
Herry Wirawan, oknum guru pemerkosa 12 santriwati divonis mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung. Ada juga Moch Subchi Azal Tsani alias Bechi, anak seorang pemuka agama di Jombang, yang divonis tujuh tahun penjara karena memerkosa sekurang-kurangnya lima korban.
Kisah pilu lain datang dari Novi Widyasari Rahayu, yang memilih mengakhiri hidup di samping makam ayahnya, lantaran dipaksa melakukan aborsi oleh pacarnya, Randy Bagus--kala itu berstatus polisi aktif.
Tiga kasus itu bolah jadi akan melekat di ingatan publik sebagai rentetan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada tahun 2022. Di Sulawesi Tengah, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak juga kerap memenuhi ruang pemberitaan media.
Sekadar menyebut contoh: Peristiwa guru pukul dua pelajar SMA di Poso; dan kasus rudapaksa selama 13 tahun yang menimpa seorang remaja di Buol.
Merujuk statistik SIMFONI PPA, dalam kurun waktu 2020-2022, angka kekerasan di Sulteng terus meningkat. Bahkan naik drastis, yakni: 374 kasus (2020), 581 kasus (2021), dan 664 kasus (2022). Dengan kata lain, dari tahun 2020 ke 2023, jumlahnya bertambah sebanyak 290 kasus alias setara 77,4 persen.
Dari 664 kasus pada 2022, korban perempuan berjumlah 607 orang, angka ini setara 91,41%. Selebihnya ialah korban laki–laki.
Adapun SIMFONI merupakan akronim dari sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak. Sistem ini dikelola langsung oleh Kementerian Perempuan dan Anak.
Kenaikan angka kasus kekerasan ini sebenarnya bisa dilihat sebagai sinyal positif. Pasalnya, kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak lebih sering terjadi di ruang-ruang privat. Pelakunya juga seringkali berada di lingkar terdekat. Alhasil ada keengganan untuk melaporkan kasus.
Tak heran bila kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sering dilukiskan dengan frasa "fenomena gunung es". Apa-apa yang terlihat di permukaan menunjukkan sesuatu yang lebih besar pada level bawah.
Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Sulteng mengamini kenaikan kasus tersebut sebagai sinyal positif.
"Jika kita mencermati peningkatan kasus dari tahun ke tahun tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat semakin sadar dan mau melaporkan kekerasan yang dialami," ujar Patricia Yabi, Kepala UPTD PPA Sulteng.
Statistik tersebut juga disambut positif oleh Dewi Rana, Direktur Eksekutif LiBu Perempuan. "Laporan SIMFONI PPA itu cukup valid. Kasus meningkat tidak serta merta karena kasusnya bertambah, kemungkinan ada banyak yang sudah berani melapor," ujarnya.
KDRT dan kekerasan seksual mendominasi
Catatan kekerasan terhdap perempuan dan anak juga bisa ditengok dari jumlah kasus yang ditangani oleh LiBu Perempuan Sulteng. Selama ini, LiBu Perempuan Sulteng memang dikenal sebagai salah satu organisasi nonpemerintah yang berfokus pada isu-isu keperempuanan.
Sepanjang 2022, LiBu Perempuan Sulteng telah menangani 68 kasus; 19 kasus lebih banyak dari periode 2020-2021. Mereka mencatat dua kasus yang angkanya di atas 10 (baca: mendominasi), yakni kekerasan dalam rumah tangga (33 kasus), dan pelecehan seksual (11 kasus).
"Temuan kami sejauh ini, KDRT lebih banyak terjadi di lokasi hunian sementara (huntara). Faktor ekonomi dan penyalahgunaan narkoba yang jadi musababnya," ujar Dewi.
Kencenderungan itu juga sejalan dengan statistik SIMFONI PPA, yang menyebut kekerasan seksual paling dominan dengan angka 310 kasus (49,9%). Selanjutnya ada kekerasan fisik (28,3%), dan kekerasan psikis (22,8%).
SIMFONI PPA juga menemukan bahwa rumah tangga jadi tempat paling dominan dalam kekerasan dengan 421 kasus. Pun hubungan antara pelaku dan korban kekerasan didominasi suami-istri. Angkanya mencapai 148 kasus.
Kasus KDRT memang dilematis, VOA Indonesia pernah melukiskan kompleksnya perkara ini dengan ungkapan, "Berpisah enggan, bertahah tapi penuh siksaan."
Adapun tentang kekerasan seksual, Komnas Perempuan menyebut bahwa perempuan cenderung lebih sulit untuk mengungkap dan melaporkannya.
"Perempuan dianggap sebagai simbol kesucian dan kehormatan, karenanya ia kemudian dipandang menjadi aib ketika mengalami kekerasan seksual, misalnya perkosaan. Korban juga sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual," demikian pandangan Komnas Perempuan.
Perempuan Anak Kekerasan Seksual Sulteng SIMFONI PPA Komnas Perempuan DP3A Sulteng KDRT

