Perjuangan ina-ina penjual pisang dan kacang keliling
Penulis: Syahrul Wardana | Publikasi: 12 Januari 2024 - 19:43
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Perjuangan ina-ina penjual pisang dan kacang keliling
Indah, 40 tahun, sudah lebih dari satu dekade berjualan pisang dan kacang keliling (Foto: Syahrul Wardana/Tutura.Id)

Pikulan yang terbuat dari kayu itu terlihat menggantung pada sebuah batang pohon. Panjangnya kayu itu sekira satu meter. Lidah orang Kaili, suku yang mendiami Lembah Palu, menyebutnya dengan polemba.

Masing-masing ujung kiri dan kanan kayu berjuntai beberapa sisir pisang. Warna kulit pisang yang kuning cerah dengan beberapa bintik cokleat kehitaman makin cemerlang tertimpa pantulan terik matahari dari aspal jalan.

Selain pisang, beberapa bungkus kacang kulit sangrai yang dibungkus plastik bening turut pula menghiasi ujung-ujung polemba. Berjarak tak jauh di samping pohon tadi, seorang perempuan paruh baya duduk lesehan.

Pemandangan itu mewarnai trotoar sepanjang Jalan R.A. Kartini, Lolu Selatan, Kota Palu, saban sore. Terkadang bukan hanya satu atau dua orang pedagang saja yang duduk berjejeran, biasanya bahkan lebih dari lima orang.

Mereka adalah topodaga loka ante cangkore. Penjual pisang dan kacang. Model berdagangnya dengan cara berjalan kaki laiknya penjual jamu gendong. Untuk menghalau terik, tak lupa mereka mengenakan toru alias penutup kepala yang terbuat dari anyaman bambu.

Lazimnya warga Palu kerap menyapa para penjual pisang dan kacang tadi dengan sebutan ina-ina, bentuk jamak dari kata ina yang berarti ibu.

Pedagang pisang dan kacang keliling biasanya memikul dagangannya menggunakan kayu alias polemba (Foto: Syahrul Wardana/Tutura.Id)

Para pedagang ini sebenarnya tidak sedang mangkal di trotoar jalan, melainkan sekadar beristirahat sejenak melepaskan lelah usai jalan berkeliling di tengah terik.

Ada yang duduk berkelompok, ada yang menyendiri. Beberapa dari mereka bahkan ada yang sembari tiduran. Saya kemudian berjalan mendekati seorang ibu pedagang yang sedang mengaso tak jauh dari pintu masuk SPBU Kartini.

"Pisang? Kacang?" ucap Indah (40 tahun) mencoba menawarkan dagangannya saat saya sudah berdiri di depannya, Senin (8/1/2024) sekira pukul 15.15 Wita.

Untuk ukuran pedagang pisang keliling, Indah menawarkan jenis yang cukup variatif, mulai dari pisang emas alias pisang susu, pisang nona, dan pisang ambon. Harga jualnya Rp10 ribu untuk satu sisir. Jika membeli dua sisir sekaligus, maka cukup merogoh kocek Rp15 ribu saja.

Sementara untuk kacang kulit ia jual dengan harga Rp5 ribu dan Rp10 ribu tergantung ukuran bungkusannya.

Indah mengaku warga Kelurahan Donggala Kodi, Kecamatan Ulujadi. Setiap hari ia berjalan kaki mengelilingi Kota Palu untuk berjualan sejak pukul 11.00 Wita.

Pisang dan kacang ia beli di Pasar Tradisional Inpres Manonda. Modalnya untuk pisang, per tandan biasanya dibeli dengan harga Rp25 ribu hingga Rp40 ribu-an. Sementara harga beli kacang Rp9 ribu per liter.

Seusai menyiapkan segala keperluan barang jualannya, Indah mulai berjalan keliling dengan rute melewati Jalan Puebongo, menuju arah Kelurahan Palupi, berbelok mengarah Jembatan Lalove, lalu menyusuri Jalan Emmy Saelan, Monginsidi, hingga kemudian R.A. Kartini.

Trotoar di sepanjang Jalan R.A. Kartini, Palu, biasanya jadi spot pilihan para pedagang pisang dan kacang keliling untuk mengaso sejenak (Foto: Syahrul Wardana/Tutura.Id)

Selepas beristirahat sejenak di Jalan R.A. Kartini, ia akan melanjutkan lagi perjalanannya melintasi Jalan Gunung Nokilalaki dan sejumlah ruas jalan lainnya hingga kemudian  meniti Jembatan III Palu yang jadi penghubung antara Palu Timur dan Palu Barat.

Ia mengaku biasa tiba di rumahnya sekitar pukul 18.00 Wita. Hari saat saya menjumpainya, Indah mengaku memikul 37 sisir pisang dan 15 bungkus kacang goreng. "Alhamdulillah sudah ada yang laku. Mau habis kalau dikelilingi lagi," ujarnya optimistis.

Untung dan rugi sudah menjadi hal yang lumrah bagi para penjual. Pun oleh Indah. Meski demikian, tak sedikitpun mengurangi semangatnya untuk terus melangkahkan kaki berjualan.

Berjualan pisang dan kacang keliling sudah menjadi keseharian Indah selama lebih dari 10 tahun. Letih dan panas menjadi teman akrabnya.

Indah yang menjadi orang tua tunggal selepas suaminya meninggal punya empat orang anak, dua di antaranya sudah berkeluarga, sementara dua lainnya masih dalam tanggungannya.

"Jualan kadang-kadang habis, kadang-kadang juga tidak. Kalau tidak habis, dibungkus pakai kantongan dan dijual ulang. Harganya Rp5000 dua bungkus. Diijual ulang di Inpres di tempat membeli," ungkapnya menyiasati jika ada dagangan pisang yang tak habis.

Ina-ina penjual pisang dan kacang keliling jadi salah satu tema mural yang menghiasi bagian tembok di Jalan Anoa, Palu (Foto: Andi Baso Djaya/Tutura.Id)

Jika berhasil pulang dengan “tangan kosong” alias semua dagangannya ludes, Indah mengaku bisa dapat pemasukan Rp100 ribu. Namun, tentu saja tidak setiap hari ia pulang dengan langkah kaki yang ringan. Biasanya ia hanya mengantongi setengahnya.

"Iyo (keliling terus hari-hari), tergantung kalau ada pisang. Kalau tidak ada pisang, tidak keliling, (soalnya) di rumah tidak menjual," ujarnya.

Tak lama usai menuntaskan kalimatnya tadi, suara azan salat asar berkumandang. Indah perlahan berdiri menyudahi istirahatnya dan melanjutkan langkah kakinya berkeliling menjajakan pisang dan kacang.

Sarung tangan dan toru ia kenakan kembali. Polemba yang semula bergantung di batang pohon ia pikul menggunakan bahu kanan. Kekuatan dan keanggunan seolah memancar sekaligus dari setiap derap langkah kakinya. Ri rarana nalusu, ri savalikuna naroso. Halus perasaannya, tapi fisiknya tetap kuat.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
2
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
1
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Mengenal Lenda dan Bayasa dalam tradisi Suku Kaili
Mengenal Lenda dan Bayasa dalam tradisi Suku Kaili
Bayasa merujuk pada posisinya sebagai penghubung antara manusia dan alam gaib. Sementara lenda merujuk pada…
TUTURA.ID - Memupuk militansi penutur Bahasa Kaili yang kian memudar
Memupuk militansi penutur Bahasa Kaili yang kian memudar
Kebanyakan to Kaili, terutama remaja, di Kota Palu merasa kurang bangga menggunakan Bahasa Kaili. Mereka…
TUTURA.ID - Siasat menjadikan musik daerah tetap lestari
Siasat menjadikan musik daerah tetap lestari
Dinas Pariwisata Prov. Sulteng menggandeng PAPPRI Sulteng dan Seleksi Alam Management menyelenggarakan Festival Musik Daerah.
TUTURA.ID - Mencari nafkah di bulan penuh berkah
Mencari nafkah di bulan penuh berkah
Ramai pedagang takjil musiman hadir selama bulan puasa. Pisang ijo dan kue tetu jadi favorit…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng