Sony Tandra dan mimpinya mengangkat derajat kaum tani
Penulis: Robert Dwiantoro | Publikasi: 14 Januari 2023 - 14:58
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Sony Tandra dan mimpinya mengangkat derajat kaum tani
Sony Tandra, Anggota DPRD Sulteng dari Partai NasDem. (Foto: Dokumentasi DPRD Sulteng)

Setelah tiga hari mengobrol via WhatsApp, Sony Tandra, akhirnya mengiyakan permintaan Tutura.Id untuk interviu.

Kami bersua dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Tengah itu di kediamannya, Jalan Rajawali, Palu Timur, Kamis sore (12/1/23).

Selama mengobrol, pria kelahiran 17 Januari 1959 ini sesekali melempar canda dan tertawa lepas. Tak jarang, bila sedang berpikir, air wajahnya akan terlihat lebih serius; sesekali merenung, dan sejurus kemudian bakal melempar pernyataan-pernyataan nan lugas.

Sony mengaku bahwa semula dirinya tak punya niatan terjun ke arena politik. Semasa muda, politik baginya sekadar tontonan layar kaca dan bacaan surat kabar. “Saya orangnya suka membaca dan cari informasi, terutama yang ada politiknya. Seperti Tempo atau 'Dunia Dalam Berita' (TVRI), tapi sebatas itu,” ungkapnya.

Anak pasangan Kiu Tandali dan Lisa Lieputra terlahir dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang tukang reparasi jam. Dengan latar itu, bagi Sony, menjadi politisi bukan harapan yang masuk akal.

“Masa muda saya banyak dihabiskan di Bonesompe (kelurahan di Poso) atau Poso Kota," kenang Sony. "Pokoknya dari SD sampai SMA, tak punya keinginan lain selain bantu–bantu orang tua."

Sony muda sudah cukup puas bila punya kesempatan bertanam kelapa kampung. Itu pun sudah di luar kebiasaan warga etnik Tionghoa, yang lazimnya berdagang. Dengan nada humor, Sony kasih komentar soal stereotipe itu, “Tidak ada tantangan, karena sebatas duduk menunggu pembeli."

Pada satu momen arah hidupnya berbalik. Ia dapat tawaran proyek yang kelak jadi batu loncatan baginya untuk meniti karier sebagai kontraktor.

Sony Tandra dalam salah satu momen kunjungan ke daerah pemilihannya. Ia bilang berbeda rasanya antara "menghkhayalkan rakyat dari ruangan" dan "turun di lapangan." (Foto: Istimewa)

Awal mula menjadi pengusaha

Alumni Universitas Sintuwu Maroso Poso ini masuk dunia kontraktor lewat cara tak terduga.

Saat duduk di kelas 2 SMA, ia tiba-tiba ditawarkan proyek senilai Rp9 juta untuk pengerjaan pagar tembok Gereja Pniel di Poso. Pada era 1970-an, kata Sony, uang sebanyak itu bisa beli tiga Hardtop, satu tipe mobil beken di jamannya.

Berkat ketelatenan dan ketelitian, Sony menuntaskan proyek dengan realisasi Rp6 juta. Sisanya jadi benefit. Momen itulah yang memantapkan hatinya sebagai kontraktor. 

Pada 1991, ia berjumpa Eva Rantung, perempuan yang berprofesi sebagai bankir. Perempuan berdarah Minahasa dan Bada itu kelak jadi istrinya. Setelah menikah, Sony dan Eva pindah ke Palu.

Peruntungan Sony mengkilap saat dapat tawaran proyek pengaspalan jalan di Poso senilai Rp159 juta. Bermodalkan satu perusahaan kecil, ia coba mengerjakannya.

Meski berposisi sebagai bos dalam perusahaan, Sony enggan berdiam diri. Berhari–hari, di bawah terik matahari, ia berperan jadi mandor; bahkan tak sungkan jadi operator alat berat. Kerja keras itu, kata Sony, guna memastikan proyek berjalan lancar dan menghemat biaya. 

Bagi Sony, dunia kontraktor tak sekdar perkara teknis lapangan. Lebih dari itu, dunia usaha ialah bisnis berbasis kepercayaan. Bapak empat anak ini selalu bekerja keras merealisasikan proyek tepat target. Baginya, tiap proyek adalah amanah yang harus ditunaikan. 

Memutuskan masuk gelanggang politik

Sony sebenarnya sudah berada di zona nyaman sebagai kontraktor. Ia masuk politik lantaran "dipaksa" oleh keadaan.

Pasalnya, semasa Orde Baru, pengusaha berlatar minoritas etnik acap kali diperhadapkan dengan dilema. Bila tak berpihak pada kekuasaan, bisnis bisa pupus. Sedangkan masuk dunia politik berarti pula harus bersiap merogoh kocek dalam-dalam untuk menghidupi partai.

Sony ambil jalan aman. Ia berhitung cermat saat masuk gelanggang politik. Tiang pancang politiknya mulai tertanam saat ditunjuk jadi bendahara Partai Golkar Poso.

Ketika Orde Baru kian keropos, Poso dilanda konflik kemanusiaan. Sony pun banyak bergerak membantu para korban kerusuhan.

Di titik lain, dinamika Partai Golkar Poso membuat Sony terpinggirkan. Ia mendirikan Forum Generasi Muda Poso (FGMP) di Palu, sebagai kekuatan yang ambil posisi kontra dengan Partai Golkar Poso. Belakangan, Sony sadar tindakan itu terlalu pragmatis lagi oportunis. 

Jelang Pemilu 2004, Sony sempat diajak gabung Partai Damai Sejahtera (PDS). “Saya menolak karena politik identitas. Seolah-olah semua yang kristen wajib masuk PDS,” katanya.

Kala bicara tentang sosok yang jadi inspirasi dan banyak memengaruhinya dalam politik, Sony menyebut nama Abdul Azis Lamadjido, Gubernur Sulteng (1986-1996).

“Sebagai politisi, jangan lihat orang dari tampilan, atau pandang sebelah mata karena cuma pakai sandal jepit, bisa jadi orang ini lebih sukses di masa depan,” ujar Sony, mengenang pesan mendiang Azis.

Sony Tandra (mengenakan batik) sudah empat periode menempati satu kursi di DPRD Sulteng. Pertanian dan kaum tani, kata Sony, jadi fokus utamanya selama jadi wakil rakyat. (Foto: Facebook Sony Tandra) 

Tiga partai berbeda dalam empat periode

Jelang Pemilu 2004, Sony menambatkan pilihan politik kepada Partai Patriot Pancasila (Partai Patriot). Kekuatan politik ini lahir dari rahim Pemuda Pancasila. Tokoh utamanya ialah Japto Soerjosoemarno, ketua umum Pemuda Pancasila sejak 1981 hingga kini. 

Partai tersebut beroleh suara signifikan di Sulteng pada Pemilu 2004 dan 2009. Sony yang menempati nomor urut 1 dari daerah pemilihan Poso, Tojo Unauna, dan Morowali selalu berhasil melenggang ke DPRD Sulteng.

Pada 2010, Sony mencoba masuk jalur eksekutif dengan maju Pilkada Poso, tapi kalah bersaing dengan Piet Inkiriwang (petahana).

Menyongsong Pemilu 2014, Partai Patriot meredup. Sony akhirnya pindah ke Partai Gerindra. Tak tanggung-tanggung, Sony didapuk sebagai salah satu wakil ketua DPD Gerindra Sulteng. Di bawah panji Garuda Emas, Sony kembali melenggang ke DPRD Sulteng.

Belum rampung satu periode (2014-2019), Sony menyeberang ke Partai NasDem. Pada Pemilu 2019, dengan torehan suara lebih dari 14 ribu, Sony kembali kunci satu kursi DPRD Sulteng dari daerah pemilihan andalannya (Dapil 5), yang meliputi Poso, Tojo Unauna, Morowali, dan Morowali Utara. 

Alhasil Sony jadi satu–satunya politisi Sulteng yang dalam empat periode berturut–turut (20 tahun) bisa melenggang ke parlemen meski pakai tiga seragam partai berbeda.

Berfokus perjuangkan kaum tani

Sony menyebut bahwa isu pertanian dan kaum tani jadi fokus utamanya selama jadi wakil rakyat. Ketua Komisi III DPRD Sulteng ini banyak menghabiskan waktu kunjungan lapangannya dengan berjumpa dan bercerita dengan petani. 

“Rasanya beda ketika hanya berkhayal di ruangan tentang kondisi masyarakat, dibanding turun langsung,” ujar Sony. ”Makanya jangan heran kalau tiap minggu, selalu muncul foto di medsos, saya ketemu petani atau kebetulan lagi di areal kebun atau sawah.”

Sony bermimpi kelak para petani bisa naik derajat dan lebih sejahtera. Pertanian, serupa sosok ibu, ialah sektor dasar yang akan memastikan tiap perut anak bangsa bisa terisi.

Pembangunan infrastruktur penunjang sektor pertanian jadi perhatian utama Sony. Menurutnya, bila infrastruktur penghubung atau irigasi pertanian dibangun dengan bagus, maka siklusnya bisa menghidupkan ribuan jiwa.

Setahun lalu, ada satu kejadian yang bikin Sony merasa tertantang sebagai wakil rakyat. 

Bermula dari permintaannya untuk memperbaiki jalur Sungai Tambarana yang membelah Kecamatan Poso Pesisir ditolak oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Sulteng.

Sungai Tambarana kerap meluap. Bila hujan, airnya menggenangi persawahan warga. “Saya sedih waktu ingat penuturan warga. Dorang tidak panen delapan kali. Ini setara empat tahun. Luas lahan pertanian mereka sekitar 700 hektare tersebar di tiga desa,” katanya.

Sony pun bolak-balik diskusi selama empat hari dengan Dinas Cipta Karya dan Sumber Daya Air Sulteng. Mereka akhirnya bersepakat dengan nilai Rp3,5 miliar untuk proyek pengerjaan batu gajah buatan demi menahan pergerakan jalur Sungai Tambarana.

Bendahara fraksi NasDem-PPP ini juga sempat menantang balik para birokrat. Ia bilang kalau permintaannya ditolak, dirinya bakal menuntut langsung kepada Gubernur Sulteng, Rusdy Mastura.

Permohonan Sony itu akhirnya disepakati dan bakal direalisasikan pada tahun ini. "Ini salah satu penantian terbesar saya di penghujung periode 2019-2024," katanya.

Saat kami bertanya soal Pilkada 2024, Ketua DPD Partai NasDem Poso ini menyatakan tak punya keinginan lagi untuk maju dalam pemilihan bupati Poso.

Sony pun menyodorkan putra keduanya, Ade Gandha Kurnia Tandra, untuk ikut bertarung melawan petahana Bupati Poso, Verna Inkiriwang yang santer terdengar bakal maju lagi.

“Meski bupati punya kewenangan membuat putusan, tapi lingkupnya kecil. Berbeda dengan anggota DPRD di provinsi, yang bisa berdampak lebih besar. Itu artinya, peluang membantu para petani jadi lebih luas,” ujar Sony.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
5
Jatuh cinta
3
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Partai Gerindra desak pelantikan Diah Tri Purwantini sebagai anggota DPRD Palu
Partai Gerindra desak pelantikan Diah Tri Purwantini sebagai anggota DPRD Palu
Partai Gerindra mendesak pengantian antarwaktu segera dilakukan demi efektivitas DPRD Kota Palu. Diah Tri Purwantini…
TUTURA.ID - Menerka arah politik generasi muda di Palu
Menerka arah politik generasi muda di Palu
Karakter anak muda yang gemar hal praktis, serba cepat, dan melek digital bakal memengaruhi pilihan…
TUTURA.ID - Hadianto Rasyid; Politisi Sulteng paling bersinar di Instagram
Hadianto Rasyid; Politisi Sulteng paling bersinar di Instagram
Hadi jadi politisi Sulteng paling populer di Instagram. Nama lain yang juga bersinar ialah Ahmad…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng