantung pada jasa katering, ketimbang bahu membahu memasak. Di satu sisi memang lebih praktis, tapi di sisi lain menggerus nilai-nilai kebersamaan.
“Nah, dengan perkembangan zaman dan canggihnya teknologi, sekarang nilai-nilai sintuvu maroso itu hampir tidak kelihatan lagi. Karena terlalu banyaknya kesibukan orang. Contoh konkret, misalnya di kejadian duka atau suka itu,” ungkapnya.
Kekhawatirannya itu boleh jadi masih tertutup dengan rasa optimismenya soal ketahanan adat di masyarakatnya. Pasalnya, Ani mengungkapkan anak muda di Kabupaten Poso saat ini masih menaruh minat terhadap kelestarian adat di Tanah Poso.
Sejak empat tahun yang lalu, dalam skop besar, Ani melihat di kampus-kampus dan sekolah-sekolah di Kabupaten Poso telah diperkenalkan adat, budaya, dan bahasa asli Kabupaten Poso. Saat itu, kenang Ani, dia bersama pengurus lainnya bekerjasama dengan pemerintah daerah
“Misalnya, ada hari-hari tertentu di instansi pendidikan dan lainnya itu harus memakai atribut adat. Waktu itu saya sebagai pengurus AMAN di periode itu, sekaligus lembaga adat dan menjadi jembatan untuk berkomunikasi dengan pemerintah kabupaten pada periode itu,” paparnya.
Saat ini Ani sedang berfokus mendirikan Sekolah Alam Dongi-Dongi di Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso. Mereka sedang dalam tahapan riset dan mengumpulkan donatur. Ani mengaku mendapatkan dukungan dari Wakil Bupati Poso Yasin Mangun.
Ani berniat mengabdikan diri untuk membagikan pengetahuannya tentang adat dan juga pemeliharaan lingkungan melalui sekolah ini. Dia akan mentransfer ilmu dan kearifan nenek moyang yang diketahuinya kepada generasi muda di Kabupaten Poso.
Selain itu, Ani juga sedang menikmati proses berkebun. Ia membangun kebun obat-obatan dan juga menanam berbagai jenis pangan. Dia ingin mengajarkan dan mendorong masyarakat sekitarnya agar bisa mempertahankan obat-obatan dan pangan lokal.
Liputan ini merupakan hasil kerja sama Tutura.Id bersama Project Multatuli untuk serial #MasyarakatAdat dan #PerempuanAdat
jendela perempuan adat perempuan adat adat AMAN Kabupaten Poso Tampemadoro Suku Pamona Pamona