Mengunjungi Balaroa Memorial Wall untuk memulihkan diri
Penulis: Mirza Rahmadani | Publikasi: 2 Maret 2023 - 19:41
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Mengunjungi Balaroa Memorial Wall untuk memulihkan diri
Monumen Balaroa Memorial Wall yang membentuk motif bunga mawar berisikan nama-nama warga Perumnas yang jadi korban gempa dan likuefaksi, 2018 (Mohammad Reza/Tutura.Id)

Bencana dahsyat yang mengguncang Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong (Padagimo), 28 September 2018, meninggalkan bekas yang sulit dihapuskan begitu saja dalam ingatan kolektif, terkhusus bagi para penyintas.

Untuk mengenang para korban yang tinggal di Perumnas Balaroa, salah satu wilayah terdampak paling parah akibat gempa dan likuefaksi, dibangunlah “Balaroa Memorial Wall”.

Pendanaannya berasal dari Cities Unites France dan United Cities and Local Government Asia Pasific bekerja sama dengan Pemerintah Kota Palu.

Tugu dengan tinggi sekira 3,2 meter itu sekaligus pengingat kepada generasi selanjutnya untuk senantiasa waspada terhadap bencana.

Fungsi serupa juga yang mendorong berdirinya sejumlah monumen di daerah lain, sebut misal Monumen Tsunami Maumere, Monumen PLTD Apung Aceh, atau Monumen Tsunami Pancer.

Hampir setahun sejak diresmikan oleh Wali Kota Palu Hadianto Rasyid, “Balaroa Memorial Wall” kini telah menjadi salah satu kawasan yang banyak dikunjungi.

Bentuknya dinding batu berwarna hitam yang di atasnya bertuliskan banyak nama korban dengan tinta putih. Jika melihatnya dari jauh akan tampak seperti mawar putih.

Ruang terbuka hunian tetap Balaroa yang jadi lokasi berdirinya memorial ini tampak asri karena ditumbuhi banyak tanaman dan pepohonan hijau. Bikin suasana rindang lagi sejuk.

Disediakan pula area bermain untuk anak-anak. Tak heran jika banyak pengunjung, terutama dari luar Palu, yang menyempatkan diri berwisata ke tempat ini.

Perumnas Balaroa yang luluh lantak saat lindu dan likuefaksi mengguncang Palu, 28 September 2018 (Shutterstock)

Mengunjungi “mama”

Selasa petang (14/2/2023), saya bertemu sekumpulan anak-anak kecil yang sedang bermain di ruang publik terbuka huntap Balaroa.

Anak-anak perempuan di sana kala itu sedang asyik bermain ayunan. Sedangkan anak laki-laki lebih senang bergerombol sambil adu latto-latto. Sesekali mereka bersenda gurau.

Tampak kontras dengan anak-anak sepantarannya, ada satu anak perempuan yang tidak ikut bermain. Ia hanya berdiri di depan dinding besar monumen “Balaroa Memorial Wall”. Bibirnya tampak sibuk bergumam. Ternyata ia sedang membaca tulisan nama-nama yang terukir.

Jemarinya yang kecil berusaha menggapai dinding besar yang bertuliskan nama-nama korban. Berusaha keras mencari sebuah nama. Saya berjalan pelan mendekatinya. Mengajaknya berkenalan. Namanya Zahra. Berumur kini genap 10 tahun.

“Padahal sudah sering ke sini tiap sore, tapi selalu saya lupa-lupa terus di sebelah mana namanya mamaku,” ungkapnya pelan.

Air muka yang semula tampak serius seketika berubah jadi berseri-seri ketika berhasil menuntaskan pencarian. “Oh, ini dan namanya mamaku,” ujar Zahra lirih sambil menunjuk sebuah nama di dinding monumen.

Terukir nama Hj. Zuraidah. Nama tersebut menempati kelopak bagian bawah. Sorot mata Zahra yang semula tajam sontak berubah sayu ketika melihat nama ibunya.

Namun, saya tidak melihat ada tetesan air mata yang jatuh. Ia hanya menatap nama itu penuh arti.

“Saya baru pulang mengaji, kak. Lagi ba tunggu papaku datang ba jemput,” imbuhnya. Tak berselang lama, sosok yang dinantikan akhirnya tiba. Seorang laki-laki paruh baya mengenakan topi berwarna biru.

“Rumah kami sekarang di Mamboro, tapi anakku yang kecil ini maunya tetap mengaji di Balaroa. Sama teman-teman dan sepupunya,” kata pria berusia 64 tahun ini.

Sudah hampir lima tahun Zahra kehilangan ibunya yang turut jadi korban likuefaksi di Balaroa. Selain berziarah ke makam, di tugu ini ia bisa melihat nama ibunya.

Ayah Zahra dengan kesungguhan hati turut mengapresiasi berdirinya tugu untuk mengenang para korban bencana di kawasan huntap Balaroa.

“Hampir setiap sore saya datang kemari. Terkadang ba jemput Zahra pulang mengaji, biasa juga pigi menengok keponakan yang tinggal di Balaroa sini. Kalau sempat biasa pulang dari sini kami ziarah ke kubur mamanya Zahra. Lokasinya di Donggala Kodi. Dekat dari sini,” ucap pria itu lagi.

Tak lama usai menuntaskan jawabannya tadi, Zahra datang menghampiri. Sambil memegangi jari kelingking ayahnya, ia berpamitan pulang.

“Papaku sudah ba jemput. Nanti main-main ke sini lagi, kak,” pungkas Zahra sebelum berlalu.

Balaroa Memorial Wall tak sekadar wujud mengenangkan para warga Perumnas Balaroa yang jadi korban bencana, tapi juga pengingat kepada generasi penerus (Mohammad Reza/Tutura.id)

Jadi tempat memulihkan diri

Masih di lokasi yang sama. Saya juga berjumpa salah seorang pengunjung yang juga penyintas. Seorang perempuan muda. Tampak ia juga fokus menatap satu per satu nama yang terukir di monumen.

Saat coba mendekat, ia memberi kode dengan tangannya. Tanda tidak ingin diganggu. Pasalnya ia ingin fokus mencari-cari barang di dalam tasnya, lalu mengeluarkan Al-Quran terjemahan berukuran kecil untuk dibaca.

Tak lama ia mulai membaca Surah Yasin yang sering dijuluki jantungnya Al-Quran. Saya berdiri menungguinya menuntaskan bacaan. Saat menyodorkan tangan untuk berkenalan, ia menyebut Bebby sebagai nama sapaannya.

“Kalau kemari macam sedih terus le saya rasa,” katanya pelan. Cukup sering Bebby mengunjungi “Balaroa Memorial Wall” kala waktunya senggang.

Walaupun kerap merasa sedih, Bebby mengaku berkunjung ke monumen ini merupakan rekreasi. Biasanya ketika sudah merasa cukup lelah dengan urusan rumah tangga dan mengurus anak, ia merasa perlu memulihkan diri sejenak di “Balaroa Memorial Wall” yang jadi salah satu tempat favoritnya.

“Soalnya ada namanya papa dan mamaku di sini. Jadi kalau sudah ke sini saya sudah rasa tenang ulang. Bersyukur saya dibikinkan tempat macam begini. Apalagi jasadnya papaku, kan, tidak sempat ditemukan dulu di Perumnas. Alhamdulillah saya jadi punya tempat semacam ba ziarah,” lanjut perempuan berumur 29 tahun ini.

Rumah keluarga Bebby di Perumnas Balaroa kini hanya tinggal kenangan. Amblas tertelan bumi akibat likuefaksi dahsyat. Ayah dan ibunya meninggal saat peristiwa nahas tersebut.

Hanya jasad ibunya yang berhasil dievakuasi dan dimakamkan. Sedangkan tubuh mendiang ayahnya hingga kini tak kunjung ditemukan. Bebby hanya bisa pasrah. Menyerahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Bagi para penyintas bencana, seperti Bebby juga Zahra, “Balaroa Memorial Wall” bukan sekadar monumen yang terbuat dari batu bertuliskan nama para korban.

Pengalaman berkunjung ke tempat semacam ini seperti melakukan napak tilas untuk mengingat dan mengenang orang-orang tercinta. Efeknya bisa mendatangkan ketenangan hati dan penuntas kerinduan.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
1
Jatuh cinta
1
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Bertahan hidup di atas zona merah
Bertahan hidup di atas zona merah
Para penyintas bencana 28 September 2018 bertahan hidup di atas tanah yang kini ditetapkan sebagai…
TUTURA.ID - 104 kepala keluarga mengungsi akibat gempa bumi 5,3 magnitudo di Sigi
104 kepala keluarga mengungsi akibat gempa bumi 5,3 magnitudo di Sigi
104 KK di Sigi terpaksa mengungsi akibat gempa bumi berkekuatan 5,3 magnitudo. Pemkab Sigi telah…
TUTURA.ID - Mengenal dokumen kajian risiko bencana dan urgensinya
Mengenal dokumen kajian risiko bencana dan urgensinya
KRB diharapkan bisa jadi satu dasar guna menyusun rencana aksi atau program praktis dalam rangka…
TUTURA.ID - Ragam tradisi warga Palu  sambut Ramadan
Ragam tradisi warga Palu sambut Ramadan
Ada empat tradisi warga Palu menyambut Ramadan 1444 Hijriah. Selain menyemarakan suasana, tradisi ini untuk…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng