Sedikitnya tiga buah video beredar di media sosial menampilkan kondisi banjir bandang yang melanda kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), tepatnya di area pabrik smelter yang berlokasi di Kecamatan Bahodopi, Selasa (25/4/2023) malam.
Berdasarkan laporan Kepolisian Resor (Polres) Morowali, banjir disebabkan oleh hujan dengan intensitas lebat yang mengguyur sejumlah wilayah di Morowali, termasuk di kawasan IMIP pada hari yang sama.
“Iya, tadi malam karena curah hujan yang lumayan tinggi makanya air meluap. Begitu hujan reda tadi malam, air langsung surut juga,” kata Kapolres Morowali AKBP Suprianto dilansir CNNIndonesia.com, Rabu (26/4).
Tak hanya di area pabrik, banjir turut menerjang kawasan permukiman warga di Desa Bahomakmur dan Labota. Dalam salah satu potongan video, terlihat empat orang pekerja dan sebuah mobil bus berusaha melintasi banjir—seorang pekerja bahkan sempat terseret arus banjir yang ketinggiannya mencapai pinggang orang dewasa.
Berbeda dengan keterangan pihak kepolisian, dalam sebuah unggahan video akun TikTok @kajokangin, seorang pekerja IMIP menyebut peristiwa banjir yang terjadi di bagian Blok E Bahomakmur kerap terjadi meski hujan turun tidak berdurasi panjang.
“Asal density air hujan deras pasti mengakibatkan banjir di wilayah tersebut. Akan tetapi, karena derasnya hujan dan tingginya debit air, ditambah kurangnya penyerapan, seringkali bendungan dan sentlipon tidak mampu menahan arus air,” ungkap pekerja PT Guang Ching Nickel dan Stainless Steel (GCNS) ini.
Sekadar pengingat, kurun setahun terakhir sedikitnya telah terjadi tiga kali banjir di lokasi mega proyek industri tambang dan pemurnian nikel terkemuka di Sulteng ini.
Peristiwa serupa juga terjadi pada 23 April 2022. Kala itu sebuah tanggul kolam di kilometer 2 milik PT IMIP jebol dan mengakibatkan ratusan rumah warga terendam. Salah satu kendaraan bermotor milik warga bahkan hanyut terbawa arus banjir.
Berselang hanya beberapa bulan kemudian, tepatnya 6 Juli 2022, banjir kembali terjadi dan menggenangi permukiman warga Desa Bahomakmur yang berdekatan dengan area konsesi tambang PT IMIP—lokasi yang sama dengan kejadian banjir belum lama ini.
Bila ditarik mundur 3-4 tahun sebelumnya, kondisinya bahkan lebih parah dari saat ini. Tercatat dari empat kali peristiwa banjir bandang, lebih dari 1.000 jiwa harus mengungsi—dua di antaranya merenggut nyawa—termasuk sejumlah fasilitas umum dan pemerintahan yang terendam lumpur.
Akibat eksploitasi hutan menjadi kawasan industri estraktif
Dua organisasi pemerhati lingkungan, yakni Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulteng, bahkan punya penilaian berbeda ihwal kejadian banjir bandang yang acapkali menerjang Morowali, khususnya di wilayah lingkar tambang IMIP.
“Banjir yang terus berulang ini bukan hanya soal curah hujan yang tinggi. Faktor paling krusial adalah berubahnya bentang alam yang dulu sebagai wilayah penyangga, sekarang berubah menjadi wilayah kawasan industri. Sehingga menurunkan daya dukung dan daya tampung di wilayah tersebut yang menyebabkannya terus dilanda banjir,” kata Koordinator JATAM Sulteng Moh. Taufik dalam keterangan tertulis kepada Tutura.Id, Rabu (26/4).
Pernyataan Taufik agaknya rasional, apalagi Sulteng tercatat sebagai daerah peringkat kesembilan nasional soal melenyapkan pohon. Kita ketahui bersama pohon berperan penting dalam menyangga sebuah daerah agar tidak terdampak banjir.
Berdasarkan laporan Global Forest Watch, antara 2001-2021, Sulteng telah kehilangan 745 ribu hektare tutupan pohon atau sekitar 3,86 hektare per jam. Tutupan pohon itu mencakup tiga kategori: natural forest (hutan), plantations (perkebunan), dan area nonhutan. Di Sulteng, sekitar 88 persen tutupan pohon bersumber dari hutan.
Parahnya sekitar 149 hektare tutupan pohon yang lenyap berasal dari Morowali. Angka itu setara 20 persen dari luasan tutupan pohon yang hilang. Banggai dan Tojo Una-Una merupakan daerah di Sulteng yang paling banyak mengalami kehilangan tutupan hutan. Masing-masing kehabisan 111 ribu hektare dan 104 ribu hektare.
Soal kehilangan tutupan pohon, terutama di Morowali, juga diamini oleh WALHI Sulteng. Organisasi nonpemerintah ini bahkan menilai bencana banjir secara berulang yang terjadi di Morowali justru terjadi akibat keberadaan industri ekstraktif di sana.
“Banjir terus hadir akibat penghilangan hutan dari ekspansi wilayah konsesi tambang di hulu pertambangan. Pelbagai kerugian ekologis, sosial, dan ekonomi harus ditanggung oleh warga dan pekerja yang bermukim di daerah lingkar tambang,” ujar Aulia Hakim, kepala departemen kampanye dan advokasi WALHI Sulteng, kepada Tutura.Id.
Dalam catatan WALHI Sulteng, khusus tahun 2021, sudah ada 12 perusahaan yang mengantongi izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP-OP) di Morowali. Total luasan konsesinya sekitar 52.000 hektare.
Bulan lalu Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Morowali bahkan telah menyetujui pelepasan kawasan hutan dalam rangka pengembangan kawasan industri di IMIP. Dalam rekomendasi Pemkab Morowali, luasan hutan yang diproses untuk dikeluarkan dari kawasan hutan mencapai 2.156 hektare.
Menanggapi peristiwa banjir bandang ini, JATAM Sulteng merekomendasikan tiga hal; melakukan audit lingkungan secara konperehensif; pemerintah harus mengadopsi peraturan dan standar lingkungan yang ketat bagi IMIP; dan terakhir pemerintah wajib memikirkan keberlanjutan lingkungan yang terdampak, alih-alih mengejar pendapatan di sektor tambang.
WALHI Sulteng dalam pernyataannya mendesak IMIP segera mengakui kejahatan lingkungan yang mereka lakukan. Pun mendesak pemerintah menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan dan membayar segala kerugian akibat bencana ekologis yang selama ini terjadi di Morowali.
banjir bandang banjir Indonesia Morowali Industrial Park IMIP Morowali Sulteng penyebab