Sayyid Idrus bin Salim Aljufrie (SIS Aljufrie) atau akrab disebut Guru Tua, merupakan sosok ulama yang berjasa dan sangat dihormati, terutama sekali di Sulawesi Tengah.
Jasanya dalam bidang pendidikan dan dakwah Islam, tak lagi dipertanyakan. Legasinya terang benderang: Alkhairaat, organisasi Islam terbesar di sisi timur Indonesia. Namun, hingga kini, perjuangan menyematkan status pahlawan nasional pada namanya masih berlangsung.
Sejarah mencatat perjuangan Guru Tua dimulai ketika kedatangannya ke Indonesia untuk mengunjungi kerabatnya. Ia memang memiliki keluarga yang tersebar di Pulau Jawa dan Sulawesi. Kala itu, Guru Tua masih berusia 19 tahun. Pada kunjungan pertama, Guru Tua belum memutuskan untuk bermukim.
Barulah pada kunjungan kedua, Guru Tua ambil keputusan untuk menetap di Pulau Jawa dan meninggalkan tanah kelahirannya di Hadramaut, Yaman. Menurut Huzaimah T. Yanggo, dalam buku Sayid Idrus Bin Salim Al Jufri Pendiri Alkhairaat dan Kontribusinya dalam Pembinaan Umat, Guru Tua menetap di Jawa pada 1922-1929.
Awal mula di Nusantara
Perjalanan Guru Tua di Nusantara dimulai dari Batavia (kini Jakarta), kemudian berpindah ke Jombang, Jawa Timur pada 1926. Pade momen inilah Guru Tua bertemu ulama kharismatik dan tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Hasyim Asy‟ari.
Pada akhir 1928, Guru Tua melanjutkan perjalanan ke Solo dan selama dua tahun dipercayakan mengajar serta menjadi direktur Madrasah al-Rabitah al-Alawiyah cabang Solo.
Adapun persentuhannya dengan Sulteng bermula pada 1929, saat mengunjungi kerabatnya. Setelah beberapa bulan tinggal di Sulteng, dengan menjalankan kegiatan dan aktivitas dakwah kepada masyarakat, tepat pada 14 Muharram 1349 H atau 11 Juni 1930, Guru Tua mendirikan madrasah Alkhairaat.
Saat Jepang berkuasa, Alkhairaat sempat dilarang beraktivitas pada periode 1942-1945. Namun hal tersebut tidak membuat Guru Tua menyerah. Dia tetap berdakwah dan mengajar dari rumah ke rumah.
Saking panasnya situasi di bawah pendudukan Jepang, Guru Tua harus menyingkir ke Pewunu, yang kini masuk wilayah administrasi Kecamatan Dolo Barat, Kabupaten Sigi.
Merujuk buku Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Sulawesi Tengah (1982), di tempat itu, Guru Tua bertemu dengan saudara iparnya, yaitu Yoto Daeng Pawindu, kakak dari Intje Ami (Ite) yang merupakan istri dari Guru Tua. Intje Ami adalah perempuan Kaili yang dinikahinya.
Yoto seorang patriot tulen yang tercatat sebagai tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI). Ia memfasilitasi Guru Tua untuk mendirikan sekolah darurat di rumahnya. Meski di bawah ancaman Jepang, pendidikan harus terus jalan, barangkali begitu pikiran kedua bahadur ini.
Pengakuan tanda jasa
Ketua Pokja Pengusulan SIS Aljufrie sebagai Pahlawan Nasional, Alwi Aldjufri mengungkapkan bahwa usulan gelar pahlawan nasional untuk Guru Tua pertama kali tercetus semasa kepemimpinan Bandjela Paliudju sebagai gubernur Sulteng.
Alwi menyebut bahwa meski belum dapat gelar pahlawan nasional, Guru Tua sudah pernah beroleh bintang mahaputera dari negara. “Tahun 2010 itu kalau tidak salah,” kata Alwi saat ditemui Tutura.Id di SMP Alkhairaat Palu, Rabu (9/11).
Persisnya, tanda kehormatan itu diberikan lewat Keputusan Presiden No. 53/TK/Tahun 2010. Bintang mahaputera diberikan kepada mereka yang secara luar biasa menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan Indonesia.
Bahadur tanpa tanda jasa
Saban peringatan Hari Pahlawan Nasional (10 November), nama Guru Tua kembali mencuat. Warga Sulteng memang sudah lama menanti pengakuan Guru Tua sebagai pahlawan nasional. Bahkan nama bandar udara di Kota Palu pun disematkan namanya.
Namun aral masih melintang. Kasak-kusuk yang sering beredar, Guru Tua terganjal beroleh gelar pahlawan nasional lantaran status kewarganegaraan.
Undang-Undang 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan memuat beberapa kriteria pahlawan nasional pada Pasal 25. Salah satu syaratnya (poin a) menjelaskan penerima gelar haruslah, “WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI.”
Alwi Aldjufri tak yakin bila status kewarganegaraan Guru Tua yang jadi batu sandungan. Pasalnya, Guru Tua sudah berjuang sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia. Bila awal mula perjuangannya ditarik, setidaknya dari 1930, maka ada interval 15 tahun sebelum Indonesia merdeka.
“Kan belum ada Indonesia. Mestinya pemerintah (presiden) tetapkan dengan sendirinya dia sebagai warga negara Indonesia. Dari Indonesia belum ada sampai Indonesia ada, Guru Tua sudah berjuang dan menetap di sini,” katanya.
Kepada Tutura.Id, Alwi juga menunjukkan arsip surat keterangan kependudukan yang dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Republik Indonesia di Manado. Dalam surat bermaterai tertanggal 24 Mei 1965 tersebut tertulis jelas data kependudukan atas nama “Sajid Idrus bin Salim Aldjufri” disertai pas foto diri.
Tokoh yang kini menjabat sebagai Komisaris Wilayah Alkhairaat Sulteng itu menyatakan bahwa kelengkapan administrasi usulan Guru Tua sebagai pahlawan nasional sudah lama rampung. “Sudah sampai itu di Dewan Gelar. Namun kami masih belum dapat alasannya. Kami juga masih menunggu,” ujar Alwi.
Sementara itu, Mohamad Herianto, pegiat sejarah di Sulteng, menyebut bahwa Guru Tua telah dianggap sebagai pahlawan sejati bagi warga di Lembah Palu.
“Walau tahun ini Habib Sayyid Idrus belum ditetapkan oleh pemerintah sebagai pahlawan nasional, bagi saya, warga Sulteng sudah memandang beliau sebagai pahlawan sejati, karena lewat dakwahnya, orang-orang atau masyarakat di Lembah Palu ini menjadi pintar dan dekat dengat ajaran Islam,” kata Anto.
Mohamad Herianto Alwi Aldjufri Guru Tua Pahlawan Nasional Dewan Gelar Bandara Palu Sayyid Idrus bin Salim Aljufrie SIS Aljufrie Alkhairaat Islam