Kontroversi wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa
Penulis: Robert Dwiantoro | Publikasi: 24 Januari 2023 - 22:49
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Kontroversi wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa
Demo kepala desa menuntut perpanjangan masa jabatan hingga sembilan 9 tahun, Selasa (17/1/2023) di Gedung DPR RI Jakarta. | Foto: Dokumentasi Parlemantaria

Ribuan kepala desa mengelar demonstrasi di depan Gedung DPR-RI pada pekan lalu, 17 Januari 2023. Mereka menuntut revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tembakan utamanya ialah mendesak perpanjangan masa jabatan kepala desa.

Mereka yang bikin aksi tergabung dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia. Ada pula kelompok yang menamakan dirinya sebagai Kades Indonesia Bersatu alias KIB.

Hal ihwal masa jabatan kepala desa sudah termaktub dalam Pasal 39 UU Desa. Merujuk aturan tersebut, seseorang bisa menjabat kepala desa selama enam tahun, serta boleh pegang posisi tersebut hingga tiga periode—secara berturut-tutut ataupun tidak.

Kini para kepala desa mendesak agar masa jabatan tersebut diperpanjang selama sembilan tahun, dan tetap boleh duduk di kursi kekuasaan sampai tiga periode. Dengan kata lain, bila tuntutan itu terwujud, seorang kepala desa bisa memimpin hingga 27 tahun. 

Para kepala desa berdalih bahwa masa jabatan enam tahun terlalu singkat, dan rawan konflik. Konon konflik itu acap kali berhulu dari polarisasi di sekitar pemilihan kepala desa (pilkades). Kala polarisasi terjadi, kepala desa terpilih kesulitan menggandeng kandidat yang tersisih, sehingga terbitlah kerumitan untuk mendorong kerja sama membangun desa.

Hal senada terdengar dari Ahyan Hi. Landu, Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Sulawesi Tengah, saat berbincang dengan Tutura.Id lewat sambungan telepon, Selasa (24/1/2023). 

“Setelah pilkades itu biasanya langsung turun tangan selesaikan konflik politik dengan calon lain dan para pendukung. Kadang kami tidak dianggap,” ungkap kepala desa Ampibabo, Parigi Moutong tersebut.

Ia juga mengeluhkan pelbagai tekanan yang kadang bikin waktu enam tahun dirasa kurang untuk bekerja secara efektif. “Seperti intimidasi dari oknum pemerintah kecamatan dan kabupaten,” katanya.  

Aparat desa memang posisi strategis. Terutama bagi mereka yang mengincar jabatan politik, baik di eksekutif maupun legislatif. Sudah jadi rahasia umum, bila ajang pilkades kerap jadi arena politik buat para politisi di level yang lebih tinggi. Pun sebaliknya, saat hajatan politik macam pilkada atau pemilu, mobilisasi suara yang dilakukan kepala desa jadi ancaman serius.  

Di sisi lain, dengan pengaruhnya yang luas, para kepala desa percaya tuntutan mereka akan terpenuhi. Dalam sebuah video viral di medsos, beberapa kepala desa bahkan melempar ancaman akan menggembosi partai politik yang tidak mengakomodir tuntutan mereka.

“Partai politik yang tidak mendukung, kita habisi di desa,” demikian kutipan dalam video viral tersebut. CNN Indonesia mengutip pernyataan senada dari sejumlah kepala desa dari Pulau Madura, Jawa Timur. Perkataan macam itu kental muatan politis; padahal aturan sudah melarang para kepala desa untuk terlibat dalam hajatan politik. 

Adapun Ketua DPR-RI, Puan Maharani enggan buru-buru menyepakati perpanjangan masa jabatan kepala desa. Puan bilang untuk melakukan revisi undang-undang dibutuhkan kesepakatan antara pemerintah dan anggota legislatif. 

“Jadi kemarin sudah kita terima aspirasinya, sudah kita dengarkan apa yang diinginkan, apa manfaatnya untuk rakyat. Jadi itu yang akan kita cerna dulu, kita bahas, dan tentu saja dikaji secara mendalam,” ujar Puan.   

Wacana subjektif, bahaya bagi demokrasi

Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa juga menuai reaksi negatif dari sejumlah pihak. Salah satunya datang dari Persatuan Anggota Badan Permusyawaratan Desa Seluruh Indonesia (PABPDSI), organisasi tempat bernaung para anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD)—semacam DPR di tingkat desa.

“Perubahan UU Desa, semata–mata bukan untuk kepentingan seorang kepala desa, melainkan untuk memperbaiki kualitas kepemimpinan demi mencapai kesejahteraan masyarakat di desa,” kata Roike Lambidju, Ketua PABPDSI Kabupaten Banggai, ketika dihubungi Tutura.Id, Senin (23/1/2023).

Roike bilang bahwa perpanjangan masa jabatan juga bisa mengganggu proses demokrasi dan regenerasi politik di level akar rumput. “Waktu sembilan tahun belum tentu menjamin kinerja kepala desa lebih baik,” ujar Ketua BPD Desa Pongian, Kabupaten Banggai itu.

Pengajar studi pemerintahan dari Universitas Tadulako, La Husen Zuada menyebut bahwa ada kecenderungan subjektivitas dalam tuntutan para kepala desa. Menurut Husen, revisi UU Desa harusnya bersandar pada kepentingan masyarakat. 

“Permintaan revisi UU 6/2020 mestinya jadi alat bagi kepala desa untuk menyelesaikan masalah objektif seperti kemiskinan dan korupsi,” katanya kepada Tutura.Id (23/1/2023).

Merujuk catatan Badan Pusat Statistik, persentase penduduk miskin memang lebih banyak di desa. Pada semester kedua 2022, persentase penduduk miskin di perdesaan mencapai 12,36 persen; berbanding 7,53 persen di perkotaan. 

Perkara korupsi di desa juga mengkhawatirkan. Sepanjang 2012-2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani 601 kasus korupsi di desa. Dari total kasus tersebut ada 686 aparat pemerintah desa yang terlibat. 

Husen pun menambahkan bahwa wacana perpanjangan masa jabatan ini bernuansa politis dan hanya akan menguntungkan segelintir pihak. Partai politik misalnya bisa menjadikan wacana ini sebagai jualan dalam kampanye jelang Pemilu 2024.

Bila pun kesulitan untuk menangani polarisasi lepas pilkades, menurut Husen, tak perlu sampai menuntut perpanjangan masa jabatan. Ia pun mengajukan opsi lain untuk meredam gejolak pasca pilkades di akar rumput. 

“Salah satunya pemilihan bisa lewat musyawarah langsung, teknis pemilihan bisa mengacu peraturan daerah atau peraturan turunan dari pemerintah pusat. Hal ini juga bisa meminimalisir biaya politik di desa,” ujarnya.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
1
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Fraksi Bersih-Bersih meminta Pemda Sulteng serius menangani krisis iklim
Fraksi Bersih-Bersih meminta Pemda Sulteng serius menangani krisis iklim
Bukan hanya sampah plastik yang jadi momok bagi lingkungan, tapi juga suburnya industri ekstraktif yang…
TUTURA.ID - Ramai perkara catut nama dalam pencalonan senator di Sulteng
Ramai perkara catut nama dalam pencalonan senator di Sulteng
Dengan sampel terbatas, ada ratusan kasus comot nama dan dukungan di Sulteng. Sanksi administrasi hingga…
TUTURA.ID - Tiga pasangan capres adu ramai memenuhi iklan luar ruangan
Tiga pasangan capres adu ramai memenuhi iklan luar ruangan
Menjelang Pilpres 2024, potret wajah tiga pasangan capres-cawapres hadir makin ramai mengisi area publik, termasuk…
TUTURA.ID - Kaleidoskop 2022: Sosial Politik
Kaleidoskop 2022: Sosial Politik
Beragam peristiwa terjadi dari ranah sosial politik. Kami menyarikan mulai dari program pemberian vaksin booster…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng